RI Darurat Sampah, Waste to Energy Jadi Juru Selamat?
Jakarta, CNBC Indonesia - Pemanfaatan sampah menjadi energi penting, namun mengatasi timbunan sampah adalah prioritas yang tidak bisa ditawar.
Isu pentingnya pengelolaan sampah dan energi keberlanjutan menjadi tema besar dalam Waste to Energy Investment Forum 2025 yang digelar pada Rabu (19/11/2025), di Auditorium Lt. 3 Menara Bank Mega.
Hadir sebagai narasumber Eddy Soeparno (Wakil Ketua MPR RI), Rofi Alhanif (Asisten Deputi Ekonomi Sirkuler & Dampak Lingkungan Kemenko Pangan), dan Eniya Listiani (Dirjen EBTKE Kementerian ESDM).
Tiga pembicara sepakat bahwa solusi energi berbasis sampah (waste-to-energy/WTE) penting, namun penyelesaian persoalan sampah harus berdiri sebagai prioritas utama.
Pemerintah menilai Indonesia telah memasuki fase mendesak penanganan sampah. Eddy Soeparno mengingatkan bahwa Indonesia memproduksi 56 juta ton sampah per tahun, namun hanya 40% yang dikelola sementara 60% dibuang ilegal.
Ia menegaskan bahwa masalah ini tidak bisa dibiarkan karena berdampak langsung pada lingkungan.
"Saat ini 60% sungai di Indonesia tercemar. Sumber sampah terbesar berasal dari rumah tangga dan pasar, terutama plastik dan sisa makanan," ungkapnya.
Karena itu WTE dianggap solusi hilir yang langsung menekan volume sampah.
Namun, pembenahan kebijakan dan pendanaan menjadi tantangan. Eddy menyoroti lemahnya kapasitas fiskal pemda.
"Pemda mengalokasikan 3-5% untuk sampah namun realisasinya hanya 0,5-0,7%. Akhirnya banyak sampah tidak terkelola karena tipping fee memberatkan." ujarnya.
Dia mengungkapkan bahwa skema 20 sen per kWh menjadi mekanisme untuk membantu keekonomian proyek WTE tanpa menambah beban APBN. Eddy juga menambahkan bahwa carbon credit dapat menambah keekonomian proyek, sehingga investor semakin tertarik.
Dari sisi koordinasi lintas kementerian, Rofi Alhanif memaparkan bahwa pengelolaan sampah menyangkut banyak sektor sehingga perlu satu "dirigen" kebijakan.
"Mengurus sampah itu kompleks. Tidak hanya isu lingkungan, ada sosial dan energi. Karena itu kami di Kemenko Pangan menjadi dapurnya, menyatukan pengusulan, perizinan, hingga konstruksi," tegasnya. Ia menjelaskan bahwa melalui Perpres 109, birokrasi perizinan dan proses teknis dipangkas agar realisasi pembangunan WTE tidak terhambat.
Rofi menegaskan bahwa WTE bukan satu-satunya solusi. Pengolahan berbasis komunal, pengurangan di sumber, pemilahan, dan daur ulang tetap harus berjalan paralel.
"WTE besar, tapi tetap solusi hilir. Kalau perilaku masyarakat tidak berubah, sampah tetap akan kembali menumpuk di TPA," ujarnya.
Da juga menyoroti roadmap tanggung jawab produsen terhadap kemasan. "Plastik ramah lingkungan biayanya akan lebih rendah, dan produsen akan dibebankan biaya ketika memproduksi kemasan. Perpresnya sedang diselesaikan."
Dari sisi energi, Eniya Listiani menekankan bahwa output energi dari sampah hanyalah bonus.
"Sampah harus segera dihabiskan. Energi adalah bonus. Listrik bonus. BBM terbarukan bonus. Yang terpenting adalah penyelesaian sampah secepatnya," tegasnya.
Dia menjelaskan bahwa kapasitas WTE telah diakomodasi dalam RUPTL sebesar 452 MW 10 tahun ke depan, dengan tarif tetap 20 sen/kWh tanpa negosiasi PLN untuk mempercepat investasi masuk.
Eniya juga memaparkan bahwa bioenergi dapat menjadi opsi untuk daerah dengan volume sampah di bawah 1.000 ton per hari. Selain listrik, sampah dapat dikonversi menjadi gas, RDF, biomassa, hingga bensin dan diesel terbarukan. Namun ia memberi peringatan soal kualitas sampah. "Banyak sampah basah, perlu pemilahan agar kalorinya tinggi. Pemda harus memastikan kualitas sampah dan logistiknya," jelasnya.
Tanpa pra-treatment, risiko bottleneck di fasilitas PLTSa sangat besar.
Forum ini juga menyinggung aspek investasi. Dari hitungan pemerintah, pemenuhan target 452 MW dari sampah membuka peluang investasi senilai US$ 2,7 miliar.
Namun kesiapan teknis pemda menjadi syarat utama. Banyak daerah yang menyatakan mampu memasok 1.000 ton/hari, tetapi tidak memiliki sistem pengangkutan memadai, sehingga perlu intervensi Kemendagri dan KemenPUPR.
"Kalau komitmen sampah tidak realistis, kontrak WTE bisa macet di tahap operasional," tegas Rofi.
Dengan demikian, WTE tidak dapat dipandang sebagai proyek pembangkit listrik semata. Dalam konteks Indonesia, WTE adalah kebijakan penyelesaian sampah yang kebetulan menghasilkan energi, bukan sebaliknya. Ketiga narasumber sependapat: penyelesaian sampah harus menjadi misi utama. Ekstraksi energi dari sampah hanya nilai tambah setelah persoalan sampah tertangani.
CNBC Indonesia Research
(emb/emb)