Tembaga Bergejolak, Alarm Krisis Pasokan Global Makin Berbunyi Nyaring
Jakarta, CNBC Indonesia - Harga tembaga global kembali bergerak volatil sepanjang Desember 2025, mencerminkan ketegangan yang kian nyata di pasar logam industri dunia.
Melansir dari Refinitiv harga tembaga COMEX (HGc3) berada di level US$5,316 per pon pada Selasa (16/12/2025), melemah dibandingkan penutupan sehari sebelumnya di US$5,383 per pon.
Dalam sepekan terakhir, pergerakan harga tembaga cenderung fluktuatif dengan bias koreksi. Dari posisi US$5,472 per pon pada 11 Desember, harga sempat turun ke kisaran US$5,292-5,33 per pon, menandakan adanya aksi ambil untung di tengah reli besar yang sudah terjadi sejak November.
Namun jika ditarik lebih panjang, tren tembaga masih menunjukkan penguatan signifikan. Sejak awal November 2025, harga telah melonjak dari area US$4,97 per pon menjadi konsisten bertahan di atas US$5 per pon, mencerminkan pasar yang semakin sensitif terhadap isu pasokan dan kebijakan perdagangan global.
Melansir dari CNBC International, lonjakan harga tembaga sepanjang 2025 tidak berdiri sendiri. Menurut sejumlah analis global, reli ini didorong kombinasi gangguan pasokan tambang, lonjakan permintaan struktural dari transisi energi dan kecerdasan buatan, serta kekhawatiran akan tarif impor tembaga oleh Amerika Serikat di masa mendatang.
Citi melihat tembaga berada di jalur reli lanjutan hingga 2026. Dalam skenario bullish, bank investasi tersebut memperkirakan harga tembaga dapat menembus US$13.000 per ton pada awal 2026, bahkan berpotensi naik ke US$15.000 per ton pada kuartal II-2026, seiring defisit pasokan yang kian melebar.
Salah satu faktor krusial adalah fenomena penimbunan tembaga di Amerika Serikat. Arbitrase harga antara bursa COMEX AS dan London Metal Exchange (LME) mendorong arus besar tembaga masuk ke AS. Akibatnya, pasokan di luar AS semakin mengetat dan menekan ketersediaan global.
Data pasar menunjukkan selisih harga antara tembaga COMEX dan LME telah menciptakan insentif kuat bagi trader untuk mengalihkan stok fisik ke AS. Dampaknya, inventori tembaga di LME yang kerap dianggap sebagai barometer keseimbangan pasar global terus menurun tajam sepanjang tahun ini.
Foto: LMEHarga Tembaga di LME |
Ketatnya pasokan juga tercermin dari meningkatnya porsi canceled warrants di LME, yakni stok tembaga yang sudah dipesan untuk pengiriman fisik dan praktis tidak lagi tersedia di pasar. Kondisi ini memperkuat kekhawatiran akan potensi supply squeeze dalam beberapa kuartal ke depan.
Dari sisi fundamental produksi, tekanan pasokan semakin nyata. Sejumlah bank dan pelaku industri menilai tahun 2025 sebagai periode dengan gangguan tambang yang signifikan. Pemangkasan proyeksi produksi oleh perusahaan-perusahaan besar membuat ekspektasi surplus semakin menjauh.
Beberapa raksasa tambang global bahkan telah menurunkan panduan produksi tembaga untuk 2026. Penurunan output ratusan ribu ton dari estimasi awal memperkuat pandangan bahwa pasar tembaga global akan berada dalam kondisi defisit struktural, setidaknya hingga paruh pertama 2026.
Di sisi permintaan, meski konsumsi tembaga China belakangan dinilai kurang agresif, kebutuhan dari sektor elektrifikasi, pembangunan jaringan listrik, kendaraan listrik, dan pusat data tetap menjadi penopang jangka panjang. Tembaga kini semakin dipandang sebagai logam strategis dalam peta ekonomi hijau global.
Dengan pasokan yang kian terbatas, risiko kebijakan tarif, serta permintaan struktural yang sulit digantikan, pergerakan harga tembaga ke depan berpotensi tetap naik turun.
CNBCÂ Indonesia Research
(emb/emb)
Foto: LME