MARKET DATA

Ekonomi Jepang di Ujung Tanduk, Waspada Indonesia Ikut Kena Petaka

Elvan Widyatama,  CNBC Indonesia
24 November 2025 15:30
Japan’s national flag flutters next to a surveillance camera at the Embassy of Japan in Beijing, China, November 18, 2025. REUTERS/Maxim Shemetov
Foto: REUTERS/Maxim Shemetov

Jakarta, CNBC Indonesia - Kondisi ekonomi jepang sedang mengkhawatirkan, mulai dari pertumbuhan ekonomi yang mengalami kontraksi, inflasi yang justru naik, hingga retaknya hubungan diplomatik dengan China yang membuat situasi Jepang semakin kompleks.

Berdasarkan data pertumbuhan ekonomi Jepang, Produk Domestik Bruto (PDB) periode kuartal III-2025 mengalami kontraksi 1,8% secara tahunan (yoy) dan melemah 0,4% secara kuartalan (qtq). 

Ini menandai kontraksi pertama dalam enam kuartal terakhir. Pelemahan ekonomi Jepang juga mencerminkan rapuhnya permintaan domestik dan adanya tekanan pada sektor-sektor utama Jepang.

Dari sisi komponen, private demand merosot 1,8%, sementara investasi perumahan anjlok lebih dari 32% secara tahunan atau 9,4% secara kuartalan akibat perubahan regulasi dan melemahnya pasar properti.

Ekspor turut melemah 4,5%, terdampak turunnya permintaan global dan tekanan dari kebijakan tarif Amerika Serikat (AS). Konsumsi rumah tangga pun stagnan, hanya naik 0,1%, menunjukkan daya beli yang masih tertekan. Belanja pemerintah menjadi satu-satunya penopang, dengan public demand yang masih tumbuh 2,2%.

Sementara itu, di tengah ekonomi yang menyusut, inflasi Jepang justru kembali naik.

Indeks Harga Konsumen (inflasi) inti tercatat melonjak 3% (yoy) pada Oktober, level tertinggi dalam beberapa bulan terakhir.

Inflasi pangan menjadi sorotan utama dengan harga makanan non-perishables naik 7,2%, kopi melesat 53,4%, cokelat naik 36,9%, sementara harga beras komoditas paling sensitif turut meningkat 40,2% YoY dan masih naik 5,3% dibanding bulan sebelumnya.

Kombinasi PDB negatif dan inflasi tinggi memunculkan risiko terjadinya stagflasi atau sebuah kondisi yang sangat tidak diinginkan bagi Jepang yang puluhan tahun berjuang keluar dari deflasi.

Untuk meredam tekanan tersebut, Perdana Menteri Sanae Takaichi menggulirkan paket stimulus jumbo senilai 21,3 triliun yen setara US$135 miliar sekaligus menjadi yang terbesar sejak pandemi Covid 19.

Stimulus ini mencakup subsidi listrik dan gas, penghapusan sementara pajak bensin, bantuan sekitar 7.000 yen bagi rumah tangga, serta pembentukan dana jangka panjang untuk memperkuat industri perkapalan. Pemerintah juga menegaskan komitmen meningkatkan belanja pertahanan menuju 2% PDB pada 2027.

Namun stimulus ini turut menimbulkan kekhawatiran fiskal, mengingat pendanaan sebagian akan berasal dari penerbitan obligasi baru, di saat utang Jepang sudah melampaui 200% dari PDB, tertinggi di dunia maju.

Kecemasan investor langsung tercermin di pasar keuangan. Obligasi pemerintah Jepang (JGB) mengalami aksi jual besar-besaran. Yield 10-year JGB melonjak hingga 1,817%, level tertinggi sejak 2008, sementara yield tenor panjang seperti 20Y, 30Y, hingga 40Y juga mencetak rekor.

Di waktu yang sama, yen terus melemah dan menyentuh posisi terlemahnya dalam 10 bulan, menandakan menurunnya kepercayaan investor terhadap kestabilan ekonomi dan arah kebijakan fiskal Jepang.

Situasi pun makin pelik dengan memanasnya hubungan Jepang dan China.

Ketegangan meningkat setelah komentar PM Takaichi terkait Taiwan mendorong pemerintah China menyarankan warganya untuk tidak bepergian ke Jepang.

Dampaknya langsung terasa di pasar saham, dengan sektor pariwisata Jepang anjlok sekitar 3% pada perdagangan Senin. Tekanan ini bukan perkara kecil, mengingat turis China merupakan yang terbesar pada 2025, mencapai 5,7 juta wisatawan atau 23% dari total kedatangan.

Para ekonom memperingatkan potensi dampak jangka panjang jika perselisihan berlanjut.

Ekonom Nomura, Takahide Kiuchi, memperkirakan ketegangan ini dapat mengurangi PDB Jepang hingga 1,79 triliun yen, atau sekitar 0,29% dalam satu tahun. Jepang pernah mengalami kejadian serupa pada 2013, ketika kedatangan turis China turun hampir 8% setelah sengketa wilayah Senkaku/Diaoyu pada 2012.

Mastercard Economics Institute mencatat bahwa pariwisata masuk menyumbang 0,4 poin persentase terhadap pertumbuhan PDB Jepang tahun lalu, sehingga setiap guncangan pada sektor ini berpotensi langsung menekan kinerja ekonomi.

Moody's Analytics juga menilai bahwa jika kedatangan turis China turun separuh, pertumbuhan PDB Jepang dapat terpangkas 0,2 poin.

Apa Dampak Kondisi Ekonomi Jepang terhadap Indonesia?

Tekanan yang terjadi di Jepang tidak hanya berdampak pada perekonomian domestik mereka, tetapi juga berpotensi menular ke negara mitra nya termasuk Indonesia. Baik melalui perdagangan seperti ekspor, penerbitan surat utang berdenominasi yen (Samurai Bonds), hingga realisasi investasi langsung.

Ekspor Indonesia ke Jepang

Melemahnya ekonomi Jepang perlu menjadi perhatian Indonesia mengingat Jepang masih tergolong mitra dagang utama. Data historis Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa nilai ekspor Indonesia ke Jepang cenderung besar.

Dalam satu dekade terakhir, nilai ekspor Indonesia ke Jepang bergerak dalam rentang US$16-25 miliar. Tahun 2022 mencatat lonjakan hingga US$24,85 miliar, kemudian menurun menjadi US$20,78 miliar pada 2023 dan US$20,72 miliar pada 2024. Angka ini menegaskan bahwa Jepang tetap menjadi salah satu pasar terbesar Indonesia, bahkan ketika China dan AS mendominasi perdagangan global.

Namun dengan kondisi ekonomi Jepang yang kini terkontraksi, risiko terhadap kinerja ekspor Indonesia semakin nyata. Pelemahan permintaan domestik Jepang baik karena penurunan konsumsi maupun lonjakan inflasi berpotensi menekan permintaan impor dari Indonesia.


Salah satu sektor yang perlu diwaspadai adalah perikanan, terutama ekspor ikan segar (HS 0302). Berdasarkan data Oktober 2024-Oktober 2025, Jepang masih menjadi pasar penting dengan nilai ekspor sekitar US$7,6 juta, menempatkannya di posisi ke-6 tujuan utama ekspor ikan segar Indonesia setelah China, Malaysia, Singapura, Amerika Serikat, dan Arab Saudi.

Walaupun nilai ini relatif kecil dibandingkan ekspor total, Jepang memainkan peran sebagai pasar premium dengan standar mutu tinggi. Ketika ekonomi Jepang melemah, terutama di tengah inflasi pangan yang naik tajam dan tekanan daya beli rumah tangga, permintaan terhadap produk ikan segar cenderung sensitif. Importir Jepang biasanya akan mengurangi volume atau melakukan renegosiasi harga ketika konsumsi domestik melemah.

Dengan inflasi makanan Jepang yang melonjak hingga 7,2%, dan harga beras naik 40,2%, rumah tangga Jepang saat ini menghadapi tekanan biaya hidup terbesar dalam satu dekade.

Pukulan tambahan berasal dari sektor akomodasi dan jasa yang turut mengalami inflasi akibat lonjakan turis. Dalam situasi seperti ini, konsumsi produk-produk fresh seafood sulit tumbuh, sehingga permintaan impor dari Indonesia berisiko tertekan.

Samurai Bonds

Gejolak ekonomi Jepang tidak hanya memukul perdagangan, tetapi juga berpotensi memengaruhi kanal pembiayaan Indonesia, khususnya karena pemerintah RI masih aktif menerbitkan Samurai Bonds, yakni surat utang berdenominasi yen yang dijual ke investor Jepang. Instrumen ini selama satu dekade terakhir menjadi salah satu sumber pembiayaan rutin dalam APBN.

Sejak pertama kali diterbitkan pada 2015, Indonesia konsisten masuk pasar Samurai Bonds setiap tahun, dengan total penerbitan mencapai 1,266 triliun yen hingga Mei 2025. Tahun 2024 bahkan menjadi salah satu yang terbesar, mencapai 200 miliar yen, disusul penerbitan terbaru di Mei 2025 senilai 103,2 miliar yen.

Namun dinamika pasar Jepang tahun ini sangat berbeda dibanding lima hingga delapan tahun lalu. Pada Mei 2025, pemerintah menawarkan kupon dengan level yang tinggi dalam sejarah penerbitan Samurai Bonds.

Kenaikan kupon ini bukan hanya berasal dari risiko Indonesia, melainkan juga karena biaya dana di Jepang melonjak tajam. Yield obligasi pemerintah Jepang (JGB), yang menjadi acuan utama pricing Samurai Bonds, terus mengalami kenaikan di sepanjang 2025 hingga menyentuh level tertinggi sejak 2008. Investor Jepang menuntut return lebih besar seiring kekhawatiran terhadap perekonomian Jepang.

Kondisi ini membuat Samurai Bonds yang dulu dikenal sebagai sumber pendanaan murah bagi Indonesia berubah menjadi lebih mahal dan lebih sensitif terhadap sentimen pasar Jepang.

Selain itu, ketika ekonomi domestik Jepang melemah dan investor menghadapi volatilitas tinggi, mereka cenderung memprioritaskan aset berdenominasi yen di dalam negeri, terutama ketika yield JGB naik. Ini berpotensi mengurangi minat investor Jepang terhadap obligasi asing, termasuk yang diterbitkan Indonesia.

Jika tren kenaikan suku bunga Jepang berlanjut, pemerintah RI perlu lebih berhati-hati dalam menentukan momentum penerbitan Samurai Bonds berikutnya. Strategi seperti pemilihan tenor yang lebih pendek, penggunaan credit enhancement, atau diversifikasi ke pasar Eropa, Amerika, maupun domestik, bisa jadi semakin penting untuk menjaga biaya utang tetap efisien.

Dengan kata lain, gejolak pasar Jepang membawa dampak langsung ke arah pembiayaan Indonesia. akses tetap terbuka, tetapi biayanya kini jauh lebih tinggi dibanding era suku bunga negatif Jepang.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(evw/luc)


Most Popular