BRIN Ungkap Prediksi Jadwal Megathrust-Tsunami Raksasa di Selatan Jawa

Mentari Puspadini , CNBC Indonesia
16 August 2025 21:15
Segmen Megathrust di Indonesia. (Dok. BRIN)
Foto: Segmen Megathrust di Indonesia. (Dok. BRIN)

Jakarta, CNBC Indonesia - Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) membeberkan bukti ilmiah terbaru tentang keberadaan tsunami raksasa yang pernah melanda wilayah selatan Jawa ribuan tahun lalu.

Hal ini sebagaimana dikutip dari hasil riset paleotsunami yang dilakukan oleh tim Pusat Riset Kebencanaan Geologi (PRKG). Temuan ini menjadi peringatan penting akan potensi ancaman megatsunami yang masih membayangi kawasan padat penduduk tersebut.

Peneliti Ahli Madya PRKG BRIN Purna Sulastya Putra mengatakan, paleotsunami adalah kajian ilmiah untuk mengenali kejadian tsunami purba yang tidak tercatat dalam sejarah manusia.

"Riset ini sangat penting, karena selatan Jawa terus berkembang dengan pembangunan infrastruktur strategis, sementara ancaman tsunami raksasa yang berulang justru belum sepenuhnya dipahami dan diantisipasi," ujar Purna, dikutip keterangan resmi, Sabtu, (16/8/2025).

Menurutnya, salah satu temuan krusial BRIN adalah lapisan sedimen tsunami purba berumur sekitar 1.800 tahun yang ditemukan di berbagai titik di sepanjang selatan Jawa, seperti di Lebak, Pangandaran, dan Kulon Progo.

"Dikarenakan penyebarannya yang meluas di banyak lokasi di selatan Jawa, jejak ini diperkirakan merupakan hasil dari tsunami raksasa yang disebabkan gempa megathrust berkekuatan magnitudo 9,0 atau lebih. Ini bukan satu-satunya. Jejak tsunami raksasa lainnya ditemukan berumur sekitar 3.000 tahun lalu, 1.000 tahun lalu, dan 400 tahun lalu," imbuhnya.

Tsunami di Selatan Jawa Berulang

Riset paleotsunami ini dilakukan melalui pengamatan lapangan, salah satunya di lingkungan rawa dan laguna. Di mana, sedimen laut yang terbawa oleh gelombang tsunami lebih mudah dikenali dan terawetkan di lingkungan tersebut.

Untuk membuktikan bahwa lapisan tersebut merupakan endapan tsunami, dilakukan analisis lanjutan seperti uji mikrofauna, kandungan unsur kimia, hingga pentarikhan umur radiokarbon.

"Tantangannya adalah tak semua endapan tsunami purba bisa bertahan utuh dan terawetkan dengan baik, dan membedakan dengan sedimen akibat proses-proses lain seperti banjir atau badai pun memerlukan kehati-hatian," tambahnya.

Temuan tersebut menunjukkan, tsunami raksasa di wilayah selatan Jawa bersifat berulang, dengan siklus sekitar 600-800 tahun. "Ini artinya, bukan soal apakah tsunami besar akan terjadi, tapi kapan," tegas Purna.

Dengan jumlah penduduk yang diperkirakan lebih dari 30 juta orang akan terekspos di wilayah pesisir selatan Jawa pada 2030, ancaman ini perlu menjadi perhatian serius.

BRIN juga menyoroti, pembangunan infrastruktur di selatan Jawa - seperti bandara, pelabuhan, dan kawasan industri - belum sepenuhnya mengintegrasikan risiko tsunami. "Jika tidak dirancang dengan mempertimbangkan sejarah bencana, dampaknya akan sangat besar, baik dari sisi korban jiwa maupun kerugian ekonomi," ujarnya.

Dengan semakin banyak dibangunnya infrastruktur strategis di selatan Jawa, kawasan sekitarnya pun ikut berkembang, ditandai dengan semakin banyaknya fasilitas seperti hotel, restoran, hingga destinasi wisata baru akan ikut bermunculan.

Purna menjelaskan, peningkatan aktivitas ini, meski memberikan dampak positif dari sisi ekonomi, juga secara tidak langsung menambah kerentanan wilayah terhadap potensi bencana tsunami.

Data paleotsunami yang dihasilkan BRIN dapat menjadi fondasi dalam penetapan kebijakan tata ruang dan mitigasi bencana. Informasi tentang sebaran wilayah terdampak, periode ulang, serta estimasi jarak genangan sangat berguna untuk menetapkan zona rawan, menentukan lokasi tempat evakuasi, dan merancang jalur evakuasi yang efisien.

BRIN mengimbau, Pemerintah daerah sebaiknya mulai memanfaatkan data ini untuk menyusun rencana pembangunan yang berwawasan risiko, serta melakukan sosialisasi rutin ke masyarakat.

BRIN mendorong agar edukasi kebencanaan berbasis riset ditingkatkan di sekolah-sekolah, media massa, hingga komunitas lokal.

Sebagai peneliti, Purna mengimbau kepada masyarakat untuk selalu waspada dan mengikuti arahan dari pemangku kepentingan di daerah masing-masing.

"Kalau terjadi gempa kuat di dekat pantai, jangan tunggu sirene atau pemberitahuan. Segera evakuasi ke tempat yang lebih tinggi. Alam sering memberi sinyal pertama, dan kesiapsiagaan adalah kunci keselamatan," pesannya.

Dengan hasil riset ini, BRIN mengajak semua pihak, baik pemerintah, akademisi, media, dan masyarakat untuk bersama-sama membangun budaya sadar risiko. Pasalnya, Tsunami mungkin tak bisa dicegah, tapi korban jiwa dan kerugian bisa kita minimalisir dengan pengetahuan dan kesiapan.


(dce)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Gempa Megathrust Hantam RI, Cek Peringatan Terbaru BMKG

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular