
Rupiah Melemah, Mata Uang Asia Tak Kompak-Rupee India Kuat Lawan Dolar

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah menutup perdagangan pekan ini dengan pelemahan terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Pada saat yang sama, mata uang Asia tercatat bergerak tidak kompak melawan kekuatan dolar.
Mengutip data Refinitiv, pada penutupan perdagangan Jumat (17/10/2025), rupiah terdepresiasi 0,06% ke posisi Rp16.575/US$. Sepanjang pekan ini, rupiah bergerak sideways atau berkonsolidasi dalam rentang Rp16.540 - Rp16.590/US$.
Secara kumulatif, rupiah tercatat melemah 0,18% terhadap greenback sepanjang pekan ini. Mata uang Garuda masuk ke jajaran mata uang Asia yang melemah bersama ringgit Malaysia, dong Vietnam, dan baht Thailand.
Baht Thailand turut melemah hingga 0,18% ke level THB 32,71/US$. Sementara itu, dong Vietnam dan ringgit Malaysia turut mengalami depresiasi masing-masing sebesar 0,10% dan 0,05% ke level VND 26.337/US$ dan MYR 4,224/US$.
Di sisi lain, banyak mata uang Asia yang justru mengalami penguatan. Rupee India berhasil memimpin sebagai yang terkuat di Asia dalam melawan dolar AS selama pekan ini, setelah mengalami penguatan secara kumulatif hingga 0,88% dan ditutup di level INR 87,974/US$.
Tepat di bawah rupee, won Korea Selatan juga berhasil menguat hingga 0,52% di posisi KRW 1.421,38/US$. Yen Jepang pun tak mau kalah, dengan menguat 0,35% ke level JPY 150,62/US$.
Pergerakan rupiah hingga mata uang Asia lainnya, tak lepas dari gejolak melemahnya indeks dolar AS (DXY). Indeks yang mengukur kekuatan dolar terhadap enam mata uang utama dunia ini tercatat mengalami tekanan hingga 0,55% dalam sepekan, atau turun ke level 98,433.
Pergerakan rupiah dan sejumlah mata uang Asia lainnya turut dipengaruhi oleh gejolak pelemahan indeks dolar Amerika Serikat (AS) atau DXY.
Indeks yang mengukur kekuatan dolar terhadap enam mata uang utama dunia itu tercatat melemah 0,55% sepanjang pekan ini atau turun ke level 98,433.
Pelemahan dolar terjadi di tengah meningkatnya kekhawatiran terhadap tensi dagang AS dan China serta tekanan pada sektor perbankan regional di AS. Selain itu, penutupan pemerintahan AS juga menyebabkan tertundanya publikasi sejumlah data ekonomi penting, membuat pelaku pasar kehilangan arah yang jelas terhadap kondisi ekonomi AS terkini.
Presiden AS Donald Trump mengakui bahwa rencana tarif 100% atas barang asal China tidak akan berkelanjutan, meski ia tetap menyalahkan Beijing atas kebuntuan terbaru dalam negosiasi perdagangan.
Trump juga mengonfirmasi akan bertemu Presiden China Xi Jinping dalam dua pekan ke depan di Korea Selatan, sebagai upaya meredakan ketegangan.
"Terjadi sedikit aksi jual terhadap dolar AS karena permintaan aset aman mulai beralih," ujar Steve Englander, Global Head of G10 FX Research di Standard Chartered, dikutip dari Reuters.
Ia menambahkan bahwa berita mengenai China dan kondisi kredit di sektor perbankan regional AS turut menekan sentimen terhadap dolar.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(evw/evw)