Harga Saham TINS Melesat 160%, Ada Andil Myanmar Hingga China

Susi Setiawati, CNBC Indonesia
10 October 2025 16:20
Proses pengolahan timah di PT Timah. (CNBC Indonesia/Firda Dwi Muliawati)
Foto: Proses pengolahan timah di PT Timah. (CNBC Indonesia/Firda Dwi Muliawati)

Jakarta, CNBC Indonesia - Saham PT Timah Tbk (TINS) terus mencatatkan kenaikan harga saham dalam sebulan terakhir mencapai ratusan persen, di tengah penurunan performa kinerja keuangannya di sepanjang semester I 2025.

Saham PT Timah Tbk (TINS) terpantau suspensi hari ini Jumat (10/10/2025). Sebelumnya saham TINS masuk Full Call Auction (FCA) pada Kamis (9/10/2025), usai masuk dalam papan pemantauan khusus, saham TINS pun akhirnya diberhentikan perdagangannya.

Dalam sebulan terakhir saham TINS melesat 160,63%, dan hingga Jumat (10/10/2025) saham TINS berada di level Rp2.880 per lembar saham.

Kenaikan saham TINS ditengah penurunan performa kinerja keuangan.

Kinerja Keuangan

TINS mencatatkan laba bersih di semester I-2025 sebesar Rp300,07 miliar atau 93% dari target yang sudah ditentukan yaitu Rp322,64 miliar. Perolehan itu turun 30,93% secara tahunan atau year on year (yoy) dari sebelumnya sebesar Rp434,48 miliar.

BUMN tambang itu membukukan pendapatan sebesar Rp4,22 triliun, turun 19,0% di semester I-2025 dari periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp5,21 triliun. Ini terjadi seiring dengan penurunan volume penjualan logam timah.

Beban pokok pendapatan Timah tercatat turun 15,6% dari Rp4,00 triliun di semester I-2024 menjadi Rp3,37 triliun di semester I-2025.

Perseroan membukukan laba usaha sebesar Rp380 miliar lebih rendah dari semester I-2024 sebesar Rp687 miliar. EBITDA tercatat sebesar Rp838 miliar atau lebih rendah 31% dari semester I-2024 sebesar Rp1,21 triliun.

Nilai aset pada semester I-2025 turun 4% menjadi Rp12,33 triliun dari Rp12,80 triliun pada akhir tahun 2024. Sedangkan posisi liabilitas Perseroan sebesar Rp5,03 triliun, turun 6% dibandingkan posisi akhir tahun 2024 sebesar Rp5,35 triliun dikarenakan pembelian kembali seluruh medium term notes.

Posisi ekuitas sebesar Rp7,29 triliun mengalami penurunan 2% dibandingkan posisi akhir tahun 2024 sebesar Rp7,45 triliun, dikarenakan adanya pembagian dividen tunai tahun buku 2024 sebesar Rp475 miliar yang telah dibayar pada bulan Juli 2025.

Terkait kinerja operasional, hingga semester I-2025, TINS mencatat produksi bijih timah sebesar 6.997 ton Sn atau turun 32% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 10.279 ton Sn.

Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya belum optimalnya aktivitas penambangan baik di darat maupun di laut, terdampak cuaca angin utara dan angin tenggara, kondisi cadangan tidak menerus (spotted), dan masih terjadinya aktivitas penambangan ilegal.

Adapun produksi logam timah turun 29% menjadi 6.870 metrik ton dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 9.675 metrik ton. Sedangkan penjualan logam timah turun 28% menjadi 5.983 metrik ton dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 8.299 metrik ton.

Harga jual rata-rata logam timah sebesar USD32.816 per metrik ton, naik 8% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar US$30.397 per metrik ton.

Pada semester I-2025, Timah mencatatkan penjualan logam timah domestik sebesar 8% dan ekspor logam timah sebesar 92% dengan 6 besar negara tujuan ekspor meliputi Jepang 20%; Korea Selatan 19%; Singapura 16%; Belanda 10%; Italia 5%; dan India 4%.

Perusahaan menjelaskan bahwa harga timah pada semester I-2025 menunjukkan tren stabilisasi setelah mengalami gejolak hebat di awal tahun 2025. Harga Timah London Metal Exchange (LME) masih didukung oleh stok yang ketat dan pasokan terbatas karena tambang Man Maw di Myanmar masih offline hingga Agustus dan smelter Pulau Indah di Malaysia belum beroperasi penuh.

Selain itu, ekspor timah Indonesia menunjukkan pemulihan signifikan, naik 177% dalam enam bulan pertama tahun ini dibandingkan periode yang sama di tahun 2024. Permintaan global terhadap logam timah, khususnya dari industri elektronik seperti tin solder dan tin chemical, tetap tinggi. Hal ini terutama didorong oleh kebutuhan dari pasar Jepang dan Tiongkok.

