Peringatan IMF: Jangan Tergoda Utang dalam Yuan China!

Elvan Widyatama,  CNBC Indonesia
17 November 2025 12:50
Shopping cart with Dollar and Yuan banknotes are seen in front of U.S. and Chinese flag displayed in this illustration taken January 30, 2023. REUTERS/Dado Ruvic/Illustration
Foto: REUTERS/DADO RUVIC

Jakarta, CNBC Indonesia - Tren pengalihan utang luar negeri dari dolar Amerika Serikat (AS) ke yuan China semakin menguat di berbagai negara berkembang. Langkah ini banyak dipilih untuk menekan biaya bunga dan mengurangi ketergantungan pada dolar AS.

Namun demikian, International Monetary Fund (IMF) memeringatkan bahwa strategi tersebut dapat memunculkan risiko nilai tukar baru yang justru berpotensi menambah kerentanan pada perekonomian.

IMF menilai bahwa perpindahan atau konversi dari utang dolar AS ke utang berbentuk yuan dapat memberikan manfaat dalam jangka pendek, terutama dalam bentuk penurunan biaya pembiayaan. Namun, lembaga keungan dunia ini menegaskan bahwa setiap konversi utang harus dikelola secara hati hati.

"Meskipun transaksi ini dapat menurunkan biaya, namun dapat pula memperkenalkan risiko nilai tukar tergantung pada struktur pinjamannya," ujar IMF dalam pernyataanya.

IMF juga menekankan bahwa langkah tersebut harus menjadi bagian dari strategi pengelolaan utang dan cadangan devisaa jangka menengah. IMF pun mendorong untuk negara-negara dapat mempertimbangkan langkah ini dalam strategi jangka menengah supaya ada keseimbangan yang baik antara biaya dan risiko.

Yuan Makin Dilirik Dunia

Daya tarik pembiayaan yuan telah meluas ke berbagai kawasan seiring imbal hasil yang lebih rendah dibandingkan instrumen dolar. Obligasi panda atau panda bonds, misalnya menawarkan imbal hasil sekitar 2,4% pada 2025 atau hanya separuh dari obligasi dolar dengan tenor yang sama. Tren ini tidak hanya terjadi di Afrika tetapi telah memasuki ke berbagai negara berkembang lainnya.

Sri Lanka misalnya, telah mengajukan pendanaan dalam bentuk yuan senilai US$500 juta untuk proyek jalan tolnya.

Sementara itu, Hungaruia juga tengah bersiap dalam menerbitkan obligasi senilai CNY 5 miliar. Semua ini menunjukkan keberhasilan China dalam memperluas bagian dari ambisi jangka panjang Beijing untuk menginternasionalisasi mata uangnya.

Namun meskipun minat pada yuan meningkat, data global menunjukkan bahwa mata uang tersebut masih beroperasi dalam skala yang jauh lebih kecil dibanding dolar dan euro.

Menurut data Bank for International Settlements (BIS), hingga akhir Juni 2025, dolar AS masih mendominasi pasar obligasi global dengan pangsa pasar 62,9% dari seluruh obligasi valuta asing outstanding. Setara lebih dari US$13 triliun.

Euro menyusul dengan 24,8%, sementara mata uang lain seperti pound sterling, yen, dolar Australia, dan franc Swiss hanya mencatatkan porsi kecil. Di sisi lain, obligasi berdenominasi yuan hanya merepresentasikan 0,9% atau sekitar US$185 miliar, dengan penerbit dari 33 negara, jauh di bawah dolar yang diterbitkan oleh lebih dari 125 negara.

Dominasi dolar ini menegaskan peringatan dari IMF. Dengan pasar yang jauh lebih dalam dan likuiditas tinggi, dolar tetap menjadi jangkar sistem keuangan global.

Sebaliknya, pasar yuan yang relatif dangkal dan kurang likuid membuat negara-negara peminjam harus menghadapi volatilitas tambahan jika eksposur utang yuan meningkat.

Risiko: Cadangan Devisa dan Currency Mismatch

Meski menawarkan biaya yang jauh lebih murah, pinjaman berbasis yuan membawa risiko tambahan bagi negara berkembang.

Mata uang China memiliki tingkat konvertibilitas yang lebih rendah dibanding dolar AS, sehingga negara peminjam mungkin harus menambah porsi cadangan devisanya dalam yuan.

Menurut Deepak Dave dari Autonomi Capital, "pinjaman dalam yuan memaksa negara untuk mendiversifikasi sebagian cadangan devisanya ke yuan juga," yang menurutnya dapat menjadi tantangan bagi ekonomi kecil yang belum memiliki struktur ekspor multivaluta.

Kebutuhan menambah cadangan devisa dalam bentuk yuan China ini dapat membebani cadangan devisa nasional, terutama bagi negara yagng sudah menghadapi defisit transaksi berjalan atau ketergantungan besar pada impor berbasis dolar AS.

Selain itu, risiko currency mismatch atau ketidaksesuaian mata uang dapat muncul jika pendapatan negara tetap didominasi oleh dolar namun kewajiban pembayaran beralih ke yuan.

Kenya Hingga Ethiopia Jadi Contoh

Kenya menjadi salah satu contoh negara yagn telah merasakan manfaat dari konversi utang dalam bentuk mata uang 'Greenback' ke yuan China. Langkah pemerintah mengalihkan pembiayaan proyek kereta api dari dolar ke yuan berhasil memangkas beban pembayaran tahunan sekitar US$215 juta atau setara dengan Rp3,59 triliun (asumsi kurs Rp16.730/US$1).

Penghematan ini sangat signifikan bila mengingat tekanan besar yang dialami mata uang Kenya yakni Shilling dalam beberapa tahun terakhir.

Pada 2023 silam, melansir data Refinitiv, nilai tukar shilling Kenya (KSh) anjlok hingga 26% terhadap dolar AS atau sekaligus menjadi penurunan tahunan terdalam sejak 1993. Sebelum akhirnya berbalik menguat sekitar 17% di 2024.

Meskipun mata uang Kenya saat ini berangsur stabil dan berada di kisaran KSh129,3/US$ di 2025, IMF menilai bahwa konversi utang ke yuan tetap menyimpan potensi risiko jika pergerakan nilai tukar kembali bergejolak.

Selain Kenya, Ethiopia yang tengah melakukan restrukturisasi utang setelah gagal bayar pada Eurobond senilai US$1 miliar, juga mempertimbangkan untuk mengalihkan sebagian dari US$5,38 miliar pinjaman ke yuan.

Namun situasi Ethiopia jauh lebih rentan dibandingkan Kenya. nilai tukar Ethiopia yakni Birr (ETB) tercatat sebagai mata uang dengan kinerja terburuk di Afrika selama delapan bulan pertama 2025, didorong oleh menurunnya pendapatan ekspor, inflasi tinggi, serta berkurangnya cadangan devisa.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(evw/evw)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation