MARKET DATA

Dari Alternatif Jadi Kebutuhan: Pinjol Kini Pegang Urat Nadi Keuangan

Emanuella Bungasmara Ega Tirta,  CNBC Indonesia
16 December 2025 13:25
Pinjol paling banyak utangi warga ri
Foto: Judul/ Pinjol /Aristya Rahadian

Jakarta, CNBC Indonesia- Pinjaman daring atau yang sebelumnya akrab disebut pinjol dulunya merupakan pilihan alternatif dan sekarang sudah jadi bagian keseharian jutaan masyarakat Indonesia.

Hanya dengan ponsel dan jaringan internet, dana bisa cair dalam hitungan menit. Fleksibilitas ini membuat pindar tumbuh cepat, tapi juga menghadirkan tantangan, dari jebakan utang konsumtif hingga perlunya regulasi ketat.

Fenomena ini tidak terjadi semalam. Perjalanan panjang industri pinjaman berbasis teknologi memperlihatkan bagaimana layanan keuangan digital mampu menjawab kesenjangan akses pembiayaan.

Konsep pinjaman daring pertama kali muncul pada 2005 lewat Zopa di Inggris. Model peer-to-peer (P2P) lending ini segera diikuti Amerika Serikat, Tiongkok, dan negara-negara Eropa. Indonesia baru mengenalnya satu dekade kemudian.

Perusahaan pindar pertama di Tanah Air adalah KoinWorks pada 2015. Setahun setelahnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menerbitkan regulasi khusus melalui POJK No. 77/2016. Aturan ini lahir bukan tanpa alasan. Saat itu, jutaan UMKM kesulitan mendapat kredit bank, sehingga hadirnya pindar dianggap solusi untuk memperluas inklusi keuangan.

Ledakan Pinjaman Daring di Indonesia

Sejak itu, pertumbuhan pindar di Indonesia dapat dibilang eksplosif. Melansir dari OJK per Juni 2025 mencatat pertumbuhan pinjaman daring terlihat konsisten sepanjang 2024 hingga 2025.

Penerima pinjaman daring mencapai 158,37 juta akun atau setara 55,6% populasi. Outstanding pinjaman meningkat dari Rp66,79 triliun pada Juni 2024 menjadi Rp83,47 triliun setahun kemudian.



Kenaikan 25% ini menunjukkan tingginya kebutuhan masyarakat terhadap akses kredit alternatif, juga daya tahan industri fintech lending di tengah perlambatan ekonomi makro.

Menariknya, jumlah pemberi pinjaman (lender entitas) juga melonjak signifikan. Per Juni 2025 terdapat 200 entitas pemberi pinjaman, hampir dua kali lipat dari 107 entitas pada Juni 2024. Lonjakan lender ini menandakan semakin banyak institusi yang melihat potensi bisnis di sektor pinjaman daring.

 



Namun, hal ini sekaligus menuntut AFPI dan OJK untuk memastikan semua entitas beroperasi sesuai standar perlindungan konsumen dan tata kelola yang sehat.

Selain itu perlu dicatat bahwa kualitas portofolio relatif sehat. Tingkat wanprestasi 90 hari (TWP90) turun ke 2,85%.

Literasi dan Inklusi: Tantangan di Tengah Pertumbuhan

Meski pengguna pindar meledak, tingkat literasinya masih rendah. Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2025 yang dilakukan OJK dan BPS menunjukkan indeks literasi keuangan naik ke 66,46%, sementara inklusi mencapai 80,51%.

Namun kontribusi fintech lending masih kecil, literasi baru 24,9% dan inklusi hanya 4,4%. Padahal, data menunjukkan pindar kini sudah digunakan oleh lebih dari separuh populasi. Kesenjangan antara pemakaian dan pemahaman inilah yang rawan berujung masalah, mulai dari jebakan utang hingga risiko gagal bayar massal.

Di tengah derasnya arus pertumbuhan ini, Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) hadir sebagai asosiasi resmi yang ditunjuk OJK untuk mengatur industri fintech lending.

Perannya administratif, juga mengawal standar perlindungan konsumen, meningkatkan literasi, dan mengembangkan sistem data bersama (Fintech Data Center) agar pendanaan lebih sehat.

Ragam Produk Pinjaman Daring Resmi

Anggota AFPI kini menawarkan berbagai produk yang dirancang sesuai kebutuhan masyarakat.

Seperti pinjaman produktif yang menyasar UMKM dan sektor produktif, produk ini memberi modal kerja yang sebelumnya sulit diakses lewat bank. Misalnya, usaha kecil bisa mendapatkan tambahan dana untuk memperluas produksi atau memperkuat distribusi.

Lalu pinjaman multiguna yang populer di kalangan individu, digunakan untuk kebutuhan sehari-hari hingga pembiayaan darurat.

Adapula pinjaman syariah yang menjawab permintaan pasar berbasis prinsip syariah, produk ini menghindari bunga konvensional dengan skema bagi hasil atau fee tertentu.



Selain itu AFPI mewajibkan seluruh anggotanya berbagi data melalui FDC. Tujuannya mencegah pendanaan ganda dan melacak profil risiko peminjam, sehingga industri lebih aman dari sisi kualitas kredit.

Perjalanan pindar di Indonesia menggambarkan bagaimana inovasi finansial bisa mengisi celah yang tidak mampu dijangkau perbankan. Dari hanya satu perusahaan di 2015, kini sudah ada ratusan platform yang melayani lebih dari 158 juta akun.

Tantangan ke depan terletak pada edukasi. Tanpa literasi, akses luas justru bisa menjerumuskan. Namun dengan regulasi OJK, peran asosiasi, serta ragam produk resmi yang makin matang, pindar berpotensi besar menjadi motor inklusi keuangan Indonesia.

Bagi masyarakat, pindar resmi menjadi jembatan menuju akses keuangan yang lebih inklusif, aman, dan produktif.

CNBC Indonesia Research


(emb/emb)



Most Popular