
Deretan Emiten "Harta Karun", Anda Bisa Jadi Crazy Rich dalam 10 Tahun

Jakarta, CNBC Indonesia - Perjalanan pergerakan harga saham di Indonesia tidak lepas dari narasi industri dan juga pertumbuhan saham pada sektor keuangan yang signifikan. Terlepas dari banyaknya polemik yang sedang terjadi di Indonesia, statistik menjelaskan perlunya ada pertumbuhan sektor riil di Indonesia yang tercermin dari pasar saham suatu negara yang meningkat pesat dalam beberapa tahun secara konsisten berturut-turut.
Melihat dari peristiwa ini, Indonesia yang dinobatkan akan menjadi salah satu negara terbesar di dunia ke-4 pada tahun 2045, harus memiliki strategi pengembangan pasar keuangan yang canggih dan juga merangkul sektor riil di berbagai daerah untuk menunjang pertumbuhan di luar pulau Jawa seperti di tempat-tempat proyek di belahan lain Indonesia.
Indonesia Menuju Raksasa di 2050?
Prediksi PricewaterhouseCoopers (PWC) menyebutkan ekonomi Indonesia pada tahun 2030 akan menempati peringkat ke-5 terbesar di dunia berdasarkan Produk Domestik Bruto (PDB), naik dari peringkat 8 pada tahun 2016, dan akan terus naik ke peringkat 4 pada tahun 2050.
Proyeksi total populasi di Indonesia yang akan terus bertambah seiring dengan berjalannya waktu sampai dengan kurang lebih 350 juta penduduk pada tahun 2050.
Berdasarkan dari asumsi ini maka secara keseluruhan Indonesia membutuhkan tambahan sirkulasi keuangan untuk memastikan kebutuhan manusia terpenuhi dengan cukup.
Ini akan memberikan dampak ekonomi bagi sektor konsumsi dan juga energi yang diproyeksikan akan tumbuh dari tahun ke tahun secara signifikan akibat penggunaan listrik dalam menopang kemampuan AI dari tahun ke tahun.
Populasi yang besar dan skala ekonomi yang terus meningkat tentu saja harus didorong oleh sumber daya energi yang mumpuni.
Potensi Energi Terbarukan, Artificial Intelligence, dan Consumer Goods.
Populasi yang besar dan skala ekonomi yang terus meningkat tentu saja harus didorong oleh sumber daya energi yang mumpuni.
Pemerintah telah menetapkan cetak biru investasi sektor ketenagalistrikan melalui Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025-2034. Rencana ini mengamanatkan kebutuhan investasi raksasa senilai US$ 182,6 miliar (sekitar Rp 2.967 kuadriliun) untuk menambah kapasitas baru sebesar 69,5 GW, di mana 76% di antaranya berasal dari energi baru terbarukan (EBT).
Selain itu, ada simbiosis kuat antara transisi hijau dan hilirisasi. Smelter nikel dan pabrik baterai sangat padat energi, dan investor global menuntut pasokan listrik hijau untuk memenuhi standar ESG. Ini menciptakan permintaan yang besar bagi produsen listrik EBT. Dari padangan ini, siapa saja emiten yang berpotensi 'kecipratan' dari proyek-proyek tersebut?
1. PGEO (Pertamina Geothermal Energy Tbk)
PGEO adalah perusahaan di bawah naungan PT Pertamina yang ditugaskan secara langsung dalam mengelola energi panas bumi di Indonesia di bawah naungan induk perusahaan Pertamina.
Potensi proyek yang bisa didapatkan oleh PGEO berkemungkinan bisa mencapai lebih dari 5 sampai 10 kali lipat dari kapasitas hari ini yang menyebabkan berpotensi mendapatkan pendapatan lebih dengan sektor industri yang .
2. BREN (Barito Renewables Energy Tbk)
BREM adalah perusahaan yang bergerak di sektor energi baru terbarukan (EBT) yang menggunakan pengoperasian panas bumi yang berlokasi di Jawa Barat.
Di bawah naungan konglomerasi Prajogo Pangestu yang sangat berat dalam kenaikan harga ekuitas saham maka emiten satu ini patut menjadi perhatian bagi investor. Ditambah dengan proyeksi perusahaan di bawah naungan Prajogo yang dikabarkan akan melanjutkan sesi IPO-nya, hal ini patut menjadi perhatian investor.
3. TOBA (TBS Energi Utama Tbk)
TOBA adalah perusahaan yang bergerak di bidang pertambahan batu bara, perkebunan kelapa sawit dan pembangkit listrik namun memiliki kerja sama dengan GOTO dalam mengembangkan perusahaan bersama bernama PT Energi Kreasi Bersama dalam mengembangkan motor listrik. Pada hal ini TOBA memiliki target produksi sebanyak 533,500 unit motor listrik pada tahun 2029.
4. INCO (Vale Indonesia Tbk)
INCO adalah perusahaan yang memproduksi nikel di Indonesia. Dengan bantuan kebijakan hilirisasi oleh pemerintah, INCO fokus pada proses produksi yang mencakup penggunaan teknologi High-Pressure Acid Leaching (HPAL) untuk mengolah bijih nikel limonit. Diversifikasi juga dilakukan oleh INCO dengan mempraktikan manajemen Mixed Hydroxide Precipitate.
5. UNVR (Unilever Indonesia Tbk)
UNVR adalah perusahaan consumer goods yang bergerak di Indonesia dan produknya sering kita pakai dalam kehidupan sehari-hari. Dengan pertumbuhan penduduk Indonesia mencapai lebih dari 30 juta pada tahun 2035, hal ini akan memberikan insentif tambahan bagi kinerja perusahaan Unilever Indonesia secara langsung.
6. TLKM (Telkom Indonesia Tbk)
TLKM adalah perusahaan telekomunikasi terbesar di Indonesia dan dengan kebutuhan teknologi yang semakin meningkatkan dengan seiring berjalannya waktu, maka masyarakat luas akan membutuhkan layanan dari Telkom dari segi internet, data, dan juga teknologi lain yang dimiliki oleh Telkom. Perusahaan Telkom sudah menjalani diversifikasi aset mereka ke berbagai lini teknologi untuk memimpin pasar teknologi di Indonesia pada tahun 2035 mendatang.
Berikut kinerja saham-saham di atas selama 1 tahun ke belakang
-
Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(gls/gls)
