
Malapetaka Visa Trump, Raksasa Teknologi Terancam Tumbang

Jakarta, CNBC Indonesia - Industri teknologi sedang terancam karena visa yang diterapkan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Lebih spesifik, industri teknologi India yang bergantung ke Amerika Serikat (AS)
Sektor teknologi India senilai US$283 miliar (Rp4.695 triliun) disebut tengah menghadapi guncangan besar setelah Trump menetapkan biaya US$100.000 (Rp1,6 miliar) untuk setiap visa kerja H-1B baru mulai Minggu (21/9).
Kebijakan ini dinilai bisa melumpuhkan strategi lama industri teknologi India yang selama puluhan tahun mengandalkan rotasi talenta ke proyek-proyek di AS.
Industri teknologi India mendapatkan sekitar 57% pendapatannya dari pasar AS dan selama ini sangat bergantung pada program visa H-1B untuk mendukung outsourcing layanan perangkat lunak dan bisnis. India sendiri menjadi penerima terbesar program tersebut tahun lalu dengan porsi 71% dari total penerima, jauh melampaui China yang hanya 11,7%.
Langkah Trump akan memaksa raksasa teknologi India seperti Tata Consultancy Services (TCS), Infosys, HCLTech, Wipro, hingga Tech Mahindra, serta klien global mereka termasuk Apple, JPMorgan Chase, Walmart, Microsoft, Meta, dan Google untuk menghentikan rotasi tenaga kerja onshore, mempercepat pengiriman layanan dari luar negeri, serta meningkatkan perekrutan warga AS dan pemegang green card.
Asosiasi industri TI India, Nasscom, menyebut kebijakan ini berpotensi mengganggu ekosistem inovasi di AS sekaligus merusak kelangsungan bisnis proyek onshore.
Ekonom Emkay Global, Madhavi Arora, bahkan menilai ekspor jasa India telah terseret ke dalam perang dagang dan teknologi global.
"Ekspor jasa akhirnya terseret ke dalam perang dagang dan teknologi global yang sedang berlangsung," kata Arora, dikutip dari Reuters, Senin (22/9/2025). Ia menilai langkah ini bisa merusak model onsite-offshore sektor IT, menekan margin, dan mengganggu rantai pasok.
Pengacara imigrasi menyebut biaya visa baru tersebut sangat tinggi dan membuat perusahaan lebih selektif dalam memilih kandidat. Hanya posisi yang benar-benar kritis bagi bisnis yang akan dipertahankan untuk sponsor H-1B.
"Ini akan sangat mengurangi akses pekerja asing terampil dan bisa mengubah permintaan perusahaan," kata Vic Goel, Managing Partner di Goel & Anderson.
Kebijakan ini muncul di tengah ketidakpastian lain yang membayangi sektor TI India, termasuk rencana pajak 25% untuk pembayaran outsourcing dan lemahnya belanja teknologi non-esensial di AS akibat inflasi dan ketidakpastian tarif.
Meski begitu, sejumlah analis menilai langkah Trump justru akan mempercepat pertumbuhan global capability centres (GCC) milik perusahaan AS, terutama di India, Kanada, Meksiko, dan Amerika Latin.
India saat ini sudah menampung lebih dari separuh GCC dunia dan diperkirakan menjadi basis 2.200 perusahaan pada 2030, dengan pasar mendekati US$100 miliar dan menciptakan 2,8 juta lapangan kerja.
"Kita sedang menyaksikan tatanan baru dalam ekonomi jasa," kata Ray Wang, pendiri Constellation Research di Silicon Valley.
(fab/fab)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article PHK Makin Kejam, Pagi Terima Email Langsung Disuruh Pulang
