Jakarta, CNBC Indonesia - Mayoritas mata uang Asia terpantau tengah mengalami pelemahan terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan pagi ini, Kamis (20/11/2025).
Melansir data Refinitiv per pukul 09.25 WIB, penguatan pada indeks dolar AS (DXY) yang kembali menembus level psikologis 100 membuat hampir seluruh mata uang Asia mencatat pelemahan.
Pelemahan terdalam dicatatkan oleh ringgit Malaysia, yang merosot 0,31% ke MYR 4,161/US$. Diikuti oleh rupiah Garuda yang menjadi mata uang dengan koreksi terbesar kedua setelah melemah 0,30% ke Rp16.740/US$.
Pelemahan terbesar ketiga terjadi pada peso Filipina, yang turun 0,23% ke PHP 59,095/US$, disusul yen Jepang yang tertekan 0,17% ke JPY 157,41/US$ seiring ekspektasi stimulus jumbo dari pemerintahan baru Jepang.
Sementara itu, tiga mata uang lainnya juga tidak luput dari tekanan. Baht Thailand turun 0,15%, dolar Taiwan melemah 0,13%, dan won Korea terkoreksi 0,09%. Yuan China ikut melemah 0,09%, menunjukkan tekanan yang relatif seragam di kawasan.
Di sisi lain, hanya dong Vietnam (VND) yang mampu mencatatkan penguatan tipis 0,02% ke VND 26.371/US$, menjadi satu-satunya mata uang Asia yang bergerak positif pagi ini.
Tekanan pada mata uang Asia terjadi seiring menguatnya dolar Amerika Serikat (AS) yang kembali menembus level psikologis 100. Indeks dolar AS tercatat naik tipis 0,05% ke 100,282, menjadi level tertingginya sejak 5 November 2025. Penguatan ini merupakan lanjutkan keniakan 0,68% pada perdagangan sebelumnya.
Penguatan dolar AS pada hari ini tidak terlepas dari pergeseran ekspektasi pasar terhadap arah kebijakan moneter The Federal Reserve (The Fed).
Probabilitas pemangkasan suku bunga pada pertemuan FOMC Desember turun cukup signifikan, dari 42,4% sehari sebelumnya menjadi hanya sekitar 33%. Penurunan ekspektasi ini mencerminkan pandangan bahwa The Fed kemungkinan besar masih akan mempertahankan sikap kebijakan yang ketat di tengah ketidakpastian ekonomi AS.
Sentimen penguatan dolar juga diperkuat oleh rilis notulen rapat The Fed, yang menunjukkan sebagian anggota komite menilai pemangkasan suku bunga dalam waktu dekat masih tidak tepat. Sikap hati-hati ini membuat pasar menilai bahwa ruang bagi pelonggaran kebijakan moneter belum terbuka lebar, sehingga menopang permintaan terhadap dolar sebagai aset safe haven.
Selain itu, investor kini menanti rilis data tenaga kerja AS khususnya non-farm payrolls edisi September yang sempat tertunda akibat penutupan sementara pemerintahan federal. Penantian ini menambah lapisan ketidakpastian baru bagi pelaku pasar.
Terlebih lagi, pemerintah AS telah mengonfirmasi bahwa data payroll Oktober dan November tidak akan diterbitkan sebelum pertemuan FOMC Desember, sehingga pasar kehilangan salah satu indikator penting untuk memproyeksikan arah kebijakan moneter.
Ketidakpastian inilah yang membuat pelaku pasar semakin berhati-hati dan mendorong dolar kembali menguat terhadap mayoritas mata uang global.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(evw/evw)