Ramai-Ramai Mata Uang Asia "Protes" Kedatangan Trump, Tapi Rupiah Beda

Elvan Widyatama, CNBC Indonesia
27 October 2025 10:05
Ini Peta Kekuatan Mata Uang ASEAN Usai Krisis 1998: Rupiah Kalah Telak
Foto: Infografis/ Ini Peta Kekuatan Mata Uang ASEAN Usai Krisis 1998: Rupiah Kalah Telak/ Ilham Restu

Jakarta, CNBC Indonesia - Mayoritas mata uang Asia bergerak dalam zona penguatan terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan awal pekan ini, Senin (27/10/2025).

Mengutip data Refinitiv, pada pukul 09.15 WIB, sebanyak tujuh dari sebelas mata uang Asia mengalami penguatan, sementara itu empat lainnya terpantau tidak bergerak hingga cenderung mengalami pelemahan terhadap greenback.

Won Korea terlihat memimpin sebagai mata uang di Asia yang mampu menguat terhadap dolar AS, dengan terapresasi 0,50% ke level KRW 1431,6/US$. Selanjutnya, tepat di bawah posisi won Korea, dolar Taiwan turut berhasil menguat hingga 0,31% ke posisi TWD 30,73/US$.

Sementara itu, peso Filipina dan yuan China pun mampu melawan dolar AS, dengan penguatan masing-masing sebesar 0,23% dan 0,14%, di level PHP 58,59/US$ dan CNY 7,11/US$.

Mata uang Negeri Jiran Malaysia pun turut menguat. Ringgit menguat tipis 0,07% di level MYR 4,217/US$. Sedangkan, dolar Singapura pun turut menguat tipis 0,06% di posisi SGD 1,29/US$.

Sebaliknya, rupiah justru tertekan terhadap greenback. Rupiah terpantau tengah berada di zona pelemahan sebesar 0,06% di level Rp16. 600/US$. setelah di pembukaan perdagangan, rupiah dibuka menguat 0,06%.

Tak sendiri, pelemahan rupiah ditemani oleh yen Jepang dan baht Thailand, yang sama-sama mengalami koreksi 0,06% di level JPY 152,93/US$ dan THB 32,66/US$.

Menguatnya mata uang Asia terhadap dolar AS berbarengan dengan kedatangan Presiden AS Donald Trump di Kuala Lumpur Malaysia. Trump akan melakukan perjalanan ke Asia selama hampir satu minggu, yang mencakup kunjungan ke Malaysia, Jepang, dan Korea Selatan. Ujian terbesar menanti di depan adalah pembicaraan dengan pemimpin China, Xi Jinping.

Penguatan mata uang Asia di tengah kedatangan Trump ini membuktikan jika yuan dan lain-lain tetap memiliki daya tarik bagi investor.

Pergerakan mata uang Asia dan emerging markets hari ini, diperkirakan di pengaruhi oleh kombinasi sentimen global serta volatilitas dari Indeks dolar AS (DXY).

Tekanan muncul setelah pemerintah AS memberlakukan larangan terhadap dua raksasa minyak Rusia, Rosneft PJSC dan Lukoil PJSC, yang memicu ketegangan geopolitik dan mendorong harga minyak dunia melonjak tajam.

Dari sisi makroekonomi, rilis data inflasi konsumen (CPI) Amerika Serikat menunjukkan kenaikan 3,0% secara tahunan (year-on-year/yoy) dan 0,4% secara bulanan (month-to-month/mtm) pada September. Angka ini dibawah eksptektasi pasar yang sempat memperkirakan inflasi AS di September sebesar 3,1%. Hal ini dapat memperkuat spekulasi bahwa The Federal Reserve (The Fed) akan segera melonggarkan kebijakan moneternya.

Pasar juga tengah menanti hasil rapat Federal Open Market Committee (FOMC) yang akan digelar pada 29-30 Oktober 2025, dengan hasil akan diumumkan pada Kamis (30/10/2025) dini hari waktu Indonesia.

Berdasarkan CME FedWatch Tool, pelaku pasar memperkirakan 98,1% probabilitas The Fed akan memangkas suku bunga acuannya sebesar 25 basis poin. Jika pemangkasan benar terjadi, langkah tersebut berpotensi menekan dolar AS dan memberikan angin segar bagi mata uang Asia termasuk rupiah.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(evw/evw)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation