
Asia Terbelah Hadapi Amukan Trump, Rupiah - Yen Ambruk Berjamaah

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar mata uang Asia terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak beragam pada awal pekan ini, Senin (13/10/2025).
Mengutip data Refinitiv pukul 09.40 WIB, sejumlah mata uang regional terpantau menguat, sementara sebagian lainnya masih tertekan. Yen Jepang menjadi yang paling terpukul, sedangkan dolar Taiwan tampil sebagai mata uang terkuat di kawasan Asia. Adapun rupiah ikut masuk dalam jajaran yang melemah terhadap dolar AS.
Yen Jepang tercatat melemah paling dalam dengan koreksi 0,54% ke level JPY 151,98/US$, disusul oleh rupiah yang turun 0,21% ke posisi Rp16.580/US$. Tekanan juga dialami oleh dong Vietnam dan won Korea yang masing-masing terkoreksi 0,10% dan 0,06%.
Di sisi lain, sejumlah mata uang Asia lainnya justru menunjukkan performa positif. Dolar Taiwan memimpin penguatan dengan apresiasi 0,20% ke level TWD 30,618/US$, diikuti peso Filipina yang menguat 0,19% ke PHP 58,12/US$, serta baht Thailand yang naik 0,15% ke posisi THB 23,60/US$.
Sementara yuan China, dolar Singapura, dan ringgit Malaysia turut mencatatkan penguatan tipis masing-masing sebesar 0,07%, 0,04%, dan 0,02%.
Pergerakan mata uang Asia tak lepas dari kondisi pasar global yang tengah diliputi kekhawatiran terhadap prospek perekonomian dunia, setelah Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump pada akhir pekan lalu, Jumat (10/10/2025), mengancam akan memberlakukan tarif sebesar 100% terhadap produk asal China.
Ancaman tersebut memicu kecemasan akan kembali memanasnya tensi perdagangan antara dua kekuatan ekonomi terbesar dunia, yang dapat menekan arus perdagangan global dan memperlambat pertumbuhan ekonomi khususnya di Asia.
Pernyataan Trump langsung mengguncang pasar keuangan, membuat pelaku pasar beralih ke aset aman seperti emas dan obligasi AS. Namun, kekhawatiran ini juga menimbulkan tekanan pada mata uang Asia yang sensitif terhadap risiko ketidakpastian, termasuk rupiah dan yen Jepang, serta beberapa mata uang lainnya seiring dengan investor yang mengurangi eksposurnya.
Meski demikian, sebagian pelaku pasar menilai ancaman tersebut bisa jadi hanya langkah politik menjelang tahun pemilihan di AS, sehingga belum tentu direalisasikan penuh. Jika ketegangan AS-China kembali mereda, aset berisiko seperti rupiah berpotensi mendapat dorongan positif, terutama dengan dukungan fundamental domestik yang masih cukup kuat dan stabilitas kebijakan moneter dari Bank Indonesia (BI).
CNBC INDONESIA RESEARCH
(evw/evw)