MARKET DATA
Newsletter

Investor Deg-deg-an: Pekan Ini BI Hadapi Gempuran 3 Raksasa Dunia

Gelson Kurniawan,  CNBC Indonesia
15 December 2025 06:21
ASUMSI MAKRO EKONOMI RAPBN 2026
Foto: infografis/ASUMSI MAKRO EKONOMI RAPBN 2026/ Aristya rahadian
  • Pasar keuangan RI ditutup kompak menguat setelah sentimen pemangkasan suku bunga oleh The Fed.
  • Bursa Wall Street ditutup kompak melemah setelah mencetak rekor all time high hari sebelumnya.
  • Keputusan suku bunga Bank Indonesia akan menjadi penentu pergerakan pasar keuangan pada pekan ini.

Jakarta,CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia ditutup kompak menguat setelah sentimen pemangkasan suku bunga bank sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve (The Fed).
Pasar keuangan Indonesia diharapkan bisa membaik pada pekan ini. Selengkapnya mengenai proyeksi sentimen hari ini dan sepanjang pekan ini, bisa dibaca pada halaman 3 artikel ini.

 Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) naik 40,02 poin atau 0,46% pada akhir perdagangan Jumat kemarin (12/12/2025). Indeks parkir di level 8.660,5.

Sepanjang Jumat kemarin, indeks bergerak pada rentang 8.585,42-8.680,04. Kendati demikian, sepanjang pekan lalu IHSG mengalami koreksi 0,19%.

Adapun nilai transaksi Jumat kemarin mencapai Rp 29,76 triliun, melibatkan 50,85 miliar saham dalam 2,96 juta kali transaksi. Emiten grup Bakrie kembali menguasai panggung.

Bumi Resources (BUMI) membukukan nilai transaksi Rp 7,56 triliun. Lalu Bumi Resources Minerals (BRMS) Rp 5,89 triliun dan Dharma Henwa (DEWA) Rp 3,15 triliun.

Mengutip Refinitiv, ada tiga sektor naik paling kencang, yaitu bahan baku (2,93%), kesehatan (1,85%), dan properti (1,39%).

Sektor bahan baku naik kencang seiring dengan pergerakan saham tambang seperti BRMS (24,87%), PT Archi Indonesia Tbk  ARCI (24,73%), dan PT Citatah CTTH (34,6%).

Sementara itu, emiten yang menjadi penopang IHSG Jumat kemarin adalah BUMI dengan bobot 30,09 indeks poin. BUMI berada dalam tren positif dalam sepekan terakhir dan parkir di level 368.

Lalu saham Amman Mineral (AMMN) yang sebelumnya bergerak sideways tiba-tiba berdenyut pada akhir perdagangan pekan lalu. AMMN naik 5,91% dan menyumbang 12,03 indeks poin.r

Pada perdagangan Jumat kemarin, dua saham Prajogo Pangestu juga berkontribusi terhadap kinerja positif IHSG. Barito Renewables Energy (BREN) menyumbang 5,18 indeks poin dan Barito Pacific (BRPT) 4,21 indeks poin.

Beralih ke nilai tukar Rupiah, Rupiah mengalami penguatan terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada penutupan pasar hari Jumat (12/12/2025)

Merujuk data Refinitiv, rupiah ditutup pada level Rp16.635/US$ atau mencatatkan penguatan sebesar 0,18%. Penguatan sudah terjadi sejak awal perdagangan ke level Rp16.620/US$, namun seiring perdagangan, penguatan rupiah justru berkurang hingga di level penutupan. Sepanjang kemarin, rupiah bergerak di rentang level Rp16.620 - Rp16.670/US$.

Sementara itu DXY mengalami sedikit penguatan ke level 98.399 hingga penutupan pasar Jumat kemarin.

Pelemahan rupiah pada perdagangan hari Jumat tidak terlepas dari tekanan eksternal, terutama setelah Bank Sentral AS (The Fed) memangkas suku bunga acuannya sebesar 25 basis poin, yang merupakan pemangkasan ketiga sepanjang 2025.

Keputusan tersebut memicu perubahan alokasi portofolio global, di mana pelaku pasar cenderung mengurangi eksposur terhadap aset berdenominasi dolar dan menyesuaikan posisi pada aset berisiko, sehingga memberikan tekanan tambahan pada rupiah.

Di sisi lain, dinamika di pasar obligasi AS turut memperburuk sentimen terhadap mata uang Garuda.

Imbal hasil (yield) US Treasury kembali menurun setelah The Fed mengumumkan rencana untuk memulai pembelian surat utang jangka pendek mulai 12 Desember senilai US$40 miliar dalam bentuk Treasury bills.

