Dolar Ambruk Setelah The Fed Cut Rate: Rupiah hingga Ringgit Perkasa
Jakarta, CNBC Indonesia - Mayoritas mata uang Asia bergerak dalam zona penguatan melawan dolar Amerika Serikat (AS) setelah pemangkasan suku bunga oleh bank sentral AS (The Fed).
Melansir data Refinitiv, per pukul 09.17 WIB, sebanyak delapan dari sebelas mata uang Asia tengah mengalami penguatan pada perdagangan pagi ini, Kamis (11/12/2025). Ringgit Malaysia tercatat menjadi mata uang dengan penguatan paling besar, sementara dolar Taiwan justru menjadi yang paling tertekan.
Mata uang Negeri Jiran kembali menunjukkan performa solidnya terhadap greenback, dengan penguatan 0,29% ke level MYR 4,104/US$. Tak jauh berbeda, yen Jepang dan rupiah Garuda juga terapresiasi masing-masing sebesar 0,22% dan 0,21%. Yen berada di level JPY 155,66/US$, sedangkan rupiah menguat ke posisi Rp16.645/US$.
Sejumlah mata uang Asia lainnya turut mencatatkan penguatan. Baht Thailand menguat 0,09%, disusul yuan China yang terapresiasi 0,05%, serta dong Vietnam yang menguat 0,04% terhadap dolar AS. Penguatan tipis juga terjadi pada won Korea dan dolar Singapura, yang masing-masing naik 0,02%.
Di sisi lain, tiga mata uang Asia tercatat justru berada di zona pelemahan. Dolar Taiwan menjadi yang paling tertekan dengan penurunan 0,17% melemah ke posisi TWD 31,141/US$. Rupee India melemah 0,08% ke INR 89,849/US$, sementara peso Filipina turun 0,04% ke level PHP 59,119/US$.
Sementara itu, indeks dolar AS (DXY) per pukul 09.17 WIB tercatat melemah 0,24% ke level 98,549 yang menunjukkan adanya tekanan terhadap greenback setelah pemangkasan suku bunga oleh The Fed.
Pergerakan mata uang Asia hari ini turut dipengaruhi oleh pelemahan dolar AS di pasar global, menyusul langkah The Fed memangkas suku bunga acuan untuk ketiga kalinya sepanjang 2025 sebesar 25 basis poin (bps), sehingga kini berada di kisaran 3,50%-3,75%.
Kebijakan pelonggaran ini mendorong arus keluar dana dari aset-aset berdenominasi dolar dan meningkatkan minat investor terhadap aset berisiko, seperti ke emerging markets termasuk pasar Asia.
Pemangkasan suku bunga dilakukan di tengah semakin banyaknya sinyal pelemahan ekonomi AS, terutama dari sektor tenaga kerja mulai dari perlambatan penciptaan lapangan kerja hingga meningkatnya tingkat pengangguran.
Kondisi tersebut menambah keyakinan bahwa momentum ekonomi AS mulai kehilangan tenaga, sehingga membuka ruang bagi The Fed untuk menurunkan suku bunga, meski secara bertahap.
Namun demikian, The Fed masih memproyeksikan hanya akan ada satu kali pemangkasan suku bunga pada 2026, konsisten dengan pandangan yang disampaikan pada proyeksi September lalu. Pasar menilai bank sentral AS dapat memilih untuk menahan sementara siklus pelonggaran pada pertemuan Januari mendatang sambil menunggu data ekonomi terbaru.
Perbedaan suara The Fed dalam Federal Open Market Committee (FOMC) tadi malam juga turut menjadi perhatian.
Hasil voting 9-3 menunjukkan adanya perbedaan pandangan, dimana sebagian anggota mendukung pemangkasan suku bunga untuk menahan pelemahan pasar tenaga kerja, sementara kelompok lainnya menilai laju pelonggaran saat ini sudah cukup agresif dan masih berpotensi menahan inflasi pada level tinggi.
Pasca keputusan tersebut, probabilitas The Fed menahan suku bunga pada Januari 2026 naik menjadi 78%, dari sebelumnya 70%. Meski demikian, peluang pelonggaran tambahan tetap terbuka apabila data ketenagakerjaan kembali menunjukkan pelemahan signifikan.
Kondisi ini menjadi angin segar bagi mata uang Asia. Melemahnya dolar AS meningkatkan selera risiko global, memberikan ruang bagi mayoritas mata uang regional untuk melanjutkan penguatannya pada perdagangan hari ini.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(evw)