Lembaga Asing Warning Ada Krisis Keuangan Besar di Depan Mata
Jakarta, CNBC Indonesia - Tanda bahaya akan krisis ekonomi global kembali muncul. Kali ini, Bank for International Settlements (BIS) memperingatkan sumber masalah bergeser dari perbankan menuju pemerintah dan lembaga non perbankan.
Dua dekade lalu, BIS menjadi salah satu institusi pertama yang memperingatkan dunia soal ancaman krisis besar. Saat banyak bank sentral masih melihat stabilitas harga sebagai sinyal kesehatan ekonomi, BIS justru menangkap tanda bahaya mulai dari leverage berlebihan, harga aset yang melambung, dan risiko tersembunyi dalam sistem perbankan.
Peringatan itu diabaikan hingga krisis keuangan 2007-2009 benar-benar meledak. Kini, BIS kembali membunyikan alarm. Bedanya, sumber ketidakstabilan tidak lagi berpusat pada bank, melainkan pada pemerintah dan sektor non-bank yang ukurannya telah melampaui perbankan tradisional.
Risiko fiskal membesar, intermediasi bergeser, dan ancamannya kali ini bukan samar melainkan berada tepat di depan mata.
Fiskal Global: Meningkatnya Beban yang Tak Lagi Terkendali
Selama periode panjang pascakrisis, pemerintah di banyak negara maju terus memperbesar belanja melalui defisit anggaran, didorong oleh suku bunga yang sangat rendah dan kebutuhan menstimulasi perekonomian.
Pandemi Covid-19 kemudian membawa lonjakan defisit yang belum pernah terlihat sejak Perang Dunia II. Kini, saat dunia mulai memasuki era suku bunga lebih tinggi, kenyataan pahit mulai tampak.
Foto: Bank for International SettlementRasio Utang Negara Maju |
Rasio utang negara-negara maju telah mencapai titik tertinggi dalam hampir 80 tahun, dan tren ke depan justru mengarah pada kenaikan lebih jauh.
Proyeksi BIS menunjukkan bahwa dalam berbagai skenario baik skenario baseline, penyesuaian fiskal minimal, maupun skenario tekanan demografis dan belanja pertahanan. Trajectory utang cenderung terus menanjak. Populasi menua, kebutuhan layanan publik meningkat, dan ketegangan geopolitik mendorong belanja militer.
Sementara itu, resistensi politik terhadap pajak baru atau pemangkasan anggaran membuat konsolidasi fiskal hampir mustahil.
Namun risiko terbesar bukan semata pada besarnya utang itu. Melainkan pada siapa yang membiayai utang, dan bagaimana pembiayaan itu dilakukan.
Ketergantungan Baru: Sistem Keuangan yang Dikendalikan Non-Bank
Dalam pidatonya, General Manager BIS Pablo Hernandez de Cos mengungkapkan sebuah realitas struktural baru yang jarang menjadi sorotan publik. Dalam 15 tahun terakhir, intermediasi keuangan global bergeser besar-besaran dari bank ke lembaga non-bank (NBFI).
Dulu, bank menjadi jantung sistem keuangan sebagai penyedia kredit, pemegang obligasi pemerintah, sekaligus penyedia likuiditas. Kini, posisinya digeser oleh institusi keuangan non perbankan (NBFI) seperti dana pensiun, perusahaan asuransi, hedge funds, dan money market funds.
Data aset global sebagai persentase PDB memperlihatkan pergeseran ini dengan sangat terang. Pada 2004, porsi aset NBFI dan perbankan masih berdekatan.
Namun setelah krisis 2008, jaraknya melebar cepat. BIS mencatat bahwa antara 2008 dan 2023, porsi aset NBFI terhadap PDB global melonjak 74 poin persentase, sedangkan perbankan hanya naik 17 poin persentase. Puncaknya terlihat pada 2020 ketika aset NBFI mencapai sekitar 249% dari PDB global, jauh di atas perbankan yang sekitar 190%.
Masalahnya, semakin besar peran NBFI, semakin tinggi pula ketergantungan pasar pada sumber pembiayaan yang lebih volatil dan jauh kurang teregulasi dibanding bank.
Pemerintah, pasar obligasi, dan sistem keuangan global kini bertumpu pada investor yang sangat sensitif terhadap perubahan sentimen dan kondisi likuiditas. Pergeseran inilah yang membuka pintu bagi risiko baru yang lebih tersebar, tetapi juga jauh lebih sulit diprediksi dan diawasi.
FX Swaps: Utang Tersembunyi yang Membengkak di Balik Layar
Salah satu temuan paling mengkhawatirkan dari BIS adalah besarnya ketergantungan sistem keuangan global pada pasar derivatif valas, khususnya FX swaps.