Selain itu, The Fed juga akan mengalihkan US$15 miliar dari aset mortgage-backed securities (MBS) yang jatuh tempo untuk kembali diinvestasikan ke T-bills, sehingga total injeksi likuiditas bulan ini mencapai US$55 miliar.

Walaupun demikian, hal Jumat membuat pasar obligasi di tanah air tidak mengalami perubahan sama sekali dari hari sebelumnya di mana ditutup pada angka 6.189 pada penutupan perdagangan Jumat kemarin.

Hal ini terjadi diakibatkan oleh sifat wait and see pasar terhadap keputusan BI-rate yang akan diputuskan pada pekan lalu.

Bursa saham Amerika Serikat menutup perdagangan akhir pekan lalu dengan penyesuaian yang cukup signifikan, di mana indeks-indeks utama bergerak variatif dengan kecenderungan melemah.

Pada sesi Jumat, investor terlihat aktif melakukan rotasi portofolio, beralih dari saham-saham teknologi yang telah mengalami kenaikan pesat (growth stocks) menuju sektor-sektor yang dinilai memiliki valuasi lebih menarik (value stocks) dan sensitif terhadap pemulihan ekonomi.

Indeks Nasdaq Composite memimpin pelemahan dengan penurunan 1,69%, diikuti oleh S&P 500 yang terkoreksi 1,07%. Sementara itu, Dow Jones Industrial Average hanya turun tipis 0,51%, bahkan sempat mencatatkan rekor tertinggi harian di awal sesi.

Pergerakan ini terjadi menyusul keputusan Federal Reserve yang memangkas suku bunga untuk ketiga kalinya tahun ini pada hari Rabu sebelumnya, sebuah langkah yang cenderung menguntungkan sektor siklikal dan perusahaan berkapitalisasi kecil.

Sektor teknologi menjadi pusat tekanan pasar kali ini, dipicu oleh penurunan tajam saham Broadcom sebesar lebih dari 11%.

Meskipun perusahaan tersebut melaporkan pendapatan yang melampaui ekspektasi dan memberikan panduan optimis terkait penjualan chip AI, pasar bereaksi negatif terhadap kekhawatiran mengenai kompresi margin keuntungan.

Sentimen ini menciptakan efek domino yang membebani saham-saham terkait kecerdasan buatan (AI) lainnya, termasuk Nvidia, AMD, dan Micron yang turut terkoreksi. Dalam skala mingguan, saham teknologi berkapitalisasi besar seperti Alphabet dan Meta juga mencatatkan kinerja negatif.

"Hari ini adalah hari di mana saham 'value' mengungguli saham 'growth'," kata Jed Ellerbroek, manajer portofolio di Argent Capital Management. "Investor jelas gelisah terkait AI - bukan pesimis sepenuhnya, tapi saya pikir hanya agak hati-hati, gugup, dan ragu." ujarnya kepada CNBC

Sebaliknya, arus dana justru mengalir deras ke sektor-sektor konvensional, memberikan daya tahan bagi indeks di luar teknologi. Sektor keuangan, kesehatan, dan industri menjadi penopang utama, dengan saham-saham seperti Visa, Mastercard, GE Aerospace, dan UnitedHealth Group mencatatkan kinerja positif.

Dinamika ini membuat Dow Jones berhasil menutup minggu dengan kenaikan akumulatif sebesar 1,1%, berbeda nasib dengan S&P 500 dan Nasdaq yang mencatatkan kerugian mingguan.

Selain itu, indeks Russell 2000 yang berisi saham-saham berkapitalisasi kecil juga menguat 1,2% sepanjang pekan, menandakan bahwa partisipasi pasar mulai meluas (market breadth) dan tidak lagi hanya bergantung pada segelintir saham teknologi raksasa.

Meskipun terdapat volatilitas jangka pendek akibat rotasi sektor ini, pandangan terhadap prospek pasar saham AS dalam jangka panjang tetap konstruktif. Lembaga keuangan UBS, dalam catatan terbarunya, mempertahankan pandangan bullish dengan memproyeksikan bahwa S&P 500 berpotensi mencapai level 7.700 pada akhir tahun 2026.

Optimisme ini didasarkan pada ekspektasi profitabilitas perusahaan yang tetap tinggi, dampak positif adopsi AI yang berkelanjutan, serta dukungan kebijakan moneter yang lebih longgar.

Dengan demikian, koreksi yang terjadi saat ini dipandang sebagai dinamika pasar yang sehat dalam sebuah tren kenaikan jangka panjang.

