
Harga Kopi Siap-Siap Naik Tajam, Amerika & Cuaca Jadi Biang Kerok

Jakarta, CNBC Indonesia- Harga kopi dunia kembali menanjak. Lonjakan harga disebabkan oleh kenaikan tarif kopi Vietnam dan Brasil ke Amerika Serikat (AS).
Data Refinitiv mencatat kontrak berjangka kopi jenis Arabica (kode KCc1) ditutup di level US$400,05 per pon atau sekitar Rp 6,55 juta (US$1=Rp 16.370) pada Kamis (11/9/2025). Angka ini setara dengan US$881,4 per kg (Rp 14,43 juta/kg).
Harga ini menandai penguatan tipis dibanding sehari sebelumnya yang sempat ditutup di US$401, meski masih jauh lebih tinggi dibanding awal Agustus yang berada di kisaran US$290.
Lonjakan harga kopi ini bukan tanpa alasan. Cuaca ekstrem di Brasil dan Vietnam sebagai produsen terbesar dunia telah memangkas produksi, sementara tensi perdagangan akibat tarif tinggi yang diberlakukan Amerika Serikat terhadap negara produsen turut memperburuk situasi.
Sejak awal Agustus, harga kopi sudah melonjak lebih dari 40%. Dari level US$284,2 per pon (1/8) ke kisaran US$400 per pon pada 11 September 2025.
Menurut laporan CNBC International, harga kopi bubuk di AS bahkan menembus US$8,41 per pon pada Juli, naik 33% dibanding tahun sebelumnya. Ini adalah rekor tertinggi dan mencerminkan harga kopi global yang sempat menyentuh level tertinggi 50 tahun pada Februari.
Di sisi lain, kebijakan perdagangan AS di bawah pemerintahan Trump memperparah kenaikan. Tarif 50% untuk kopi Brasil dan 20% untuk Vietnam membuat biaya impor meningkat tajam. Kondisi ini membuat banyak kedai kopi di AS menaikkan harga jual ke konsumen.
Fenomena ini sekaligus menunjukkan rapuhnya rantai pasok kopi global. Drought-flood whiplash atau "ayunan cuaca" ketika musim kering panjang disusul hujan deras telah mengganggu kualitas dan kuantitas panen. Dengan Brasil menyumbang sekitar 40% pasokan kopi dunia, gangguan di negara tersebut langsung mengguncang pasar.
Situasi ini mengingatkan kembali betapa rentannya pasar kopi global terhadap kombinasi cuaca, permintaan yang terus meningkat, dan kebijakan perdagangan.
Stok inventori kopi global saat ini disebut berada di level rendah, sehingga pasar semakin sensitif terhadap guncangan baru. "Jika ada lagi gangguan cuaca, harga bisa melonjak lebih tajam," ungkap analis Bernstein dalam laporannya.
Bagi Indonesia, dinamika ini memberi dua sisi mata uang. Di satu sisi, sebagai produsen kopi Robusta terbesar kedua dunia setelah Vietnam, peluang ekspor terbuka lebar. Kenaikan harga bisa menjadi angin segar bagi petani kopi dari Lampung, Sumatra Selatan, hingga Sulawesi. Namun, di sisi lain, tarif tinggi AS terhadap kopi Indonesia sebesar 19% menjadi hambatan. Selain itu, pasar domestik juga berisiko terdampak karena harga kopi di tingkat internasional ikut mendorong harga biji lokal.
Meski ada harapan harga mereda seiring perbaikan cuaca dan investasi pada produktivitas, analis menilai risiko jangka panjang tetap tinggi. Konsumsi kopi global terus naik, sementara perubahan iklim diprediksi makin ekstrem. Artinya, harga kopi dunia bisa bertahan mahal lebih lama dari perkiraan.
Pertumbuhan Produksi Melambat
Departemen Pertanian Amerika Serikat (AS) memperkirakan produksi kopi dunia untuk 2025/26 diperkirakan naik 4,3 juta kantong (bag) atau 2,47% menjadi 178,7 juta kantong.
Meskipun naik tetapi pertumbuhan produksi ini adalah yang terendah dalam tiga tahun terakhir.
Kenaikan ini didorong oleh pemulihan berkelanjutan di Vietnam dan Indonesia, serta rekor produksi di Ethiopia.
Ekspor biji kopi dunia diproyeksikan meningkat 700.000 kantong menjadi 122,3 juta, dengan kenaikan dari Vietnam, Ethiopia, dan Indonesia yang lebih dari cukup untuk menutupi penurunan dari Brasil dan Kolombia.
Dengan konsumsi global diperkirakan mencapai rekor 169,4 juta kantong, persediaan akhir diperkirakan tetap ketat di level 22,8 juta kantong. Sebagai respons, harga kopi yang diukur dengan Indeks Harga Komposit Bulanan ICO (International Coffee Organization) telah melonjak lebih dari 90% dalam 2 tahun terakhir.
Produksi Indonesia diperkirakan naik 550.000 kantong menjadi 11,3 juta kantong. Produksi robusta diprediksi mencapai 9,8 juta kantong berkat kondisi tumbuh yang baik di dataran rendah Sumatra Selatan dan Jawa, tempat sekitar 75 persen robusta ditanam.
Produksi arabika juga diperkirakan naik tipis menjadi 1,5 juta kantong. Lonjakan produksi ini diproyeksikan mendorong ekspor biji kopi naik 400.000 kantong menjadi 6,5 juta kantong.
CNBC Indonesia Research
(emb/emb)