Instrumen ini memungkinkan investor mengelola eksposur lintas mata uang, namun pada saat yang sama menciptakan utang dolar jangka pendek dalam skala raksasa yang tidak muncul di neraca resmi.
Karena pembaruan posisi harus dilakukan terus-menerus (rollover), guncangan kecil pada likuiditas dolar dapat menjelma menjadi tekanan sistemik.
Data turnover over-the-counter (OTC) foreign exchange instruments semakin menegaskan kerentanan ini. Aktivitas transaksi valas OTC melonjak pesat dalam dua dekade terakhir, terutama di luar sektor perbankan.
Turnover oleh reporting dealers meningkat dari sekitar US$796 miliar pada 2007 menjadi US$2,22 triliun pada 2025.
Namun pertumbuhan paling mencolok justru datang dari kelompok Other Financial Institutions yang mencakup dana pensiun, perusahaan asuransi, hedge funds, serta manajer aset dengan turnover yang naik dari US$682 miliar menjadi lebih dari US$1,61 triliun pada periode yang sama.
Kenaikan tajam ini menunjukkan bahwa sektor institusi keuangan non-bank kini menjadi pemain dominan dalam perputaran derivatif valas global.
Semakin besar porsi aktivitas ini dilakukan oleh institusi keuangan non-bank maka semakin besar pula eksposur mereka terhadap risiko pendanaan dolar jangka pendek yang dapat berubah arah dengan cepat.
Sementara kategori Non-Financial Customers relatif stabil yang memperlihatkan bahwa ekspansi risiko terutama datang dari pasar keuangan itu sendiri, bukan dari sektor riil.
Efeknya berbahaya pun ketika investor non-bank mengkonversi risiko mata uang menjadi risiko jatuh tempo, mereka memperbesar eksposur terhadap guncangan pendanaan jangka pendek. Sesuatu yang selama ini menjadi pemicu krisis finansial di dunia.
Dengan kata lain, risiko tidak hilang. Namun hanya berpindah bentuk dan seringkali menjadi lebih sulit terdeteksi.
Lembaga Hedge Funds: Mesin Leverage Baru Dunia Keuangan
Kebangkitan sektor non-bank mencapai level paling ekstrem pada hedge funds, yang kini memainkan peran sentral dalam pasar obligasi pemerintah. Untuk meningkatkan imbal hasil, hedge funds memanfaatkan pendanaan jangka pendek melalui pasar repo.
Masalah utamanya adalah sebagian besar pendanaan repo dolar yang diterima hedge funds kini dilakukan tanpa potongan sama sekali.
Artinya, hedge fund dapat meminjam hampir 100% dari nilai jaminannya tanpa jaring keamanan dan membangun posisi besar di obligasi pemerintah dengan leverage yang sangat tinggi. Jika pasar bergerak sedikit saja, mekanisme margin call dapat menciptakan spiral penjualan aset yang sangat cepat.
Foto: Bank for International SettlementHedge Fund |
BIS pun mengingatkan bahwa ketidakstabilan yang dulu terkonsentrasi di bank kini bermigrasi ke sektor yang tidak memiliki kewajiban modal, tidak diawasi ketat, dan tidak memiliki lender of last resort.
Krisis gilt Inggris tahun 2022 menjadi contoh nyata yakni strategi lindung nilai yang tampak aman justru menciptakan likuiditas negatif hingga memaksa dana pensiun menjual obligasi besar-besaran dan memicu intervensi darurat pemerintah.
Fondasi yang Rapuh: Risiko di Pasar Obligasi Pemerintah
Obligasi pemerintah seharusnya menjadi aset paling aman dalam sistem keuangan global. Mereka menjadi patokan harga, jaminan dalam transaksi derivatif, hingga tempat berlindung saat pasar bergejolak. Namun fondasi ini sendiri kini berada di bawah tekanan.
- Utang publik yang meningkat
- Investor non-bank yang sangat sensitif terhadap sentimen
- Struktur pembiayaan jangka pendek
- Leverage besar-besaran di hedge funds
- Eksposur derivatif melalui FX swaps
Hal ini menjadikan pasar obligasi pemerintah lebih rapuh dibanding era mana pun dalam empat dekade terakhir.
BIS menyebut perilaku pasar ini sebagai fenomena yang bersifat diskontinu. Pasar dapat terlihat stabil hari ini namun dapat berubah sebaliknya dalam hitungan jam. Dalam dunia keuangan modern yang serba terhubung, tekanan kecil dapat berubah menjadi guncangan yang sistemik.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(evw)
Foto: Bank for International Settlement
Foto: Bank for International Settlement