MARKET DATA

Siapa Bilang RI Kalah? 5 Perusahaan Nasional Ini "Jajah" Australia

Gelson Kurniawan,  CNBC Indonesia
26 November 2025 12:40
This handout photo taken on January 26, 2022 by the Australian Defence Force shows the Australian flag flying on board the HMAS Adelaide as the ship arrives in Nuku'alofa, Tonga, carrying disaster relief and humanitarian aid supplies following the January 15 eruption of the Hunga Tonga-Hunga Haapai underwater volcano nearby. (Photo by CPL Robert Whitmore / Australian Defence Force / AFP) / -----EDITORS NOTE --- RESTRICTED TO EDITORIAL USE - MANDATORY CREDIT
Foto: AFP/CPL ROBERT WHITMORE

Jakarta, CNBC Indonesia - Peta kekuatan korporasi Indonesia sedang bergeser drastis. Jika satu dekade lalu perusahaan nasional sibuk bertahan dari gempuran asing, kini situasi berbalik. Lima emiten raksasa di Bursa Efek Indonesia (BEI) tercatat melakukan ekspansi agresif ke Australia dalam periode 2021-2025.

Mereka tidak sekadar menjadi investor pasif, melainkan masuk sebagai Pengendali Mutlak. Langkah ini menandai era baru di mana likuiditas jumbo hasil boom komoditas digunakan untuk menguasai aset strategis di yurisdiksi Tier-1.

Berikut adalah bedah strategi 5 pemilik baru Indonesia di Negeri Kanguru:

1.PT Pyridam Farma Tbk (PYFA)

Status: Pemilik Penuh (100%) dengan mengakuisisi perusahaan Probiotec Limited

Langkah PYFA mengakuisisi 100% saham Probiotec Limited pada Juni 2024 senilai Rp 2,7 triliun adalah definisi dari inorganic growth yang agresif. Menggunakan mekanisme Scheme of Arrangement, PYFA membeli perusahaan publik Australia tersebut lalu menghapusnya dari bursa (delisting).

Lompatan Teknologi: Daripada membangun R&D belasan tahun, PYFA "membeli waktu" dengan mengambil alih fasilitas manufaktur Probiotec yang teknologinya jauh lebih maju.

Jaringan Global Instan: PYFA otomatis mewarisi jalur distribusi internasional Probiotec, membuka keran ekspor tanpa harus merintis dari nol.

2. PT Bumi Resources Tbk (BUMI)

Status: Pengendali Mutlak (99,68%) dengan mengakuisisi perusahaan Wolfram Limited

Menyadari masa depan batubara termal yang penuh tantangan, Grup Bakrie melakukan manuver tajam di Oktober 2025 dengan mencaplok 99,68% saham Wolfram Limited. Ini bukan sekadar ekspansi, tapi strategi bertahan hidup jangka panjang.

Diversifikasi 'Green Energy': Wolfram memiliki aset tembaga dan emas. Tembaga adalah komponen vital transisi energi, menyeimbangkan portofolio BUMI yang selama ini berat di batubara "kotor".

Natural Hedging: Pendapatan dalam Dolar Australia/AS dari Wolfram akan menjadi lindung nilai alami saat Rupiah melemah.

3. PT Delta Dunia Makmur Tbk (DOID)

Status: Mayoritas (51% JV) dengan mengakuisisi perusahaan Dawson Complex

DOID melakukan transformasi fundamental pada akhir 2024. Melalui anak usahanya, mereka tidak lagi mau hanya menjadi "kuli" (kontraktor jasa), tapi naik kelas menjadi pemilik tambang dengan membeli 51% hak partisipasi aset Dawson Complex.

Margin Lebih Tebal: Sebagai pemilik (owner), DOID kini menikmati margin penjualan komoditas yang jauh lebih besar dibanding margin tipis jasa kontraktor.

Batubara Premium: Aset yang dibeli adalah tambang batubara metalurgi (bahan baku baja), pasar yang lebih stabil dan premium dibanding batubara pembangkit listrik.

4. PT Dian Swastatika Sentosa Tbk (DSSA)

Status: Pemilik Penuh (100%) dengan mengakuisisi perusahaan Stanmore Resources

Berbeda dengan yang lain, Grup Sinar Mas memainkan strategi canggih. Meski mengendalikan Stanmore Resources, mereka membiarkannya tetap melantai di Bursa Australia (ASX). Stanmore dijadikan "kendaraan" untuk mencaplok aset raksasa lain seperti tambang milik BHP.

Akses Perbankan Global: Dengan status perusahaan publik Australia, Stanmore lebih mudah mendapat pinjaman jumbo dari bank internasional dibanding jika statusnya perusahaan Indonesia.

Agresivitas Akuisisi: DSSA menggunakan neraca Stanmore untuk ekspansi, sehingga risiko utang tidak menumpuk langsung di induk perusahaan Jakarta.

5. PT Indika Energy Tbk (INDY)

Status: Pengendali Utama (72%) dengan mengakuisisi perusahaan Nusantara Resources

Pada 2021, INDY mengambil langkah tegas dengan memprivatisasi total Nusantara Resources. Langkah ini diambil untuk mengamankan aset emas Awak Mas di Sulawesi yang struktur kepemilikannya sempat "nyangkut" di bursa Australia.

Pemangkasan Birokrasi: Dengan menjadi pengendali utama, keputusan investasi dan operasional bisa dieksekusi cepat dari Jakarta tanpa perlu persetujuan pemegang saham publik Australia.

Target 50% Non-Batubara: Ini adalah wujud nyata komitmen Indika untuk menyeimbangkan pendapatan mereka menjadi 50% non-batubara pada tahun 2025.

Mengapa Melakukan Investasi di Negeri Kanguru?

Fenomena "invasi korporasi" ke Australia ini bukanlah kebetulan semata. Dapat dilihat bahwa ada tiga motif strategis besar yang bermain di balik layar, mengubah peta permainan emiten Indonesia dari sekadar pemain lokal menjadi Regional Powerhouse.

Alasan utamanya adalah disiplin valuasi tingkat tinggi. Para konglomerat ini tidak gegabah membelanjakan uang hasil boom komoditas 2022 saat harga aset tambang sedang di all time high. Jika mereka membeli dua tahun lalu, mereka akan terjebak membeli di harga yang sangat mahal sehingga berpotensi menurunkan financial forecast mereka.

Selain soal harga, pemilihan asetnya pun sangat spesifik. Emiten seperti DOID dan DSSA tidak sembarangan membeli tambang. Mereka memburu batubara metalurgi, bukan batubara termal untuk pembangkit listrik. Logikanya, batubara listrik bisa digantikan tenaga surya, tetapi batubara metalurgi adalah bahan baku wajib pembuatan baja yang belum ada penggantinya.

Artinya, mereka sedang memposisikan diri sebagai pemasok bahan baku industri masa depan. Infrastruktur hijau seperti mobil listrik dan kincir angin membutuhkan baja berkualitas tinggi, dan baja membutuhkan coking coal. Jadi, akuisisi ini bukan sekadar bisnis energi fosil, melainkan strategi menjadi penopang industrialisasi global yang umurnya jauh lebih panjang.

Terakhir, ini adalah taktik hedging. Dengan memiliki basis usaha di Australia, emiten mengamankan pendapatan dalam mata uang Dolar Australia atau AS. Saat Rupiah bergejolak, fundamental mereka tetap kokoh karena ditopang arus kas mata uang kuat, sekaligus membuka akses ke bunga pinjaman perbankan global yang lebih murah dibanding bunga kredit di dalam negeri.

-

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(gls/gls)


Most Popular