Asia Tak Kompak Hadapi Keperkasaan Amerika: Yen Menang, Rupiah Takluk
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar mata uang Asia pada hari ini, Rabu (5/11/2025) menunjukkan pergerakan yang bervariasi terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Rupiah kembali melemah, sementara yen Jepang justru memimpin penguatan di kawasan.
Berdasarkan data Refinitiv per pukul 09.15 WIB, rupiah melemah 0,27% ke posisi Rp16.740/US$, melanjutkan tren pelemahan yang terjadi sejak awal pekan. Rupiah menjadi salah satu mata uang dengan kinerja terburuk di Asia bersama won Korea dan peso Filipina yang masing-masing melemah 0,33% ke KRW 1.448,3/US$ dan PHP 58,708/US$.
Pelemahan juga terjadi pada dolar Taiwan (-0,18%), dong Vietnam (-0,10%), ringgit Malaysia (-0,05%), serta dolar Singapura dan baht Thailand yang masing-masing terkoreksi 0,03%.
Sementara itu, beberapa mata uang Asia justru berhasil mencatatkan penguatan.
Yen Jepang menjadi yang terkuat dengan apresiasi 0,30% ke level JPY 153,21/US$, disusul rupee India yang naik 0,13% dan yuan China yang menguat tipis 0,01% ke CNY 7,1287/US$.
Pergerakan nilai tukar Asia tak lepas dari indeks dolar AS (DXY). Pada pukul yang sama, DXY tercatat melemah 0,11% ke level 100,116. Meski demikian, pelemahan ini hanya menandakan koreksi tipis DXY setelah mengalami reli penguatan yang terjadi dalam lima hari beruntun atau sejak 29 Oktober 2025.
Tren penguatan indeks dolar AS ini terjadi seiring meningkatnya ketidakpastian arah kebijakan moneter dari The Federal Reserve (The Fed). Para pelaku pasar kini mulai meragukan kemungkinan bank sentral AS ini akan kembali memangkas suku bunga pada akhir tahun.
Keraguan ini makin memuncak setelah munculnya perbedaan pandangan di internal The Fed terkait prospek pemangkasan suku bunga lanjutan. Kondisi inilah yang semakin mendorong investor untuk kembali mencari perlindungan pada aset yang cenderung aman seperti dolar AS di tengah meningkatnya sentimen risk-off global.
Sebagai catatan, pada pekan lalu The Fed memangkas suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) yang mana itu sudah sesuai dengan ekspektasi pasar. Namun, muncul ungkapan dari Jerome Powell yang mengatakan bahwa pemangkasan tambahan di Desember tidak dapat dipastikan.
Sejak pernyataan tersebut, sejumlah pejabat The Fed justru memberikan pandangan yang beragam mengenai kondisi ekonomi dan risiko yang dihadapi, apalagi di tengah terbatasnya rilis data akibat shutdown pemerintahan AS yang masih berlanjut.
Menurut data CME FedWatch, peluang pemangkasan suku bunga pada Desember kini turun menjadi sekitar 65%, jauh lebih rendah dibandingkan 94% pada pekan sebelumnya. Pergeseran ekspektasi inilah yang mendorong permintaan terhadap dolar AS dan mengangkat indeks dolar (DXY) ke atas level 100.
Namun demikian, sebagian analis menilai penguatan dolar kali ini bersifat sementara.
Kepala riset valas global Deutsche Bank, George Saravelos, menilai bahwa pertumbuhan ekonomi yang membaik di Eropa membuat kesenjangan proyeksi ekonomi antara AS dan kawasan lainnya menyempit.
"Lingkungan pertumbuhan global yang relatif stabil ini tidak mendukung reli dolar berkelanjutan," ujar Saravelos dalam catatannya.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(evw/evw)