
Peta Timah ASEAN: Laba Jeblok, TINS Tetap Lebih Gahar vs MSC Malaysia

Jakarta, CNBC Indonesia - Anomali menarik dan sinyal pergeseran sentimen yang kuat sedang terjadi pada saham emiten pertambangan BUMN, PT Timah Tbk (TINS).
Di tengah rilis laporan keuangan yang menunjukkan laba anjlok signifikan dan bayang-bayang kasus hukum tata niaga timah yang belum usai, harga saham TINS justru meroket lebih dari 40% dalam sebulan terakhir.
Fenomena kontradiktif ini memicu pertanyaan besar di kalangan investor: Apakah pasar sedang mengabaikan fundamental yang buruk, atau justru para smart money sedang mencium adanya aroma pemulihan yang belum terbaca oleh mayoritas pelaku pasar?
Kinerja Keuangan Konfirmasi Adanya 'Badai'
Laporan keuangan konsolidasi perseroan untuk semester I-2025 menjadi bukti nyata 'badai' yang sedang dihadapi TINS. Perseroan hanya mampu membukukan laba bersih sebesar Rp 300 miliar. Angka ini anjlok signifikan dibandingkan laba setahun penuh pada 2024 yang mencapai Rp 1,18 triliun, terutama disebabkan oleh pelemahan harga jual rata-rata timah.
Meskipun kinerja ini terlihat buruk, neraca keuangan TINS justru menunjukkan fundamental yang solid. Rasio utang terhadap modal (Debt-to-Equity Ratio) terjaga di level sehat 0,98 kali, memberikan perseroan daya tahan untuk melewati siklus penurunan komoditas.
Turunnya TINS Pada Periode November 2024 - April 2025
Berdasarkan dari grafik di atas, terjadi beberapa permasalahan yang terjadi di periode tersebut.
Salah satunya adalah permasalahan sistemik yang terjadi pada harga komoditas timah pada kala itu di mana adanya penurunan harga timah global di LME secara signifikan sekitar 17,1%. Penyebab dari masalah ini adalah melemahnya permintaan global terutama dari industri semikonduktor dan elektronik yang sedang mengalami perlambatan.
Akibat dari hal ini, sentimen pasar memberikan efek jual bagi saham TINS, sehingga membentuk efek domino berupa penurunan harga saham sekitar 43% dari titik tertingginya pada awal November 2024.
Namun pelemahan harga komoditas timah ini tidak berlangsung lama karena setelah beberapa bulan harga timah kembali naik dan menciptakan efek domino positif secara langsung ke harga emiten TINS Akibatnya, harga saham melonjak sampai 78% ke level Rp1500/saham kembali pada hari Senin (29/9/2025), terutama peningkatan secara signifikan pada 1 bulan terakhir sebesar 40%.
Misteri di Balik Lonjakan 40%
Lonjakan harga saham TINS yang drastis dalam sebulan terakhir bukanlah tanpa sebab. Setidaknya ada tiga penyebab penggerak utama yang berhasil menyalakan kembali optimisme pasar yaitu ledakan harga timah global.
Katalis fundamental terkuat datang dari harga timah di London Metal Exchange (LME) yang dilaporkan meroket ke level hampir US$35.000 per metrik ton atau naik hampir 16%.
Kenaikan ini bersifat demand pull yang didorong oleh kekhawatiran pasar akan gangguan pasokan dari Myanmar serta Indonesia yang masih terasa dampaknya hingga saat ini dan didorong dengan adanya sinyal pemulihan permintaan dari industri semikonduktor global.
Dengan adanya titik terang dari kasus hukum, pasar merespons positif perkembangan terbaru dari kasus tata niaga timah. Fokus penyidikan yang kini lebih mengerucut pada individu-individu dan pihak swasta telah mengurangi kekhawatiran investor bahwa TINS sebagai korporasi akan menanggung dampak finansial yang menurunkan.
Analisis Komparatif: Bagaimana Posisi TINS Dibandingkan Pesaing?
Untuk memahami posisi TINS secara lebih luas, penting untuk membandingkannya dengan emiten sejenis, pada kasus ini membandingkan antara perusahaan Timah Tbk. dengan Malaysia Smelting Corporation Berhad.
Dikarenakan di Bursa Efek Indonesia (BEI), TINS adalah satu-satunya emiten pure-play produsen timah. Tidak ada perusahaan terbuka lain yang bisnis intinya murni di pertambangan dan pengolahan timah, sehingga perbandingan langsung di pasar lokal menjadi sulit.
Pesaing terdekat TINS yaitu pesaing regional yang juga merupakan perusahaan terbuka adalah Malaysia Smelting Corporation Berhad (MSC), yang tercatat di bursa Malaysia. Berikut perbandingan secara head-to-head keduanya berdasarkan kinerja H1-2025:
Analisis Perbandingan Kinerja Kedua Perusahaan Tersebut
Dari data di atas, terlihat bahwa skala operasi TINS jauh lebih besar, dengan pendapatan sekitar 61% lebih tinggi dari MSC. Kedua dan yang paling krusial, TINS menunjukkan tingkat efisiensi yang jauh lebih unggul dibandingkan dengan perusahaan Malaysia tersebut. Margin laba bersih TINS mencapai 7,11%, lebih dari tiga kali lipat margin MSC yang hanya mencatat sebesar 2,18% saja.
TINS kini bertransformasi dari sekadar saham komoditas menjadi sebuah 'turnaround play' klasik yang didukung oleh katalis nyata. Perbandingannya dengan pesaing global menunjukkan resiliensi yang lebih baik dalam menjaga profitabilitas. Investasi pada TINS saat ini bukan lagi membeli perusahaan dengan kinerja yang sedang bagus, melainkan membeli momentum pemulihan yang sedang berlangsung.
Bagi investor konservatif, risikonya mungkin masih terasa tinggi. Namun, bagi investor agresif yang jeli melihat momentum, kombinasi antara valuasi yang masih relatif murah, fundamental yang lebih tangguh dari pesaing, dan katalis positif yang kuat menjadikan TINS salah satu saham paling menarik di bursa saat ini.
Dari sisi valuasi, meskipun PBV MSC terlihat lebih murah (~0,75x) dibandingkan TINS (~1,35x), investor perlu melihat lebih dalam. Kemampuan TINS untuk menghasilkan profitabilitas yang jauh lebih tinggi dari aset yang dimilikinya membuat valuasinya terlihat lebih premium namun wajar. Ini menunjukkan bahwa pasar menghargai efisiensi TINS yang superior dalam manajemen efisiensi operasional perusahaan.
Statistik TINS Lainnya
-
Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(gls/gls)