TINS Dapat Harta Karun

Presiden RI Prabowo Subianto menyerahkan enam fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) hasil sitaan kasus korupsi Tata Niaga Timah kepada PT Timah Tbk (TINS).

Dari smelter tersebut menariknya ditemukan adanya tumpukan mineral logam tanah jarang atau rare earth element serta ingot-ingot timah atau bongkahan logam.

Prabowo menjelaskan, bahwa logam tanah jarang yang ditemukan belum terurai. Ia memprediksi nilai dari logam tanah jarang itu sangat besar karena di dalamnya mengandung monasit.

Dalam perkiraannya, 1 ton monasit nilainya mencapai ratusan ribu dolar hingga US$200 ribu. "Padahal total (yang) ditemukan puluhan ribu ton mendekati 40.000 ton,"tegas Prabowo.

Jika diestimasikan dengan asumsi US$1 adalah Rp16.543, dengan cadangan 4 ribu ton, maka nilai harta karun yang diberikan Prabowo ke Timah bisa mencapai Rp132,40 triliun.

TINS Diuntungkan dari Myanmar dan Kebijakan China

Harga timah tiga bulan di London Metal Exchange (LME) CMSN3 sempat melonjak hingga lebih dari US$37.500 per ton atau sekitar Rp 620,44 juta (US$1= Rp 16.545) pada perdagangan Jumat pekan lalu (3/10/2025), level tertinggi sejak April 2025 atau enam bulan terakhir ketika pasokan terancam akibat isu di tambang Bisie, Republik Demokratik Kongo.

Lonjakan harga timah juga dipicu kondisi di Myanmar yang merupakan negara terbesar kedua di dunia. Produksi timah di Myanmar belum juga pulih sepenuhnya setelah tambang besar Man Maw masih ditutup untuk audit sumber daya.

Curah hujan tinggi dan gempa bumi yang merusak infrastruktur menambah hambatan di wilayah tersebut. Kombinasi antara krisis pasokan Myanmar dan pengetatan tambang di Indonesia menjadikan pasar timah seperti "kuali mendidih" yang setiap saat bisa meluap.

Kenaikan saham TINS juga didorong oleh langkah China memperketat ekspor logam tanah jarang memicu spekulasi pasar bahwa pemerintahan Trump akan bergerak lebih agresif untuk berinvestasi dalam membangun rantai pasokan domestik.

Kementerian Perdagangan China melaporkan, pihaknya kini mewajibkan entitas asing untuk mendapatkan lisensi ekspor produk yang mengandung logam tanah jarang senilai 0,1% atau lebih dari nilai barang. Perusahaan juga memerlukan lisensi ekspor jika menggunakan teknologi ekstraksi, pemurnian, atau daur ulang magnet China.

Gedung Putih dan lembaga terkait sedang menilai secara cermat dampak dari aturan baru ini, yang diumumkan tanpa pemberitahuan sebelumnya dan diberlakukan sebagai upaya nyata untuk mengendalikan seluruh rantai pasokan teknologi dunia.

China memberlakukan pembatasan tersebut menjelang pertemuan yang diperkirakan berlangsung antara Presiden Xi Jinping dan Presiden Donald Trump di sela-sela KTT Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik di Seoul, Korea Selatan, akhir bulan ini.

Logam tanah jarang telah menjadi poin utama perdebatan dalam perundingan perdagangan antara China dan AS. China mendominasi rantai pasok logam tanah jarang global dan AS bergantung pada impor dari China.

Tanah jarang merupakan bagian dari mineral kritis yang merupakan input krusial bagi platform senjata, robotika, kendaraan listrik, dan elektronik AS, di antara aplikasi lainnya. Di sisi lain, Gedung Putih dan industri mineral kritis AS sebelumnya telah menuduh China memanipulasi pasar untuk menyingkirkan pesaing asing.

Pada Juli, Departemen Pertahanan AS menjalin kesepakatan yang belum pernah terjadi sebelumnya dengan MP Materials, perusahaan tambang unsur tanah jarang terbesar di AS.

Kesepakatan itu mencakup penyertaan modal (kepemilikan saham), dan menjadi langkah besar pertama dalam upaya pemerintahan Trump untuk memperkuat industri AS dalam menghadapi China.

Gedung Putih kemudian mengambil alih saham di Lithium Americas dan Trilogy Metals. Langkah ini memicu spekulasi investor bahwa akan ada lebih banyak kesepakatan serupa di masa mendatang.


Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(saw/saw)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation