Jakarta, CNBC Indonesia - Sektor pertambangan kembali membuktikan diri sebagai salah satu lumbung uang terbesar dalam struktur ekonomi Indonesia.
Di tengah dinamika harga komoditas global yang fluktuatif-mulai dari reli harga emas hingga normalisasi harga batu bara-para raksasa tambang di Tanah Air terus mencatatkan kinerja pendapatan yang fantastis.
Namun, besaran angka pendapatan ini tidak serta merta berdiri sendiri. Ada faktor konsolidasi anak usaha, struktur holding yang kompleks, hingga keuntungan dari mineral ikutan yang membuat angka-angka di laporan keuangan membengkak.
Berdasarkan kompilasi data terbaru laporan keuangan, berikut adalah 10 perusahaan tambang dengan pendapatan (revenue) terbesar di Indonesia:
Tahta Freeport dan Ekosistem Adaro
Di posisi puncak, PT Freeport Indonesia berdiri di liganya sendiri. Dengan pendapatan menembus Rp170 triliun, Freeport menikmati momentum ganda yaitu produksi dari tambang bawah tanah Grasberg yang optimal serta harga emas global yang menyentuh rekor tertinggi sepanjang masa. Sebagai tambang tembaga dan emas terintegrasi, Freeport sulit digoyahkan oleh pemain manapun di Indonesia.
Di posisi kedua, Adaro Group mencatatkan pendapatan gabungan sebesar Rp105,19 triliun. Angka ini merefleksikan kerajaan bisnis Thohir yang memproduksi batu bara termal (melalui PT Adaro Andalan Indonesia Tbk/AADI), dan juga batu bara metalurgi lewat PT Adaro Minerals Indonesia Tbk (ADMR). Diversifikasi produk dalam satu grup ini menjadi kunci ketahanan pendapatan mereka.
Bedah "Isi Perut" BUMI: Ketergantungan pada KPC
Menempati posisi ketiga dengan pendapatan Rp95,50 triliun, PT Bumi Resources Tbk (BUMI) seringkali membuat investor pemula terkejut dengan besarnya angka penjualan mereka. Namun, perlu dipahami bahwa BUMI adalah perusahaan holding.
"Mesin uang" sesungguhnya di balik angka jumbo tersebut adalah PT Kaltim Prima Coal (KPC). KPC merupakan salah satu tambang batu bara open-pit (terbuka) terbesar di dunia yang berlokasi di Sangatta, Kalimantan Timur. Berdasarkan analisis laporan keuangan, kontribusi KPC terhadap total pendapatan BUMI sangat dominan, yakni mencapai kisaran 75,63%.
Tanpa mengonsolidasikan laporan keuangan KPC, angka pendapatan BUMI akan terlihat jauh lebih kecil. Ini menegaskan bahwa kinerja saham dan fundamental BUMI sangat berkorelasi dengan volume produksi dan efisiensi operasional yang terjadi di site KPC.
Gurita Bisnis DSSA dan Faktor GEMS
Pola serupa terjadi pada PT Dian Swastatika Sentosa Tbk (DSSA) yang bertengger di posisi kelima dengan pendapatan Rp49,04 triliun. DSSA adalah pilar energi dan infrastruktur Grup Sinar Mas.
Pendapatan jumbo ini mayoritas disumbangkan oleh anak usahanya, PT Golden Energy Mines Tbk (GEMS). Mengingat DSSA menguasai 51% saham di GEMS, maka secara akuntansi, DSSA berhak mengonsolidasikan seluruh pendapatan GEMS ke dalam buku mereka.
Selain itu, perlu dicatat bahwa DSSA bukan murni perusahaan tambang stand-alone. Di dalam angka Rp49 triliun tersebut, terdapat pula pendapatan dari bisnis pembangkit listrik (power plant), perdagangan pupuk dan kimia, hingga bisnis multimedia. Struktur holding inilah yang membuat revenue DSSA mampu mengungguli pemain tambang murni seperti PTBA atau ITMG.
Cuan Dari Mineral Bawaan
Satu hal krusial yang sering luput dari perhatian adalah konsep mineral bawaan. Walaupun sebuah perusahaan melabeli dirinya sebagai tambang tembaga atau emas, realitanya mereka sering menambang keduanya sekaligus dalam satu batuan bijih.
Hal ini terlihat pada Amman Mineral (AMMN) dan Merdeka Copper Gold (MDKA) yang mencatatkan pendapatan Rp36,38 triliun. MDKA didorong oleh portofolio asetnya yang lengkap yaitu emas di Tujuh Bukit, tembaga di Wetar, dan proyek nikel raksasa (MBM).
Pendapatan MDKA adalah gabungan dari semua komoditas ini. Seperti halnya AMMN dan Freeport, pendapatan mereka seringkali terdongkrak oleh mineral ikutan (seperti perak atau emas yang terekstrak bersama tembaga) yang nilainya bisa sangat signifikan menopang total penjualan.
Persaingan Papan Tengah: Bayan hingga Indika
Di papan tengah, Bayan Resources (BYAN) tetap menjadi fenomena dengan pendapatan Rp56 triliun. Perusahaan milik Low Tuck Kwong ini dikenal memiliki salah satu margin terbaik di industri berkat struktur biaya yang efisien dan teknologi penambangan yang inovatif.
Di sisi lain, PT Bukit Asam Tbk (PTBA) dan Indika Energy (INDY) bersaing ketat dengan selisih tipis di kisaran Rp39 dan 42 triliun.
INDY saat ini tercatat memiliki bauran pendapatan yang mulai bergeser, seiring dengan langkah agresif perusahaan mendiversifikasi bisnis ke sektor kendaraan listrik dan mineral non-batu bara, demi mengurangi ketergantungan pada energi fosil di masa depan.
-
CNBC INDONESIA RESEARCH
(gls/gls)