ASEAN Terpecah Dua: Daratan Dijerat China, Maritim Terjepit Barat

Elvan Widyatama, CNBC Indonesia
30 September 2025 05:45
Infografis, Bawa Misi Besar, Ini Hasil Lawatan ASEAN-BAC di 8 Negara
Foto: Infografis/ ASEAN-BAC/ Edward Ricardo

Jakarta, CNBC Indonesia - Asia tenggara terbagi menjadi dua poros yakni daratan dan maritim.

Meskipun kawasan Asia Tenggara sering dipandang sebagai kawasan yang terpadu, namun kenyataannya perbedaan geografi, sejarah, hingga arah geopoliik membuat kawasan ini tidak pernah sepenuhnya menyatu.

Dengan total populasi lebih dari 700 juta orang, 11 negara di Asia Tenggara sangatlah beragam. Mulai dari memiliki ratusan bahasa yang berbeda, keberagaman agama, dan perbedaan sistem politik serta tingkat pembangunan ekonomi yang berbeda.

Perbedaan ini semakin menonjol ketika dilihat dari keterikatan geopolitik negara-negara di Asia Tenggara, dimana negara Asia Tenggara daratan cenderung mendekat ke China, sementara negara-negara Asia Tenggara maritim lebih dekat ke Amerika Serikat (AS) dan terbuka luas terhadap mitra global lainnya.

Sejarah Singkat

Selama periode perang dingin, Asia Tenggara terbagi antara negara-negara pendiri ASEAN yakni Indonesia, Filipina, Malaysia, Singapura, dan Thailand dengan tiga negara indochina seperti Kamboja, Laos, dan Vietnam.

Sebelum pada akhirnya, pasca perang dingin usai, ketiga negara indochina tersebut bergabung dengan ASEAN ditambah dengan Brunei dan Myanmar.

Peta ASEAN. (Dok. Istimewa)Foto: Peta ASEAN. (Dok. Istimewa)
Peta ASEAN. (Dok. Istimewa)

Namun, Menurut Southeast Asia Influence Index yang disusun oleh Lowy Institute, terdapat dua jaringan berbeda yang tetap ada di antara negara-negara Asia Tenggara.

Yang mana, Kamboja, Laos, Myanmar, Thailand, dan Vietnam termasuk ke dalam Asia Tenggara daratan yang sangat berorientasi kuat ke China.

Sedangkan Indonesia, Malaysia, dam Singapura masuk dalam poros maritim yang memiliki hubungan lebih seimbang dengan AS dan China.

Asia Tenggara Daratan: Bayang-Bayang Beijing

Negara-negara ASEAN di kubu daratan sejak lama dikenal memiliki kedekatan yang kuat dengan China.

Secara historis, kedekatan ini sebenarnya tertahan oleh faktor geografis. Hutan pegunungan yang terjal memisahkan China dari Laos, Myanmar, dan Vietnam, yang kemudian berlanjut ke Kamboja serta Thailand.

Kondisi alam ini menjadi benteng natural yang membatasi ekspansi China ke Asia Tenggara.

Namun, memasuki abad ke-21, halangan geografis tersebut berhasil diruntuhkan. Melalui kemajuan teknologi dan pembangunan infrastruktur, berhasil membuka konektivitas lintas kawasan.

Jalan raya, rel kereta api, dan pembentukan zona ekonomi khusus telah membuka arus perdagangan barang dan jasa, sekaligus menambah kedekatan antara China dengan negara Asia Tenggara daratan.

Melalui program Belt and Road Initiative (BRI), Beijing mengucurkan pembiayaan yang masif untuk pembiayaan proyek-proyek infrastruktur besar di Kawasan tersebut.

Salah satu yang paling strategis adalah jalur kereta api lintas batas yang menghubungkan kota Kunming di China selatan dengan Vientiane, ibu kota Laos, pada 2021.

Visi jangka panjangnya adalah mengintegrasikan jalur ini hingga Thailand dan Malaysia, yang pada akhirnya dapat menghubungkan Singapura dengan daratan China.

Dampak proyek ini terasa sangat besar, khususnya bagi Laos. Niilai perdagangan kedua negara melonjak drastis sejak kereta api beroperasi, didominasi oleh ekspor pertanian dari lahan Laos yang disewakan kepada investor China.

Namun, integrasi ekonomi ini membawa sisi gelap.Negara kecil tersebut kini semakin terjerat utang kepada China. Selain itu, Zona ekonomi khusus yang awalnya dibangun untuk mendorong investasi asing kini berkembang menjadi wilayah tanpa pengawasan yang memadai. Di banyak kasus, pengusaha dan bahkan aparat keamanan asal China dapat beroperasi di luar hukum lokal.

Hal ini memicu merebaknya praktik perdagangan narkotika, kejahatan satwa liar, penipuan siber, hingga migrasi pekerja ilegal, yang mengikis kedaulatan Laos atas sebagian wilayahnya sendiri.

Gambaran ini menegaskan bahwa Asia Tenggara daratan semakin erat dengan orbit Beijing, baik secara ekonomi maupun politik.

Pembangunan infrastruktur melalui BRI tidak hanya meningkatkan konektivitas, tetapi juga memperdalam ketergantungan negara ASEAN daratan pada China. Namun, ketergantungan ini dibayar mahal dengan risiko utang, lemahnya kedaulatan, serta meningkatnya aktivitas ilegal lintas batas yang sulit dikendalikan.

Asia Tenggara Maritim: Jalur Perdagangan Dunia

Berbeda dengan Asia Tenggara daratan yang semakin erat terhubung dengan China melalui infrastruktur jalan raya dan jalur kereta, Asia Tenggara maritim memiliki dinamika yang berbeda.

Secara geografis, kawasan maritim sejak lama terbuka terhadap berbagai mitra dagang global karena posisinya yang strategis di jalur perdagangan dunia.

Dua negara maritim terbesar, Indonesia dan Filipina merupakan kepulauan besar dengan ribuan pulau yang membentang di jalur laut internasional. Bersama Singapura dan Malaysia, Indonesia dan Filipina menjadi kunci dalam menghubungkan Asia dengan dunia melalui jalur perairan yang penting, termasuk Laut China Selatan.

Karena perannya yang sangat vital, negara-negara maritim Asia Tenggara cenderung menerima lebih banyak investasi dan pembiayaan pembangunan dari berbagai lembaga internasional dibandingkan negara Asia Tenggara daratan yang terfokus pada China.

 

Selain itu, kawasan maritim juga menarik perhatian besar dalam bidang pertahanan. Sejak 2017, sebagian besar inisiatif kerja sama pertahanan baru antara Barat dan Asia Tenggara justru terjadi di Indonesia, Malaysia, hingga Singapura.

Tekanan terbesar bagi negara-negara maritim muncul dari pemerintah China yang terus berupaya untuk mengklaim Laut China Selatan (LCS) melalui konsep nine dash line, yang mencakup hampir seluruh wilayah di perairan tersebut. Kondisi ini membuat negara Asia Tenggara Maritim semakin intens menjalin kerja sama militer dengan Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya, terutama Australia dan Jepang.

Perbedaan yang Tak Terhindarkan

Asia Tenggara saat ini bukanlah satu kawasan yang menyatu, melainkan dua poros dengan orientasi yang berbeda.

Daratan semakin erat dengan orbit Beijing, sementara maritim tetap membuka dengan banyak mitra global. Perbedaan ini akan semakin tajam dalam beberapa dekade mendatang, sehingga bisa menciptakan dinamika geopolitik baru di Kawasan Asia Tenggara.

Bagi kita, Indonesia sebagai negara maritim terbesar dan motor ASEAN, memahami realitas dua Asia Tenggara ini menjadi sangat penting.

Posisi kita akan sangat menentukan dalam menjaga keseimbangan, memastikan kawasan tetap terbuka, dan menghindari dominasi tunggal yang dapat mengguncang stabilitas Kawasan.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(evw/evw)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation