Cuaca Kacau Balau, Panas Mendidih dan Hujan Lebat Bakal Makin Sering
Jakarta, CNBC Indonesia - Studi pemodelan iklim terbaru mengungkapkan potensi perubahan besar pada fenomena El Niño dalam waktu dekat. Penelitian itu menunjukkan bahwa pola pemanasan Pasifik ini dapat menjadi lebih kuat sekaligus lebih teratur.
Ini merupakan perubahan signifikan. mengingat El Niño selama ini sudah cukup mengacaukan cuaca di berbagai belahan dunia. Perubahan perilakunya diperkirakan berdampak hampir di seluruh planet.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh tim internasional, para ilmuwan menggunakan model iklim beresolusi tinggi untuk memahami bagaimana kawasan tropis Pasifik merespons skenario emisi gas rumah kaca yang tetap tinggi sepanjang abad ini.
Hasil simulasi menunjukkan bahwa kejadian El Niño dinilai dapat muncul lebih rutin setiap dua hingga lima tahun, berbeda dari pola saat ini yang cenderung tidak teratur. Pergeseran ini berpotensi mengubah pola hujan dan suhu di berbagai wilayah dunia.
Penelitian ini dipimpin oleh Malte F. Stuecker, ahli oseanografi dan ilmuwan iklim dari University of Hawai'i at Mānoa. Fokus risetnya adalah mempelajari bagaimana perubahan kondisi di Pasifik tropis memicu fluktuasi iklim global.
Dalam simulasi tersebut, tim menemukan bahwa kawasan Pasifik tropis dapat melampaui tipping point iklim, yaitu ambang batas ketika sedikit pemanasan saja dapat memicu perubahan yang jauh lebih drastis.
"Di dunia yang lebih hangat, kawasan tropis Pasifik bisa mengalami jenis tipping point iklim tertentu," kata Stuecker dalam paparan riset yang dipublikasikan dalam jurnal ilmiah Nature Communications, dikutip dari laman Earth, Rabu (10/12/2025).
Model iklim yang digunakan, AWI CM3, mampu menangkap dinamika atmosfer dan laut secara detail melalui grid beresolusi tinggi. Dengan anggapan bahwa emisi gas rumah kaca tetap sangat tinggi hingga akhir abad ke-21, simulasi menunjukkan suhu permukaan laut di Pasifik mulai berosilasi lebih ekstrem antara fase hangat dan dingin.
Fenomena El Niño-Southern Oscillation (ENSO) sendiri merupakan salah satu ritme iklim paling penting di Bumi karena memengaruhi pola hujan, kekeringan, dan risiko badai di banyak wilayah. Saat ini El Niño dan La Niña muncul setiap beberapa tahun dengan skala yang sangat bervariasi.
Dampak jangka panjangnya, melalui telekoneksi, dapat menyebabkan satu wilayah mengalami musim dingin yang basah, sementara wilayah lain mengalami kekeringan.
Banyak model iklim telah memproyeksikan bahwa variabilitas ENSO akan meningkat di masa depan, namun simulasi terbaru ini menunjukkan perubahan yang lebih besar, bukan hanya penguatan El Niño, melainkan peralihan dari pola yang kacau menjadi lebih teratur.
Jika ayunan ENSO makin rutin, pengaruhnya pada pola angin dan hujan juga akan lebih mudah selaras dengan mode iklim global lainnya.
Simulasi menunjukkan bahwa pada awalnya El Niño dan La Niña masih berperilaku seperti kondisi historis. Namun seiring waktu, naik-turun siklus itu menjadi lebih besar dan lebih terkonsentrasi pada satu rentang periode berulang.
Perubahan itu terdeteksi melalui penurunan sample entropy, indikator meningkatnya keteraturan pola ENSO. Hasil ini juga melampaui batas variasi alami, menandakan perubahan yang didorong oleh pemanasan global.
Model tersebut juga menunjukkan peningkatan air-sea feedback, yaitu interaksi dua arah antara suhu laut dan angin yang memperkuat gangguan kecil sehingga menciptakan ayunan lebih besar yang saling mempertahankan diri. Selain itu, fluktuasi cuaca tropis acak tampak menjadi lebih energik, mendorong Pasifik memasuki siklus yang semakin intens.
Ketika El Niño menguat, pola iklim global lainnya ikut terseret dalam ritme yang sama. Fenomena ini disebut para peneliti sebagai climate mode resonance, ketika beberapa siklus iklim global terkunci dan bergerak mengikuti waktu yang sama dengan siklus El Niño.
Sinkronisasi tersebut terlihat pada North Atlantic Oscillation, yang mengarahkan badai ke Eropa, serta mode iklim di Samudra Hindia dan Atlantik yang mempengaruhi monsun, hujan di Sahel, hingga musim badai Atlantik.
Simulasi menunjukkan kekuatan mode iklim ini meningkat signifikan, dengan ayunan suhu yang bisa bertambah hingga setengah atau lebih dibandingkan kondisi saat ini. Seluruh pola itu kemudian ikut mengunci pada ritme El Niño yang semakin kuat.
Studi lain menunjukan bahwa kawasan tropis Atlantik Utara akan mengalami ayunan antar-tahun yang lebih besar seiring pemanasan global, dan salah satu penyebabnya adalah pengaruh El Niño yang semakin kuat.
Dalam simulasi AWI CM3, sinyal penguatan El Niño muncul pada pola tekanan udara musim dingin di Atlantik Utara dan curah hujan di Eropa Barat. Keterkaitan yang semakin erat ini berarti badai Eropa dan musim dingin basah di kawasan itu berpotensi makin bergantung pada fase El Niño dan La Niña.
Profesor Axel Timmermann dari Pusan National University memperingatkan bahwa sinkronisasi ini dapat memicu fluktuasi curah hujan yang jauh lebih ekstrem di wilayah seperti California Selatan dan Semenanjung Iberia. Di wilayah tersebut, hydroclimate whiplash, peralihan mendadak dari kondisi sangat kering ke sangat basah, bisa membawa masyarakat dari krisis air langsung menuju ancaman banjir besar.
Analisis global menunjukkan bahwa ayunan ekstrem ini telah meningkat sejak pertengahan abad ke-20. Proyeksi di California bahkan mencatat kenaikan besar dalam transisi dari kekeringan ke banjir meskipun rata-rata curah hujan tahunan tidak banyak berubah. Studi yang dipimpin Daniel Swain memperkirakan lonjakan 25 hingga 100 persen dalam kejadian perubahan dari kering ke basah tersebut.
Timmermann mencatat bahwa meskipun pola ENSO yang lebih teratur dapat meningkatkan akurasi prakiraan iklim musiman, dampak yang ditimbulkannya justru makin besar.
Hal ini menuntut strategi perencanaan dan adaptasi yang jauh lebih kuat dari pengelola sumber daya air, sektor pertanian, hingga perencana kota di berbagai negara yang berisiko terdampak.
(dem/dem)[Gambas:Video CNBC]