MARKET DATA

Inflasi Medis Kian Melangit, Asuransi Kesehatan Makin Menjerit

Achmad Aris,  CNBC Indonesia
19 November 2025 15:35
Ilustrasi Rumah Sakit. (Dok. Detikcom/Rachman)
Foto: Ilustrasi Rumah Sakit. (Dok. Detikcom/Rachman)

Jakarta, CNBC Indonesia - Willis Towers Watson (WTW) memperkirakan biaya medis di seluruh dunia akan kembali meningkat pada tahun 2026 dengan proyeksi kenaikan 10,3% pada 2026 dari 10% pada 2025.

Kenaikan tersebut melanjutkan tren kenaikan biaya perawatan kesehatan yang lebih luas dan menantang bagi perusahaan asuransi dan pemberi kerja di seluruh dunia.

Mengutip 2026 Global Medical Trends Survey yang dirilis oleh WTW, Rabu (19/11/2025), wilayah Asia Pasifik mencatatkan kenaikan inflasi tertinggi dibandingkan dengan kawasan lain seperti Amerika Latin, Amerika Utara, Eropa, dan Timur Tengah & Afrika. Inflasi medis di Asia Pasifik diperkirakan mencapai 14% pada 2026 dibandingkan dengan proyeksi 2025 sebesar 13,2%.

Sementara itu, Amerika Latin diperkirakan akan mengalami percepatan kenaikan paling tajam yaitu dari 10,5% menjadi 11,9%. Kawasan Timur Tengah dan Afrika juga diproyeksikan mengalami percepatan kenaikan dari 10,3% pada 2025 menjadi 11,3% pada 2026.

Dibandingkan dengan kenaikan tajam di Asia Pasifik, Amerika Latin, dan Timur Tengah & Afrika, Amerika Utara dan Eropa diperkirakan mengalami kenaikan yang lebih moderat yaitu masing-masing 9,2% dan 8,2% pada tahun 2026 atau sejalan dengan tren yang diperkirakan pada 2025 yaitu masing-masing 9,4% dan 8,3%.

Berlanjutnya tren inflasi medis ini membuat lebih dari separuh (56%) perusahaan asuransi telah mengantisipasi tren kenaikan ini dan sebanyak 55% lainnya memperkirakan tingkat kenaikan inflasi medis ini akan bertahan selama lebih dari tiga tahun.

WTW mencatat ada empat faktor utama pendorong tren inflasi medis secara global yaitu teknologi medis baru, kemunduran sistem kesehatan publik, kemajuan dalam bidang farmasi, dan praktik penipuan, pemborosan, dan penyalahgunaan.



Teknologi medis baru terus menjadi pendorong global utama yang disebutkan oleh 74% perusahaan asuransi, disusul penurunan sistem layanan kesehatan publik (52%), kemajuan di bidang farmasi (49%), dan penipuan, pemborosan, dan penyalahgunaan (38%).

Inflasi Medis di Indonesia

Laporan WTW mencatat pasar asuransi kesehatan di Indonesia telah menunjukkan perbaikan dengan tren penurunan diperkirakan sebesar 30% pada kuartal pertama tahun 2025 dibandingkan dengan rasio kerugian klaim keseluruhan tahun lalu yang lebih dari 140%.

Upaya perusahaan asuransi untuk meninjau tarif sepanjang tahun 2024 telah berkontribusi pada peningkatan rasio klaim keseluruhan tahun ini. Meskipun demikian, perusahaan asuransi tetap fokus pada pendorong utama inflasi medis: biaya farmasi.

Ketergantungan pada bahan baku impor, yang mencakup 90% dari input, dikombinasikan dengan depresiasi rupiah, berkontribusi signifikan terhadap masalah ini. Selain itu, beberapa penyedia rumah sakit di Indonesia terus merekomendasikan perawatan yang berlebihan kepada pasien.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) saat ini sedang merencanakan untuk menerapkan peraturan baru untuk mencegah perusahaan asuransi kolaps secara finansial karena pemanfaatan yang berlebihan dan untuk menjaga stabilitas premi, melalui mandat pembagian biaya. "Hal ini juga akan semakin mengurangi beban keuangan perusahaan yang menyediakan asuransi kesehatan bagi karyawan mereka," tulis WTW.

Perusahaan asuransi kesehatan di Indonesia juga membatasi cakupan untuk kondisi berisiko tinggi, mempersempit jaringan rumah sakit, dan membatasi bisnis mereka pada kategori tertentu untuk menjaga keberlanjutan rasio klaim. Misalnya, kanker masih merupakan pengobatan yang mahal, terutama karena terapi canggih dan perawatan rawat inap, tetapi banyak perusahaan kini membatasi cakupan kanker dalam polis kelompok dan mengalihkan risiko ini ke BPJS (jaminan wajib).

(Achmad Aris/ach)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation