Pasar keuangan Indonesia diperkirakan akan volatil hari ini seiring kabar buruk dari AS. Selengkapnya mengenai proyeksi sentimen hari ini bisa dibaca di halaman 3 artikel ini.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup menguat tipis 0,08% atau naik 6,92 poin ke level 8.257,86 pada perdagangan Jumat (10/10/2025). Meski sempat volatil, indeks berhasil membukukan rekor harga penutupan tertinggi sepanjang masa (all time high/ATH).
Sebanyak 338 saham naik, 331 saham turun, dan 133 tidak bergerak. Nilai transaksi tetap tinggi mencapai Rp 24,06 triliun, dengan volume perdagangan 47,76 miliar saham dalam 2,45 juta transaksi.
Berbeda dengan IHSG, rupiah justru masih belum mampu bangkit. Mata uang Garuda ditutup melemah tipis 0,03% ke Rp16.545/US$ pada akhir perdagangan Jumat (10/10/2025), berdasarkan data Refinitiv.
Secara mingguan, rupiah turun 0,09%, menandai pelemahan beruntun dalam dua pekan terakhir.
Pelemahan ini terjadi meski indeks dolar AS (DXY) justru terkoreksi 0,20% ke level 99,336. Pasar menilai tekanan pada rupiah lebih disebabkan oleh faktor fundamental, termasuk persepsi risiko fiskal dan sentimen kehati-hatian investor terhadap arah kebijakan moneter global.
Gubernur The Fed Michael Barr menegaskan bahwa bank sentral AS akan tetap berhati-hati dalam memangkas suku bunga karena risiko inflasi masih tinggi, terutama akibat kebijakan tarif impor.
Dari pasar Surat Berharga Negara (SBN), imbal hasil SBN tenor 10 tahun melandai ke 6,14% pada perdagangan jumat pekan lalu, dari 6,29% pada perdagangan sebelumnya. Imbal hasil yang melandai menandai harga SBN tengah menguat karena diburu investor.
Bursa saham Amerika Serikat (AS) ambruk pada akhir pekan lalu hingga membuat ribuan triliun menguap dalam 24 jam. Saham jeblok karena kebijakan Presiden AS Donald Trump.
Menurut Bespoke Investment Group, sekitar US$2 triliun atau sekitar Rp 33.090 triliun (US$1= Rp 16.545) nilai pasar saham AS lenyap pada perdagagan Jumat (10/10/2025) setelah Trump mengunggah cuitan "panas" dan mengancam China.
Pada pukul 10:57 Jumat pagi waktu AS Timur (ET), Trump menulis di platform Truth Social bahwa China semakin bermusuhan"dengan dunia, terutama terkait penguasaannya atas logam tanah jarang (rare earths). Dia menuduh China "menyandera dunia" karena "monopoli"-nya atas sumber daya penting tersebut.
Bagian yang paling membuat pasar saham bereaksi dalam unggahan Trump sepanjang 500 kata itu adalah kalimat adalah:
"Salah satu kebijakan yang sedang kami hitung saat ini adalah peningkatan besar tarif terhadap produk China yang masuk ke Amerika Serikat." Ujarnya.
Dan hanya itu yang dibutuhkan untuk mengguncang pasar.
Satu unggahan tersebut langsung membuat pasar saham AS kalang kabut.
Indeks S&P 500 anjlok 2,71% menjadi 6.552,51. Indeks Nasdaq jatuh 3,56% menjadi penutupan terburuk sejak April, padahal sempat mencetak rekor tertinggi sebelum unggahan Trump.
Indeks Dow Jones Industrial Average jeblok 879 poin (1,9%) terburuk sejak Mei.
Pasar jatuh arena negosiasi perdagangan antara pemerintahan Trump dan China berjalan jauh lebih lambat dibandingkan dengan negara lain. Namun, pelaku pasar menilai hubungan kedua negara tetap menuju perbaikan, terlebih Trump dan Xi Jinping dijadwalkan bertemu dalam KTT APEC akhir bulan ini.
