Setengah Dunia Kerja Keras, Segelintir yang Bisa Ongkang-Ongkang
Jakarta, CNBC Indonesia - Dunia semakin kaya dari tahun ke tahun, tetapi distribusi kekayaannya sangat tidak merata.
Populasi dunia telah meningkat pesat, dari sekitar 1 miliar penduduk pada 1800 menjadi lebih dari 8 miliar penduduk pada 2025. Di saat yang bersamaan, rata-rata pendapatan per kapita tahunan juga meningkat dari €900 menjadi €14 ribu. Secara bersama-sama, kedua kekuatan ini menghasilkan peningkatan rata-rata output global sekitar 2,2% per tahun dalam kurun 225 tahun.
Secara teori, pendapatan global saat ini seharusnya cukup untuk menyediakan sekitar €1,2 ribu per bulan atau €14 ribu per tahun bagi setiap orang. Namun pada kenyataannya, distribusi sumber daya tersebut sangat tidak merata.
Â
Klaim ini didukung oleh hasil World Inequality Report 2026, yang menunjukkan bagaimana distribusi pendapatan dan kekayaan di seluruh dunia sangat tidak merata.
Meskipun serupa, kekayaan dan pendapatan tidak selalu berjalan beriringan. Kekayaan mencakup total nilai aset seseorang, seperti tabungan, investasi, atau properti, setelah dikurangi utang-utangnya. Sementara pendapatan diukur menggunakan penghasilan sebelum pajak, setelah memperhitungkan kontribusi pensiun dan asuransi pengangguran.
Berdasarkan World Inequality Report 2026, 10% penduduk terkaya di dunia menguasai hampir 75% total kekayaan di bumi. Dari segi pendapatan, 50% kelompok berpenghasilan tertinggi membawa pulang lebih dari 90%, sementara separuh penduduk dunia yang termiskin menerima kurang dari 10% dari total pendapatan.
Pola kesenjangan ini hampir tidak berubah dalam beberapa dekade terakhir, bahkan menjadi semakin parah di beberapa negara.
Meningkatnya ketimpangan pendapatan menjadi tantangan utama yang dihadapi perekonomian dunia, dimana pertumbuhan ekonomi hanya dapat dirasakan oleh segelintir pihak.
Kesenjangan di Tingkat Regional
Tempat kelahiran dapat menjadi faktor penting yang menentukan berapa banyak penghasilan dan kekayaan yang dapat diperoleh seseorang. Lingkungan ekonomi, institusi, kualitas pendidikan, kesehatan, jaringan sosial, dan pasar tenaga kerja menjadi faktor yang membentuk peluang hidup seseorang jauh sebelum ia bisa memilih apa pun. Sayangnya, faktor-faktor tersebut juga sangat berbeda antar wilayah.
Negara-negara dengan perekonomian dan teknologi maju, seperti Amerika Utara dan Eropa, relatif memiliki tingkat kesejahteraan masyarakat yang lebih tinggi.
Sebagai contoh, pada tahun 2025, kekayaan rata-rata penduduk Amerika Utara dan Oseania mencapai 338% dari rata-rata dunia, menjadikannya wilayah terkaya di dunia. Eropa dan Asia Timur menyusul dengan tingkat pendapatan di atas rata-rata dunia. Sementara itu, sebagian besar wilayah sub-Sahara Afrika, Asia Selatan, Amerika Latin, dan Timur Tengah jauh di bawah rata-rata global.
Jika dilihat dalam lingkup yang lebih sempit sekalipun, ketimpangan pendapatan dan kekayaan tetap terlihat di dalam suatu negara.
World Inequality Report 2026 menunjukkan bahwa negara berkembang cenderung mendominasi posisi atas dalam daftar negara dengan tingkat kesenjangan tertinggi. Kondisi ini pernah dijelaskan oleh laporan UNDP (2013) tentang "Humanity divided: Confronting", dimana tingkat ketimpangan yang diukur berdasarkan gini ratio meningkat lebih cepat di negara berkembang. Penyebabnya adalah kombinasi antara faktor global dan kelemahan domestik.
Globalisasi perdagangan dan keuangan mendorong kenaikan imbal hasil modal serta keuntungan bagi tenaga kerja terampil, sementara sebagian besar pekerja di negara berkembang masih berada pada sektor berupah rendah dan tidak terintegrasi dengan pasar global.
Â
Pada saat yang sama, banyak negara berkembang memiliki kapasitas institusional yang lemah, sistem pajak yang tidak progresif, perlindungan sosial terbatas, dan kualitas layanan publik yang tidak merata. Jurang kesenjangan semakin diperlebar dengan ketimpangan peluang, terutama dalam akses pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan formal.
Berdasarkan World Inequality Report 2026, Afrika Selatan menduduki peringkat pertama sebagai negara dengan kesenjangan pendapatan sekaligus kesenjangan kekayaan terbesar. Dari segi pendapatan, 10% penduduk terkaya memperoleh 66% dari total pendapatan, sementara mayoritas penduduk termiskin hanya menerima 6%. Sebagian kecil penduduk terkaya tersebut bahkan menguasai 86% kekayaan total, sedangkan penduduk termiskin justru mencatatkan nilai kekayaan negatif yang berarti memiliki utang yang lebih besar dari aset mereka.
Â
Kondisi serupa terlihat di negara-negara Amerika Latin, di mana 10% penduduk terkaya menerima hampir 60% dari total pendapatan dan menguasai 70% total kekayaan.
Sementara negara-negara maju di Eropa, seperti Italia, Denmark, Norwegia, dan Belanda memiliki distribusi yang lebih merata. Meski relatif merata antar kelompok pendapatan, separuh penduduk berpendapatan terkecilnya hanya mampu menguasai sekitar 10% total kekayaan.
Distribusi pendapatan di negara-negara tersebut relatif merata karena kebijakan layanan publik yang kuat. Sementara itu, kekayaan lebih sulit didistribusikan ulang. Kelompok "bottom 50%" umumnya tidak memiliki aset produktif, lebih banyak menyewa rumah, dan sulit menabung karena biaya hidup tinggi.
Akibatnya, meskipun pendapatan relatif setara, separuh penduduk terbawah tetap hanya menguasai sebagian kecil dari total kekayaan. Contoh ekstrem terjadi di Swedia, dimana tingkat pendapatan tersebar merata di setiap kelompok, namun kelompok terbawah justru memiliki nilai kekayaan negatif.
Kondisi di Indonesia
Kesenjangan pendapatan dan kekayaan di Indonesia dapat dikatakan cukup mengkhawatirkan. Sebagian kecil penduduk terkaya bahkan menguasai hampir 60% total kekayaan, sementara separuh penduduk terbawah hanya memperoleh 3%. Dari segi pendapatan, kelompok terkaya tersebut mengantongi 46% total pendapatan, sedangkan kelompok terbawah hanya mampu mendapat 14%.
Hal ini turut didukung oleh gini ratio Indonesia yang stagnan di angka 0,3-0,4 selama beberapa dekade terakhir. Gini Ratio sendiri adalah indikator yang digunakan untuk mengukur ketidakmerataan pendapatan secara agregat. Angka Gini Ratio berkisar antara 0 hingga 1, di mana nilai yang semakin tinggi mencerminkan ketimpangan yang makin lebar, sementara nilai mendekati nol menunjukkan distribusi yang lebih merata.
Nilai Gini Ratio di rentang 0,3-0,4 menunjukkan bahwa ketimpangan pendapatan di Indonesia masih berada di level moderat bahkan bisa dikatakan cukup tinggi.
Kondisinya semakin mengkhawatirkan jika dilihat dalam lingkup yang lebih kecil. Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2025 menunjukkan bahwa Gini Ratio di wilayah perkotaan mencapai 0,395, jauh lebih tinggi dibandingkan perdesaan yang hanya 0,299.
Kota metropolitan seperti DKI Jakarta bahkan memiliki Gini Ratio yang jauh di atas rata-rata nasional. Padahal wilayah perkotaan umumnya memiliki pertumbuhan ekonomi yang relatif lebih tinggi dibanding perdesaan. Namun, pesatnya pertumbuhan ekonomi belum sepenuhnya mencerminkan distribusi kesejahteraan yang merata di seluruh lapisan masyarakat.
Penyebab Ketimpangan
Ketimpangan pendapatan meningkat secara dramatis seiring pesatnya globalisasi sejak setengah abad terakhir. Berkembangnya kebijakan neoliberal dan teknologi sejak periode 1980-an telah mengubah dinamika sosial ekonomi dunia.
Globalisasi melalui perdagangan internasional memungkinkan negara maju mengimpor barang murah yang diproduksi oleh pekerja berupah rendah di negara berkembang, sehingga menekan permintaan terhadap tenaga kerja tidak terampil di negara maju.
Pada saat yang sama, negara maju mengekspor produk berteknologi tinggi yang memerlukan tenaga kerja terampil dan menghasilkan nilai tambah jauh lebih besar. Ini membuat keuntungan globalisasi lebih banyak mengalir kepada sektor dan pekerja berkeahlian tinggi, sehingga memperlebar jurang pendapatan antara pekerja terampil dan kurang terampil.
Belum lagi otomatisasi produksi melalui penggunaan robot dan teknologi yang semakin mengurangi kebutuhan akan tenaga kerja manusia. Akibatnya, pekerja dengan pendidikan dan keterampilan rendah akan semakin sulit bersaing, dan semakin memperlebar kesenjangan pendapatan antar kelas pekerja.
Ketidakmerataan akses teknologi dan infrastruktur dasar seperti pendidikan dan kesehatan turut berkontribusi atas meningkatnya kesenjangan pendapatan.
Di banyak negara, masyarakat yang tinggal di wilayah dengan infrastruktur lemah cenderung tertinggal dalam menguasai keterampilan yang dibutuhkan pasar kerja modern, terutama ketika teknologi semakin skill-biased. Ditambah dengan akses pendidikan berkualitas yang timpang semakin memperlebar jarak produktivitas.
World Inequality Report 2026 juga menegaskan bahwa salah satu penyebab ketimpangan adalah minimnya representasi politik dari kelas pekerja dalam lembaga-lembaga pengambil keputusan. Meski demokrasi menjanjikan suara yang setara, pekerja justru makin tersisih dari parlemen. Akibatnya, kepentingan mereka, seperti kebijakan redistribusi, perlindungan tenaga kerja, dan dukungan bagi kelompok rentan, menjadi kurang diperjuangkan.
Ketidakseimbangan ini mempersempit agenda kebijakan dan membuat sistem politik cenderung menguntungkan kelompok berpendapatan tinggi, sehingga ketimpangan semakin menguat.
Untuk mengurangi ketidaksetaraan, inklusi keuangan perlu diperkuat agar semua orang mendapat akses yang adil terhadap layanan keuangan. Kebijakan juga harus menekankan peningkatan kualitas pendidikan, kesehatan, dan keterampilan kerja untuk memperkuat modal manusia.
Sistem pajak yang lebih progresif juga dibutuhkan agar redistribusi pendapatan berjalan lebih adil. Selain itu, peningkatan partisipasi kelas pekerja dalam pengambilan keputusan juga menjadi langkah strategis untuk memperjuangkan hak pekerja, serta memastikan kebijakan publik lebih responsif terhadap kebutuhan mayoritas masyarakat.
CNBCÂ INDONESIA RESEARCH
[email protected]