"Kami memperkirakan profitabilitas tinggi dan dampak akselerasi AI, energi, dan sumber daya, serta tema QE akan mendorong kinerja 2026," ujar Sagar Khandelwal dari UBS kepada CNBC

Investor perlu mencermati sejumlah sentimen sepanjang pekan ini, baik dari dalam atau luar negeri. Sebagai catatan, pekan ini menjadi minggu terakhir tahun ini di mana perdagangan akan berlangsung lima hari penuh. Pada pekan depan dan pekan beriikutnya, aktivitas perdagangan banyak libur karena cuti bersama dan libur Natal serta Tahun Baru.

Sentimen besar akan datang dari Bank Indonesia yang akan memutuskan suku bunga. Rapat BI ini digelar di tengah banyaknya gempuran data ekonomi penting dari Amerika Serikat, China hingga Jepang/

Berikut beberapa sentimen pekan ini:

Statistik Utang Luar Negeri Indonesia

Dari dalam negeri, hari ini Bank Indonesia akan merilis Statistik Utang Luar Negeri (SULNI) periode Oktober 2025. Data ini akan menjadi "cek kesehatan" bagi fundamental ekonomi Indonesia.

Investor asing akan mencermati rasio utang terhadap PDB serta porsi utang jangka pendek swasta, terutama di tengah kondisi suku bunga global yang masih tinggi.

Data ini krusial untuk memastikan bahwa Indonesia memiliki bantalan yang cukup kuat terhadap guncangan eksternal.

Stabilitas dalam data ULN akan memberikan sentimen positif bagi pasar obligasi dan nilai tukar Rupiah.

Jika pengelolaan utang terlihat hati-hati (prudent) dan terkendali, hal ini akan memperkuat kepercayaan investor bahwa Indonesia mampu menavigasi ketidakpastian global tanpa risiko krisis likuiditas dolar, menjaga Rupiah tetap stabil di sisa tahun ini.

Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia

Agenda utama domestik pekan depan adalah Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia yang akan digelar pada Selasa dan Rabu (16-17/12 2025). Situasi saat ini menempatkan BI dalam posisi yang cukup kompleks.

Di satu sisi, inflasi domestik relatif terkendali dan sektor riil membutuhkan stimulus bunga rendah. Namun di sisi lain, ketidakpastian global dan volatilitas nilai tukar menuntut BI untuk tetap menjaga selisih suku bunga yang menarik bagi investor asing.

Pasar sangat menantikan sinyal atau panduan dari Gubernur BI. Apakah BI akan tetap mempertahankan sikap "pro-stability" dengan menahan suku bunga (hold), atau mulai memberikan isyarat pelonggaran (pivot) untuk tahun depan seiring dengan melunaknya sikap The Fed?

Keputusan dan nada bicara BI dalam rapat ini akan sangat menentukan arah pergerakan IHSG dan pasar obligasi Indonesia di akhir tahun.

Pertumbuhan Kredit Indonesia

Sebagai latar belakang penting bagi keputusan RDG, pasar juga menyoroti data pertumbuhan kredit perbankan bulan November yang diproyeksikan melambat tipis ke level 7,3% (yoy) dari 7,36% bulan sebelumnya.

Angka ini menceritakan kondisi sektor riil yang sedang dalam mode wait and see. Permintaan kredit yang melambat mencerminkan pelaku usaha yang menahan ekspansi bisnisnya menunggu kepastian arah ekonomi.

Bagi Bank Indonesia, data ini adalah indikator vital. Jika pertumbuhan kredit melambat terlalu dalam, itu menjadi tanda bahaya bahwa roda ekonomi mulai kehilangan momentum.

Hal ini bisa menjadi argumen kuat bagi BI untuk mempertimbangkan pelonggaran kebijakan moneter lebih cepat dari perkiraan, guna mencegah stagnasi pertumbuhan di sektor riil pada tahun 2026.

Penjualan Ritel dan Produksi Industri China

China akan membuka pekan dengan rilis data aktivitas ekonomi yang menjadi cermin nyata efektivitas stimulus pemerintah Beijing.

Produksi industri pada Oktober 2025 tercatat tumbuh 4,9% secara tahunan (yoy), melambat cukup signifikan dari 6,5% di bulan sebelumnya dan meleset dari ekspektasi pasar.

Angka ini menceritakan kisah sektor manufaktur yang masih tertatih-tatih menghadapi permintaan global yang melandai serta transisi domestik yang belum mulus, menandakan bahwa mesin pabrik dunia ini belum berputar dengan kecepatan penuh.

Di sisi lain, penjualan ritel tumbuh 2,9% yoy, sebuah angka yang secara teknis melampaui prediksi namun menyimpan detail yang mengkhawatirkan.

Pemulihan konsumsi terlihat sangat timpang; lonjakan pembelian terjadi pada aset defensif seperti emas dan perhiasan, sementara penjualan barang tahan lama (big-ticket items) seperti mobil justru tertekan.

Fenomena ini mengindikasikan bahwa kelas menengah China masih diselimuti kecemasan finansial (precautionary saving), memilih mengamankan kekayaan daripada membelanjakannya untuk konsumsi produktif.

Inflasi Amerika Serikat (CPI)

Rilis data inflasi AS pada Kamis (18/12/2025)akan menjadi penentu validasi kebijakan The Fed. Inflasi inti (Core CPI) dilaporkan melambat ke level 3% secara tahunan (YoY), dengan kenaikan bulanan yang terjaga stabil di 0,2%.

Melandainya inflasi inti ini-yang menyaring volatilitas harga pangan dan energi-memberikan sinyal kuat bahwa tekanan harga di tingkat konsumen AS mulai terkendali secara struktural.

Data ini menjadi kepingan puzzle yang krusial bagi investor. Dengan inflasi yang perlahan menjinak dan pasar tenaga kerja yang melemah (seperti terlihat pada data NFP), The Fed memiliki "lampu hijau" penuh untuk memangkas suku bunga tanpa khawatir memicu kembali lonjakan harga.

Bagi pasar saham, kombinasi inflasi rendah dan prospek suku bunga rendah biasanya menjadi katalis positif, asalkan ekonomi tidak jatuh ke dalam resesi.

Non-Farm Payrolls dan Tingkat Pengangguran AS

Pasar tenaga kerja Amerika Serikat kini menjadi pusat perhatian utama karena sinyal pendinginan yang berubah menjadi alarm bahaya. Konsensus pasar memperkirakan data Non-Farm Payrolls (NFP) bulan November anjlok drastis ke angka 35.000 tenaga kerja baru-dengan forecast terendah bahkan di 25.000.

Jika dibandingkan dengan capaian bulan Oktober yang sebesar 119.000, penurunan tajam ini menandakan bahwa perusahaan-perusahaan AS telah menginjak rem perekrutan secara mendadak, sebuah indikator klasik menuju perlambatan ekonomi yang lebih dalam.

Situasi ini diperparah dengan tingkat pengangguran yang dilaporkan naik ke level 4,4%, posisi tertinggi sejak Oktober 2021. Bagi The Fed, data ini mengubah narasi dari sekadar "menjaga inflasi" menjadi "menyelamatkan ekonomi".

Pasar tenaga kerja yang mendingin dengan cepat akan menekan daya beli konsumen AS, yang selama ini menjadi penopang utama ekonomi global. Hal ini memberikan tekanan besar bagi bank sentral untuk segera melonggarkan kebijakan moneter guna mencegah skenario hard landing.

Neraca Perdagangan Jepang

Di tengah pekan, Jepang dijadwalkan merilis data neraca perdagangan yang diproyeksikan mencatat surplus sebesar 71,2 miliar Yen, jauh lebih optimis dibandingkan perkiraan awal sebesar 65 miliar Yen.

Surplus ini menjadi bukti bahwa strategi pelemahan mata uang Yen akhirnya membuahkan hasil manis bagi sektor ekspor, membuat produk otomotif dan elektronik Jepang sangat kompetitif di pasar internasional.

Namun, keberhasilan ini dibayangi oleh tantangan biaya energi. Meskipun ekspor tumbuh solid, nilai impor Jepang tetap tinggi karena kebutuhan pembelian energi menjelang musim dingin.

Bagi pembuat kebijakan di Tokyo, surplus neraca dagang ini memberikan sedikit ruang bernapas dan kepercayaan diri bahwa fundamental eksternal Jepang cukup kuat untuk menghadapi potensi volatilitas pasar saat mereka bersiap menormalisasi suku bunga.

Inflasi Jepang

Berbeda dengan AS yang inflasinya melandai, Jepang justru menghadapi tekanan harga yang persisten. Tingkat inflasi tahunan tercatat naik menjadi 3,0% yoy, level tertinggi sejak Juli, yang didorong oleh lonjakan biaya listrik dan transportasi.

Ini bukanlah inflasi yang didorong oleh permintaan yang sehat, melainkan inflasi biaya (cost-push) yang menggerus daya beli gaji para pekerja di Jepang.

Kondisi ini menempatkan Bank of Japan (BoJ) dalam posisi sulit. Mereka tidak bisa lagi berargumen bahwa inflasi hanya bersifat sementara.

Tekanan biaya hidup yang semakin mahal bagi rumah tangga menciptakan desakan politis dan ekonomis bagi bank sentral untuk segera bertindak menstabilkan harga, meskipun ekonomi Jepang sendiri baru saja mulai pulih.

Keputusan Suku Bunga Bank of Japan (BoJ)

Sebagai respons langsung terhadap data inflasi yang tinggi, pertemuan Bank of Japan pekan depan diprediksi akan menjadi momen bersejarah. Konsensus pasar meyakini BoJ akan menaikkan suku bunga acuannya menjadi 0,75% dari posisi sebelumnya 0,5%.

Langkah agresif ini menandai akhir dari era uang murah dan kebijakan ultra-longgar yang telah menjadi ciri khas ekonomi Jepang selama beberapa dekade.

Kenaikan suku bunga ini juga merupakan strategi untuk mempersempit selisih imbal hasil dengan Amerika Serikat, yang diharapkan dapat menopang nilai tukar Yen yang sempat terpuruk.

Bagi investor global, langkah ini perlu diwaspadai karena berpotensi memicu arus balik modal (repatriation flows) dari investor Jepang yang selama ini menanamkan modalnya di luar negeri, yang bisa memicu volatilitas di pasar obligasi global.

Loan Prime Rate (LPR) China

Di tengah data ekonomi yang melambat, investor menantikan sikap Bank Sentral China terkait suku bunga pinjaman acuan atau Loan Prime Rate (LPR). Konsensus pasar memperkirakan LPR tenor 1 tahun akan ditahan di level 3%, dan tenor 5 tahun di 3,5%.

Keputusan untuk menahan suku bunga di saat ekonomi membutuhkan dorongan mengindikasikan dilema besar yang dihadapi Beijing: ingin memacu pertumbuhan, namun khawatir menekan margin perbankan.

Sikap hati-hati ini menunjukkan bahwa otoritas China kemungkinan lebih memilih menggunakan stimulus fiskal yang tertarget atau pelonggaran likuiditas melalui instrumen lain, daripada memangkas suku bunga secara agresif yang berisiko memicu pelarian modal (capital outflow).

Bagi pasar, ini berarti pemulihan ekonomi China akan berjalan secara bertahap dan sangat bergantung pada detail implementasi kebijakan fiskal pemerintah.

Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:

  • Apel Terpadu Jasa Marga Siaga Operasional Libur Natal 2025 dan Tahun Baru 2026 di Lapangan Tugu Api, Depan Sasono Utomo, TMII, Kota Jakarta Timur.

  • Konferensi pers "Capaian Kinerja Sektor Kelautan dan Perikanan Tahun 2025 (Part 2)" pada Sektor Perikanan Tangkap & Perikanan Budidaya di Media Center KKP, Gedung Mina Bahari IV, Kota Jakarta Pusat.

  • Policy & Research Dialogue on Sustainable Growth in Indonesia via zoom meeting. Turut hadir antara lain Ketua DEN dan Wakil Ketua DEN.

  • Launching Layanan Pengaduan Masyarakat dan Dunia Usaha Satgas Percepatan Program Strategis Pemerintah yang akan diselenggarakan di Selasar Loka Kretagama, Gedung Ali Wardhana, Kota Jakarta Pusat. Narasumber: Menteri Koordinator Bidang Perekonomian.

  • RUPSLBANTM

  • Retail Sales China
  • Industrial Production China
  • Unemployment Rate China
  • Dialog Pejabat The Fed
  • Statistik Utang Luar Negeri Oktober 2025

Berikut sejumlah agenda emiten di dalam negeri pada hari ini:

  • Pemberitahuan RUPS Rencana PT Gunung Raja Paksi Tbk
  • Pemberitahuan RUPS Rencana PT Wijaya Karya (Persero) Tbk
  • Pemberitahuan RUPS Rencana PT Aneka Tambang Tbk
  • Pemberitahuan RUPS Rencana PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk
  • Pemberitahuan RUPS Rencana PT Adhi Kartiko Pratama Tbk
  • Tanggal Pembayaran Dividen Tunai Interim PT Prima Andalan Mandiri Tbk
  • Tanggal Pembayaran Dividen Tunai Interim PT Pulau Subur Tbk
  • Tanggal ex Dividen Tunai Interim Unilever Indonesia Tbk

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]



Most Popular
Features