Taktik Perusahaan PHK Karyawan Diam-diam, Ini Dampaknya

Intan Rakhmayanti Dewi, CNBC Indonesia
27 August 2025 08:15
Pegawai beraktivitas pada salah satu gedung perkantoran pada hari pertama kerja tahun 2025 di Jakarta, Kamis (2/1/2025). (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)
Foto: Pegawai beraktivitas pada salah satu gedung perkantoran pada hari pertama kerja tahun 2025 di Jakarta, Kamis (2/1/2025). (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)

Jakarta, CNBC Indonesia - Para pekerja kini semakin tertekan karena minimnya peluang pengembangan karier, kantor yang banyak pemangkasan karyawan demi memberi ruang bagi kecerdasan buatan (AI), sekaligus tuntutan untuk bekerja lebih banyak dengan sumber daya lebih sedikit.

Dalam iklim kerja yang sulit, banyak karyawan takut bersuara dan mempertaruhkan posisinya. Akibatnya, mereka memilih diam tetapi secara masif mulai melepaskan keterikatan dengan perusahaan. Fenomena ini disebut "quiet cracking."

Laporan The Fortune menyebut, quiet cracking berbeda dengan "quiet quitting". Jika quiet quitting dilakukan dengan sadar, quiet cracking terjadi tanpa disadari karena karyawan merasa lelah, tidak dihargai, tetapi tidak berani berhenti kerja di tengah kondisi pasar tenaga kerja yang sulit.

"Gejalanya mirip burnout, seperti kehilangan motivasi, merasa tidak berguna, hingga marah atau mudah tersinggung," kata Martin Poduška, Pemimpin Redaksi sekaligus penulis karier di Kickresume, dikutip dari Fortune, Senin (25/8/2025).

Fenomena ini semakin meluas. Laporan TalentLMS 2025 mencatat, 54% pekerja mengaku tidak bahagia di kantor. Sementara itu, laporan Gallup 2025 menunjukkan tingkat keterlibatan karyawan global turun dari 23% menjadi 21% pada tahun lalu, penurunan yang mengakibatkan hilangnya produktivitas senilai US$438 miliar.

Menurut Poduška, quiet cracking sulit dikenali. "Anda mungkin sudah mengalaminya sekarang, tetapi tidak menyadarinya karena butuh waktu sebelum terlihat jelas," ujarnya.

Kondisi ini bisa menjadi alarm bagi perusahaan. Pasalnya, budaya kerja yang buruk tidak hanya merugikan karyawan, tetapi juga bagi bisnis. Studi TalentLMS menunjukkan, 47% karyawan yang mengalami quiet cracking merasa manajer mereka tidak mendengarkan keluhan.

Untuk mencegahnya, perusahaan diminta lebih aktif mendengarkan, memberikan tugas baru, hingga menawarkan pelatihan. Data TalentLMS menunjukkan, 62% karyawan yang tidak mengalami quiet cracking mendapat pelatihan, dibanding hanya 44% dari mereka yang kerap mengalaminya.

"Pelatihan adalah tanda investasi dan keyakinan pada potensi karyawan. Ini memicu motivasi, membangun kemampuan, dan menciptakan budaya kerja yang sehat," tulis laporan itu.

Di sisi lain, karyawan juga diminta lebih proaktif mengevaluasi diri. Jika peluang pengembangan karier tidak tersedia, Poduska menyarankan untuk berdiskusi dengan manajer atau mempertimbangkan mencari pekerjaan baru.

"Bagi sebagian orang, perubahan karier total mungkin menjadi solusi, sementara yang lain bisa cukup dengan pindah ke divisi berbeda. Ada pula yang hanya butuh tantangan baru untuk kembali bersemangat," pungkas Poduska.


(dem/dem)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Bill Gates Ramal Manusia Tak Lagi Dibutuhkan di Pekerjaan Ini

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular