
Trump Hajar Produk Kayu Cs dengan Tarif Tinggi, RI Bisa Berdarah-Darah

Jakarta, CNBC Indonesia- Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump kembali mengguncang peta perdagangan dunia. Gedung Putih resmi memberlakukan tarif impor baru untuk produk kayu, furnitur, dan kabinet dapur. Kebijakan yang diklaim sebagai upaya melindungi industri dalam negeri ini menambah ketegangan global di tengah rentannya rantai pasok pasca-pandemi dan inflasi tinggi di AS.
Tarif yang diterapkan tidak kecil. Produk kayu gergajian lunak kini dikenai bea masuk 10%, sementara furnitur berlapis kain naik dari 25% menjadi 30% mulai awal tahun depan.
Tarif kabinet dapur dan meja rias bahkan melonjak hingga 50%. Trump berdalih, kayu dan turunannya termasuk material strategis yang digunakan dalam infrastruktur pertahanan dan pengujian operasional Departemen Perang.
Dia menegaskan bahwa industri kayu dalam negeri AS masih "kurang berkembang," sehingga negara terlalu bergantung pada impor. Dengan dasar hukum Pasal 232 Undang-Undang Perluasan Perdagangan 1962, Trump kembali menggunakan dalih "keamanan nasional" sebagai pintu kebijakan proteksionisnya.
Namun langkah ini dinilai kontraproduktif oleh banyak pihak. Ketua National Association of Home Builders (NAHB), Buddy Hughes, menilai kebijakan tersebut justru memperparah krisis perumahan di AS.
"Tarif baru ini akan menciptakan hambatan tambahan bagi pasar perumahan yang sudah menghadapi banyak tantangan dengan semakin meningkatnya biaya konstruksi dan renovasi," ujarnya dilansir AFP.
Data Capital Economics menunjukkan bahwa tarif 10% untuk kayu gergajian dapat menambah biaya pembangunan satu rumah di AS sekitar US$2.200. Artinya, tekanan pada harga properti dan bahan bangunan akan semakin berat.
Sementara di sisi global, negara-negara eksportir utama furnitur mulai berhitung ulang. China, Vietnam, dan Meksiko selama ini menguasai pasar furnitur Amerika. AS memperoleh 27% impor furnitur dari China, hampir 20% dari Vietnam, dan sekitar 20% dari Meksiko.
Dari ketiga negara tersebut, Vietnam dinilai paling rentan karena furnitur menyumbang sekitar 10% dari ekspornya ke AS. Sebaliknya, kontribusi furnitur terhadap ekspor China hanya 4%, dan Meksiko sekitar 2,5%. Dalam konteks ini, Indonesia memang bukan pemain utama, tetapi posisinya tetap perlu dicermati.
Sebelum badai tarif ini datang, industri furnitur Indonesia tengah menikmati fase pemulihan.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai ekspor furnitur Indonesia pada awal 2025 menunjukkan tren meningkat sejalan dengan pemulihan permintaan global.
HIMKI (Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia) bahkan menargetkan peningkatan ekspor dua digit, dengan AS sebagai pasar utama. Namun, ketergantungan itu kini berubah menjadi ancaman serius. Sekitar 54% ekspor furnitur Indonesia dan 44% ekspor kerajinan ditujukan ke pasar Amerika Serikat, menjadikannya penopang utama bagi jutaan tenaga kerja di sektor padat karya ini.
Abdul Sobur, Ketua Umum HIMKI, mengungkapkan bahwa efek kebijakan tarif AS sudah mulai terasa. "Pembeli dari Amerika kini lebih berhati-hati. Mereka meminta lebih banyak penawaran, menunda pengiriman, dan meninjau kembali jadwal produksi," ujarnya.
Ia menegaskan bahwa industri furnitur nasional tengah menghadapi krisis ganda tekanan nilai tukar yang melemah serta permintaan ekspor yang turun. "Padahal Amerika merupakan pasar utama. Artinya, jika pasar ini terganggu, efek dominonya akan langsung terasa pada tenaga kerja di sektor mebel dan kerajinan," tegas Abdul Sobur.
Secara struktural, posisi Indonesia memang belum sebesar Vietnam dan China. Berdasarkan data HIMKI dan TradeMap, pangsa Indonesia di segmen kitchen furniture pasar AS hanya sekitar 2,3% dengan nilai ekspor US$64,6 juta, sementara pada segmen upholstered furniture sekitar 1,1% atau US$93,9 juta.
Meski kecil, sektor ini memiliki multiplier effect yang besar bagi ekonomi domestik, terutama karena melibatkan lebih dari satu juta pekerja di rantai hulu hingga hilir mulai dari tukang kayu desa hingga eksportir besar di Jepara, Cirebon, dan Pasuruan.
Kenaikan tarif impor di AS kini berpotensi menekan permintaan baru dari pembeli Amerika. Dengan biaya logistik yang belum sepenuhnya normal dan fluktuasi kurs rupiah terhadap dolar, para eksportir Indonesia menghadapi tekanan dari dua sisi: ongkos produksi yang meningkat dan pasar ekspor yang melemah.
HIMKI memperingatkan bahwa tanpa dukungan pemerintah, kontraksi ini bisa berujung pada pengurangan jam kerja hingga pemutusan hubungan kerja massal di sektor padat karya.
Abdul Sobur menyerukan agar pemerintah mempercepat negosiasi dagang dan dukungan fiskal bagi pelaku industri.
"Kami butuh insentif untuk menjaga daya saing, baik berupa keringanan pajak, subsidi bunga kredit ekspor, maupun dukungan pembiayaan sertifikasi," ujarnya.
Selain itu, HIMKI juga mendorong diversifikasi pasar ke kawasan Eropa Timur, Timur Tengah, dan Amerika Latin agar ketergantungan terhadap AS dapat dikurangi. Ia menilai, negara harus hadir lebih aktif dengan mendanai paviliun Indonesia di pameran internasional agar UMKM furnitur dapat memperluas akses pasar.
Jika tren perlambatan ini berlanjut dalam enam hingga dua belas bulan ke depan, sektor furnitur Indonesia akan menghadapi tekanan serius pada arus kas dan kapasitas produksi. "Jika tarif tambahan ini benar-benar berlaku dan tidak ada jalan keluar melalui negosiasi, maka potensi kenaikan harga produk furnitur Indonesia di pasar Amerika Serikat bisa naik 20%-35%." ungkap Abdul Sobur
Penundaan order dan pembatalan kontrak bisa menciptakan penumpukan stok di gudang, yang pada gilirannya menurunkan utilisasi pabrik. Dalam skenario terburuk, bila tarif 50% diberlakukan secara permanen untuk kategori kabinet dan furnitur berlapis, posisi Indonesia di rantai pasok global bisa tergeser oleh pemain besar lain yang memiliki perjanjian dagang lebih menguntungkan.
Dampak kebijakan tarif Trump sejatinya jauh melampaui pergeseran angka ekspor-impor. Ini adalah ujian ketahanan bagi industri furnitur nasional: apakah mampu beradaptasi dengan cepat terhadap perubahan peta perdagangan dunia, atau justru terseret dalam turbulensi kebijakan proteksionisme global.
CNBC Indonesia Research
(emb/emb)