Dalam perkembangan terbaru, Presiden AS Donald Trump mengumumkan kenaikan tarif 100% untuk barang-barang impor dari China yang masuk ke negaranya mulai 1 November 2025. Langkah ini diambil sebagai respons atas China yang memperketat ekspor logam tanah jarang (LTJ).
China memproduksi lebih dari 90% logam tanah jarang dan magnet tanah jarang olahan dunia. Banyak di antaranya merupakan material vital dalam berbagai produk, mulai dari kendaraan listrik hingga mesin pesawat terbang dan radar militer.
Hari ini Senin (13/10/2025) bisa menjadi hari berat lainnya. Setelah penutupan bursa, Trump kembali menulis bahwa ia akan memberlakukan tarif 100% terhadap China, "di atas tarif apa pun yang sedang mereka bayarkan."
Ia juga menambahkan bahwa AS akan menerapkan kontrol ekspor terhadap semua perangkat lunak kritis, yang bisa sangat merugikan pemimpin pasar AI seperti Nvidia. Tarif baru itu akan berlaku awal bulan depan, bertepatan dengan waktu KTT APEC sehingga pertemuan Trump dan Xi kemungkinan batal.
Namun sebagian investor memilih menunggu, mengingat ancaman tarif di bulan April juga akhirnya dilunakkan melalui negosiasi dan pengecualian, yang justru mendorong reli besar ke rekor baru.
"Kabar baiknya, ini mungkin hanya taktik negosiasi lain dari pemerintahan yang bisa menghasilkan hasil positif jangka panjang. Kejatuhan mendadak seperti ini justru bisa jadi peluang beli," kata Jay Woods, Chief Market Strategist di Freedom Capital Markets, kepada CNBC International.
Pasar keuangan diperkirakan akan sangat volatile pada hari ini setelah "badai" dari bursa AS pada akhir pekan lalu. Memanasnya hubungan China dan AS menjadi salah satu faktor ambruknya bursa saham.
Pekan ini, sejumlah data penting dari China juga akan dirilis. Pasar juga menunggu pidato Ketua The Fed Jerome Powell
Trump Bikin Pasar Was-Was
Satu kalimat dari Presiden Amerika Serikat Donald Trump sudah cukup untuk mengguncang pasar keuangan dunia. Melalui unggahan di Truth Social, Trump menyatakan niat untuk menaikkan tarif impor terhadap seluruh produk asal China hingga 100%.
Pasar global sontak panik, dan hanya dalam waktu 24 jam, kapitalisasi pasar Wall Street menyusut lebih dari Rp33.000 triliun, menjadikannya salah satu koreksi terbesar tahun ini.
Sentimen yang semula membaik setelah perundingan dagang AS-China kini kembali muram, menambah ketidakpastian terhadap arah ekonomi global yang belum benar-benar stabil setelah era suku bunga tinggi.
Reaksi berantai langsung terjadi di pasar saham global. Indeks Nasdaq jatuh 3,56%, S&P 500 terkoreksi 2,71%, dan Dow Jones merosot hampir 2%. Saham-saham teknologi menjadi tumbal paling dalam Nvidia rontok 5%, AMD 8%, Apple 3%, dan Tesla 5%. Sementara itu, dari Beijing, pemerintah China tak tinggal diam.
Dalam perkembangan terbaru, Presiden AS Donald Trump mengumumkan kenaikan tarif 100% untuk barang-barang impor dari China yang masuk ke negaranya mulai 1 November 2025. Langkah ini diambil sebagai respons atas China yang memperketat ekspor logam tanah jarang (LTJ).
China memproduksi lebih dari 90% logam tanah jarang dan magnet tanah jarang olahan dunia. Banyak di antaranya merupakan material vital dalam berbagai produk, mulai dari kendaraan listrik hingga mesin pesawat terbang dan radar militer.
Negeri Tirai Bambu memperketat izin ekspor logam tanah jarang (rare earths), komponen vital bagi industri kendaraan listrik dan pertahanan, yang secara simbolik menjadi langkah balasan terhadap Washington.
Ketegangan ini memunculkan kekhawatiran bahwa dunia tengah bersiap menghadapi perang dagang jilid II, tepat di saat keduanya dijadwalkan bertemu pada KTT APEC akhir Oktober.
Bagi pasar Asia, terutama Indonesia, awal pekan ini menjadi ujian berat. Setelah menorehkan rekor penutupan tertinggi sepanjang masa di 8.257,86 pada Jumat pekan lalu, IHSG kini menghadapi risiko koreksi yang cukup dalam.
Investor domestik dan asing sama-sama terlihat berhati-hati, sementara arus modal asing cenderung meninggalkan pasar saham berisiko menuju aset lindung nilai seperti dolar AS dan emas. Rupiah pun tak luput dari tekanan, bertahan di kisaran Rp16.545-16.600 per dolar AS, dan menandai pelemahan beruntun selama lebih dari dua pekan.
Kondisi domestik pun tidak kalah menantang. Minimnya sentimen ekonomi dalam negeri membuat arah pasar sangat bergantung pada faktor eksternal.
Pelemahan rupiah yang terjadi beriringan dengan keluarnya dana asing menambah tekanan pada IHSG, apalagi di tengah kebijakan Bank Indonesia yang masih longgar setelah serangkaian pemangkasan suku bunga. Pelaku pasar juga masih menakar dampak kombinasi kebijakan fiskal ekspansif dan moneter dovish terhadap stabilitas jangka menengah, mengingat tekanan terhadap cadangan devisa mulai meningkat.
Pidato Jerome Powell (14/10)
Pada saat yang sama, semua mata kini tertuju pada Amerika Serikat. Chairman The Fed, Jerome Powell, dijadwalkan menyampaikan pidato pada Selasa (14/10/2025) waktu setempat di hadapan Economic Club of Washington.
Powell akan berbicara dengan topik Economic Outlook and Monetary Policy di National Association for Business Economics (NABE) Annual Meeting, Philadelphia.
Pernyataannya akan menjadi ujian penting bagi ekspektasi pasar setelah The Fed memangkas suku bunga acuan 25 basis poin bulan lalu ke kisaran 4,00-4,25%. Investor global akan menunggu apakah Powell akan menegaskan sikap hati-hati, atau justru membuka ruang pelonggaran lanjutan.
Nada yang lebih agresif ke arah pemangkasan bisa menenangkan pasar negara berkembang, namun jika Powell menegaskan bahwa inflasi masih terlalu tinggi untuk dilonggarkan, dolar berpeluang menguat lebih jauh-dan tekanan terhadap rupiah bisa berlanjut.
Data Inflasi & Neraca Perdagangan China
Dari Asia, sorotan tertuju pada rilis data inflasi dan neraca perdagangan China yang akan keluar pertengahan pekan ini. China akan mengumumkan data neraca perdagangan pada hari ini, Senin (13/10/2025) sementara data inflasi pada Rabu (15/10/2025).
Ekspor China tumbuh 4,4% pada Agustus 2025, melandai dibandingkan pada Juli yang tercatat 7,2%. Sementara itu, impor naik 1,3% pada Agustus atau melemah dibandingkan 4,1% pada Juli.
Data ekspor impor China sangat penting bagi Indonesia karena mereka merupakan pasar utama produk Indonesia dan mitra dagang terbesar.
Sementara itu, Indeks Harga Konsumen (IHK) China pada Agustus 2025 turun atau mengalami deflasi 0,4% secara tahunan (year-on-year), lebih dalam dari perkiraan pasar.
Deflasi ini menandakan lemahnya permintaan domestik, meskipun inflasi inti-yang mengecualikan harga pangan dan energi-masih tumbuh positif di 0,9%, level tertinggi dalam 18 bulan terakhir.
Sementara itu, indeks harga produsen (PPI) masih deflasi 2,9% yoy, menunjukkan tekanan berlanjut di sisi produksi. Dari sektor eksternal, China mencatat surplus perdagangan sekitar US$99,2 miliar pada Agustus, naik tipis dibanding bulan sebelumnya, di tengah ekspor yang melambat akibat permintaan global yang masih lemah.
Kedua indikator tersebut memberi sinyal bahwa ekonomi China masih rapuh. Inflasi yang rendah menunjukkan konsumsi belum pulih, sementara deflasi produsen menandakan harga output pabrik masih tertekan.
Jika tren ini berlanjut, Beijing kemungkinan akan mempercepat langkah stimulus fiskal dan moneter untuk menopang aktivitas industri dan menjaga kepercayaan pasar.
Bagi Indonesia, hasil rilis ini dapat memengaruhi arah harga komoditas ekspor seperti batu bara, nikel, dan CPO-yang selama ini menjadi penopang utama neraca perdagangan nasional.
Dengan rangkaian faktor global yang kian rumit, pasar finansial Indonesia diprediksi memasuki pekan yang penuh kewaspadaan. Tekanan dari sisi eksternal masih dominan, sementara ruang manuver kebijakan domestik relatif terbatas.
Investor akan menahan posisi menunggu arah kebijakan The Fed, langkah respons China, serta perkembangan geopolitik AS-China. Tentunya dalam situasi seperti ini, kestabilan rupiah dan daya tahan IHSG akan menjadi indikator utama seberapa kuat pasar Indonesia menghadapi badai global yang kembali datang.
Utang Luar Negeri
Bank Indonesia akan mengumumkan data utang luar negeri Indonesia periode Agustus pada Rabu (15/10/2025).
Sebagai catatan, utang luar negeri (ULN) pada Juli 2025 tercatat US$434,1 miliar.
Jika melihat secara tahunan, maka ULN Indonesia tumbuh 4,1% (yoy) melambat dibandingkan pertumbuhan 6,3% (yoy) pada Juni 2025.
Posisi ULN pemerintah pada Juli 2025 tercatat sebesar 211,7 miliar dolar AS, atau tumbuh sebesar 9,0% (yoy), lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan 10,0% (yoy) pada Juni 2025. Perkembangan tersebut dipengaruhi oleh perlambatan pertumbuhan posisi pinjaman luar negeri dan surat utang pemerintah.
Sementara itu, posisi ULN swasta pada Juli 2025 tercatat stabil dibandingkan bulan sebelumnya pada kisaran 195,6 miliar dolar AS, atau mengalami kontraksi pertumbuhan sebesar 0,3% (yoy), relatif sama dengan kontraksi pada bulan sebelumnya.
Rasio ULN Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang turun menjadi 30,0% pada Juli 2025 dari 30,5% pada Juni 2025, serta dominasi ULN jangka panjang dengan pangsa 85,5% dari total ULN.
Dolar Menguat Tajam, Awas Asing Kabur
Indeks dolar AS masih mengaut tajam dan kini berada di level 99 atau tertinggi sejak awal Juni 2025.
Menguatnya indeks bisa menjadi ancaman rupiah. Pasalnya, pergerakan ini mencerminkan investor tengah memburu dolar kembali dan menjual aset non-dolar mereka, termasuk rupiah.
Investor dikhawatirkan meninggalkan Indonesia dan mencatat outflow.
Data Bursa Efek Indonesia (BEI) memang menunjukkan jika investor masih mencatat net buy pada Kamis da Jumat tetapi bukan tidak mungkin apa yang terjadi di AS pada akhir pekan lalu memicu outflow di Indonesia.
Simak Rilis Data dan Agenda Hari Ini:
Berikut sejumlah agenda emiten di dalam negeri pada hari ini:
- Neraca dagang China September 2025
-
Serah terima jabatan Kepala Badan Pangan Nasional di kantor Bapanas, Ragunan, Jakarta Selatan.
-
Sidang Pra Peradilan Nadiem Makarim di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
-
Forum Debriefing Kepala Perwakilan Republik Indonesia di Ruang Nusantara, Kementerian Luar Negeri, Jakarta Pusat.
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
CNBC INDONESIA RESEARCH
Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.