
Harga Timah Dunia Tembus Rekor Tertinggi 6 Bulan, Gara-Gara RI

Jakarta, CNBC Indonesia-Â Harga timah dunia kembali mendidih. Lonjakan harga dipicu pasokan di Indonesia dan Myanmar.
Harga timah tiga bulan di London Metal Exchange (LME) CMSN3 bahkan melonjak hingga lebih dari US$37.500 per ton atau sekitar Rp 620,44 juta (US$1= Rp 16.545) pada perdagangan Jumat (3/10/2025), level tertinggi sejak April 2025 atau enam bulan terakhir ketika pasokan terancam akibat isu di tambang Bisie, Republik Demokratik Kongo.
Lonjakan ini bukan tanpa sebab pasar global sedang dihantui kekhawatiran pasokan setelah Indonesia, produsen timah terbesar kedua dunia, menutup 1.000 tambang ilegal di Bangka Belitung. Langkah tegas Presiden Prabowo Subianto ini memicu gelombang baru dalam rantai pasokan global yang memang sudah rapuh sejak lama.
![]() Penambangan timah ilegal di Bangka Belitung. (Dok. PT Timah) |
Di sisi lain, produksi dari Myanmar produsen terbesar dunia belum juga pulih sepenuhnya setelah tambang besar Man Maw masih ditutup untuk audit sumber daya.
Curah hujan tinggi dan gempa bumi yang merusak infrastruktur menambah hambatan di wilayah tersebut. Kombinasi antara krisis pasokan Myanmar dan pengetatan tambang di Indonesia menjadikan pasar timah seperti "kuali mendidih" yang setiap saat bisa meluap.
Prabowo, dalam kunjungannya ke Bangka pada Senin (6/10/2025), menegaskan komitmennya untuk menegakkan tata kelola tambang nasional. Ia bahkan menyaksikan langsung penyerahan aset-aset hasil sitaan, mulai dari enam smelter, 108 alat berat, hingga 680 ton timah olahan kepada PT Timah Tbk (TINS) BUMN yang kini menjadi simbol restrukturisasi sektor timah.
Kejaksaan Agung melaporkan, praktik ilegal di sektor ini menyebabkan kerugian negara hingga Rp300 triliun, termasuk kerusakan lingkungan yang masif.
Langkah ini menandai babak baru dalam upaya pemerintah menata industri strategis berbasis sumber daya alam. Namun, seperti dua sisi mata uang, penertiban ini juga menggerus pasokan global.
Menurut analis logam Andy Home dari Reuters, "harga timah kembali naik lebih dari 10% dalam seminggu terakhir" karena pasar memperhitungkan berkurangnya pasokan dari Indonesia. Bahkan, selisih harga spot dan tiga bulan di LME telah berbalik menjadi premium US$105, menandakan pasar mulai kekurangan material fisik.
Selama bertahun-tahun, "shadow sector" atau sektor bayangan di industri timah Indonesia menjadi momok bagi pasar. Banyak penambang kecil beroperasi tanpa izin, bahkan menggunakan rakit-rakit sederhana untuk menambang di laut yang seharusnya dikelola oleh PT Timah.
World Bureau of Metal Statistics menunjukkan adanya ekspor ilegal yang terdeteksi melalui celah statistik di mana China mengimpor 1.192 ton bijih timah dari Indonesia dalam delapan bulan pertama 2025, sementara Malaysia mencatat 642 ton dalam tujuh bulan. Padahal, secara resmi Indonesia hanya mengekspor timah olahan.
Ketua Asosiasi Eksportir Timah Indonesia (ITEA) memperkirakan hingga 12.000 ton timah diekspor secara ilegal setiap tahun, setara dengan sekitar 80% dari total produksi di Bangka Belitung.
Kondisi ini menjelaskan mengapa produksi resmi PT Timah anjlok 32% year-on-year di paruh pertama 2025. Tahun lalu, ekspor timah olahan Indonesia turun ke level terendah multi-tahun di 46.000 ton, dan tahun ini diperkirakan hanya sedikit membaik ke 53.000 ton.
Langkah Prabowo menutup tambang ilegal diharapkan menjadi pintu masuk bagi peningkatan produksi resmi dan tata kelola yang lebih bersih.
Namun, proses pemulihan tidak akan instan. Pengoperasian kembali smelter sitaan, legalisasi tambang rakyat, dan pembangunan sistem pelacakan mineral memerlukan waktu, terutama di tengah kebutuhan dunia akan logam kritis untuk baterai, solder elektronik, dan industri otomotif.
Sementara itu, dunia masih menatap Myanmar dan Kongo dua produsen utama lainnya yang juga belum stabil. Tambang Bisie di Kongo baru kembali beroperasi setelah sempat terhenti akibat konflik kelompok M23. Ketidakpastian di dua wilayah ini, ditambah kebijakan keras Indonesia, menjadikan pasar timah global berada dalam fase sensitif. Harga tinggi memang menguntungkan dalam jangka pendek, tetapi tanpa reformasi struktural, sektor ini bisa kembali tersandera praktik ilegal yang sama.
CNBCÂ INDONESIA RESEARCH
[email protected]
