Harga MInyak Terendah 5 Tahun: Bagaimana Nasib MEDC - ELSA?
Jakarta, CNBC Indonesia - Tahun 2025 menjadi periode penuh tantangan bagi pasar komoditas energi global. Eforia harga minyak yang sempat menyentuh level psikologis US$ 75 per barel pada Kuartal I-2025 kini seolah lenyap tak berbekas.
Memasuki penghujung tahun, harga minyak mentah jenis Brent dan WTI harus rela terparkir di zona merah.
Harga minyak brent ambles dan ditutup di US$58,92 per barel sementara WTI ada di posisi US$ 55,27 per barel. Harga penutupan tersebut adalah yang terendah sejak awal Februari 2021 atau lima tahun lebih.
Penurunan harga minyak ini bukan sekadar angka di papan perdagangan. Dampaknya merambat nyata ke kinerja keuangan emiten minyak dan gas (migas) di Bursa Efek Indonesia (BEI).
Laporan keuangan Kuartal III-2025 yang sudah dirilis menyingkap tabir menarik yaitu di tengah badai penurunan harga, nasib emiten energi ternyata tidak seragam. Ada yang profitabilitasnya tergerus dalam, namun ada pula "kuda hitam" yang justru mencetak rekor pertumbuhan.
Tim Riset CNBC Indonesia membedah lima emiten utama mulai dari PT Energi Mega Persada (ENRG), PT ESSA Industries Indonesia (ESSA), PT Elnusa Tbk (ELSA), dan PT Apexindo Pratama Duta Tbk (APEX) untuk melihat siapa yang paling tahan banting dan siapa yang paling rentan dalam siklus bearish ini.
MEDC: Anomali Pendapatan Naik, Laba Tergerus
Sorotan utama tertuju pada raksasa migas nasional, PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC). Secara mengejutkan, MEDC sebenarnya masih mampu mencatatkan pertumbuhan pendapatan (revenue) sebesar 8,6% secara tahunan yoy menjadi Rp 29,3 triliun.
Namun, angka ini berbanding terbalik dengan bottom line perusahaan. Laba bersih MEDC anjlok signifikan hingga 65,5% menjadi Rp 1,43 triliun.
Fenomena ini adalah contoh klasik dari margin squeeze. Di sektor hulu (upstream), biaya operasional cenderung fixed atau bahkan meningkat seiring inflasi, namun Harga Jual Rata-rata produk minyak mereka terseret turun mengikuti harga pasar dunia.
Meskipun MEDC memiliki diversifikasi di sektor tembaga (Amman Mineral) dan ketenagalistrikan, besarnya porsi pendapatan dari minyak bumi membuat laba bersihnya sangat sensitif terhadap koreksi harga komoditas.
Meski demikian, EBITDA Margin yang masih terjaga di level 53,5% menunjukkan bahwa secara operasional, mesin uang MEDC sebenarnya masih efisien, hanya saja momentum harganya sedang tidak berpihak.
ESSA: Efek Domino Turunnya Harga Jual
Cerita serupa datang dari sektor hilir pengolahan. PT ESSA Industries Indonesia Tbk (ESSA) harus rela melihat laba bersihnya terkoreksi 30,1% menjadi Rp 355,4 miliar. Pendapatan perseroan pun turun 4,1% YoY.
Kinerja ESSA sangat terikat dengan harga komoditas global. Harga jual produk utama mereka, yakni LPG dan Amonia, umumnya mengacu pada harga kontrak internasional yang berkorelasi positif dengan harga minyak mentah.
Ketika minyak dunia lesu, harga jual produk ESSA otomatis turun. Dengan Net Margin yang menipis ke level 10,6%, investor perlu mencermati apakah efisiensi biaya bahan baku gas bisa mengimbangi penurunan harga jual ini di kuartal mendatang.
ENRG: "Sang Juara" Volume di Tengah Badai Harga
Di tengah kemuraman sektor energi, PT Energi Mega Persada Tbk (ENRG) justru tampil sebagai anomali positif yang mengejutkan pasar. Emiten milik Grup Bakrie ini sukses membukukan kenaikan laba bersih sebesar 19,6% menjadi Rp 928,3 miliar. Lebih impresif lagi, pendapatan mereka melonjak 24,6% YoY.
Apa rahasianya? Strategi Volume Beat Price. Di saat harga minyak turun, ENRG tidak pasrah. Mereka merespons dengan menggenjot volume produksi (lifting) secara agresif dari aset-aset migas mereka. Kenaikan volume penjualan yang signifikan ini berhasil menutupi, bahkan melampaui, dampak negatif dari penurunan harga jual per barel
Rasio profitabilitas ENRG pun terlihat sangat sehat dengan EBITDA Margin yang menyentuh angka fantastis 59,9% dan Net Margin 15,4%. Ini membuktikan bahwa fundamental operasional ENRG makin solid dan tidak semata-mata bergantung pada nasib harga minyak.
APEX & ELSA: Dua Wajah Jasa Penunjang
Beralih ke sektor jasa penunjang, PT Apexindo Pratama Duta Tbk (APEX) mencatat lonjakan laba bersih tertinggi di antara peers, yakni meroket 72,1% menjadi Rp 25,3 miliar. Namun, investor perlu jeli membedah angka ini. Bisnis penyewaan rig bersifat lagging indicator.
Kinerja cemerlang hari ini kemungkinan besar adalah buah dari kontrak jangka panjang yang diteken 6-12 bulan lalu saat harga minyak masih tinggi.
Dengan rasio DER yang cukup tinggi di angka 2,65 kali, APEX menghadapi tantangan berat jika tren harga minyak rendah bertahan lama, yang berpotensi membuat klien menunda perpanjangan kontrak rig di masa depan.
Di sisi lain, PT Elnusa Tbk (ELSA) menawarkan cerita stabilitas. Laba bersihnya memang turun tipis 4,5% menjadi Rp 526,6 miliar, namun ini jauh lebih baik dibandingkan kontraksi di sektor hulu.
ELSA memiliki keunggulan model bisnis yang unik lewat segmen distribusi dan logistik BBM. Permintaan distribusi BBM di dalam negeri cenderung inelastis-masyarakat tetap butuh bensin terlepas dari harga minyak dunia naik atau turun.
Hal ini membuat ELSA memiliki arus kas yang stabil dengan valuasi yang relatif murah (PER 7,07 kali), menjadikannya saham defensif yang menarik.
Benang Merah: Divergensi Bisnis di Bawah Tekanan Makro
Melihat kinerja kelima emiten di atas, terdapat satu benang merah yang menarik untuk disimak
Secara keseluruhan, Kuartal III-2025 menjadi ajang "Stress Test" bagi model bisnis masing-masing emiten. Kesamaan dari kelima emiten ini adalah mereka sama-sama menghadapi tekanan eksternal yang identik, yaitu harga acuan minyak yang turun ke level US$ 60-an. Namun, respons laporan keuangan mereka menunjukkan dua kubu besar.
Kubu pertama adalah emiten yang kinerjanya didikte oleh Harga (Price Driven), seperti MEDC dan ESSA. Bagi kelompok ini, fluktuasi harga global langsung terkonversi menjadi fluktuasi laba bersih karena struktur biaya mereka yang relatif kaku.
Kubu kedua adalah emiten yang kinerjanya digerakkan oleh Volume dan Kontrak (Volume/Contract Driven), seperti ENRG, APEX, dan ELSA (segmen distribusi).
Kelompok ini membuktikan bahwa penurunan harga komoditas bisa diredam, atau bahkan diabaikan, selama perusahaan mampu meningkatkan volume produksi atau mengamankan kontrak jasa jangka panjang yang bersifat tetap.
Insight ini menegaskan bahwa dalam sektor energi, tren makroekonomi (harga minyak) memang menjadi indikator awal, namun efisiensi operasional dan strategi produksi (mikroekonomi perusahaan) adalah penentu akhir rapor hijau atau merah di laporan keuangan.
-
Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(gls/gls)