Rupiah Loyo Sepekan, Mata Uang Asia Justru Kompak Menguat!
Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah bergerak melemah sepanjang pekan ini dan menutup perdagangan pekan pendek dengan koreksi terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Pelemahan rupiah terjadi ketika mayoritas mata uang Asia justru mencatatkan penguatan terhadap greenback.
Merujuk data Refinitiv, pada perdagangan terakhir Rabu (24/12/2025), rupiah memang sempat menguat 0,09% ke level Rp16.750/US$. Namun secara kumulatif sepekan, rupiah tetap melemah sebesar 0,09%.
Sepanjang pekan ini, rupiah bergerak di rentang Rp16.725 - Rp16.795 per dolar AS.
Jika dibandingkan dengan mata uang Asia lainnya, rupiah masuk dalam kelompok mata uang yang terkoreksi bersama rupee India dan peso Filipina, sementara mayoritas mata uang Asia lainnya justru menguat sepanjang pekan ini.
Won Korea menjadi mata uang Asia dengan kinerja terbaik setelah terapresiasi 2,27% ke level KRW 1.441,9/US$. Di bawahnya, baht Thailand menguat 1,24% ke posisi THB 31,01/US$.
Yen Jepang dan ringgit Malaysia juga mencatat kinerja solid, masing-masing menguat 0,77% ke JPY 156,54/US$ dan 0,71% ke MYR 4,045/US$.
Sementara itu, yuan China, dolar Taiwan, dan dong Vietnam turut menguat dengan apresiasi masing-masing 0,49%, 0,39%, dan 0,04%.
Sebaliknya, rupee India melemah 0,22% ke INR 89,766/US$, sedangkan peso Filipina terkoreksi 0,15% ke PHP 58,690/US$.
Pergerakan mata uang Asia sepanjang pekan ini tidak lepas dari melemahnya indeks dolar AS. Dolar Index (DXY) terkoreksi 0,59% dalam sepekan dan ditutup di level 98,022.
Pelemahan dolar AS terjadi di tengah meningkatnya ekspektasi pasar terhadap lanjutan pelonggaran kebijakan moneter oleh bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) pada tahun depan.
Meski data terbaru menunjukkan ekonomi AS masih tumbuh solid, sentimen pasar tetap condong pada prospek penurunan suku bunga seiring munculnya tanda-tanda pelemahan di pasar tenaga kerja.
Data terbaru menunjukkan produk domestik bruto (PDB) AS pada kuartal terakhir tumbuh 4,3% secara tahunan, melampaui ekspektasi pasar sebesar 3,3%. Namun, data tersebut belum mampu mengangkat dolar, karena pelaku pasar menilai fokus The Fed ke depan akan bergeser pada upaya menjaga momentum pertumbuhan sekaligus stabilitas tenaga kerja.
Saat ini, pasar memperkirakan peluang sekitar 87% bahwa The Fed akan menahan suku bunga pada pertemuan akhir Januari mendatang.
Sementara kontrak berjangka suku bunga AS mengindikasikan pemangkasan berikutnya berpotensi terjadi pada Juni 2026, dengan ekspektasi dua kali penurunan masing-masing 25 basis poin sepanjang tahun.
Kondisi tersebut mendorong investor melakukan rotasi portofolio keluar dari aset berdenominasi dolar AS dan beralih ke aset berisiko, termasuk pasar negara berkembang (emerging markets). Aliran dana ini turut membuka ruang penguatan bagi sejumlah mata uang Asia.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(evw/evw)