Rupiah Masih Berjaya di Asia, Malaysia & China Sudah Takluk Lawan AS

Elvan Widyatama, CNBC Indonesia
11 September 2025 10:00
Dolar Taiwan. (REUTERS/Jason Lee/File Photo)
Foto: Dolar Taiwan. (REUTERS/Jason Lee/File Photo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar mata uang Asia mayoritas tengah mengalami depresiasi terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan hari ini, Kamis (11/9/2025).

Dilansir dari Refinitiv, pada pukul 09.20 WIB, peso Filipina menjadi mata uang dengan pelemahan paling besar di kawasan Asia terhadap dolar AS, disisi lain dolar Taiwan menjadi yang terkuat meskipun tidak terlalu signifikan.

Peso Filipina memimpin dengan pelemahan sebesar 0,27% di posisi PHP 57,162/US$, sedangkan ringgit malaysia terpaut dibawah peso dengan depresiasi 0,24% di level MYR 4,220/US$, serta diikuti oleh pelemahan baht Thailand 0,16% di level BHT 31,77/US$.

Pelemahan juga terjadi pada mata uang rupee India, dong Vietnam, dan dolar Singapura dengan masing-masing terpantau melemah 0,09%, 0,07%, dan 0,05%.

Adapun, dolar Taiwan menjadi yang terkuat dengan penguatan tipis 0,04% di level TWD 30,277/US$.

Rupiah pun turut mengikuti jejak dolar Taiwan, dengan penguatan sebesar 0,03% di posisi Rp16.450/US$, yang diikuti oleh yen Jepang dan won Korea dengan sama-sama terapresiasi 0,02%.

Pelemahan pada mayoritas mata uang Asia tak lepas dari pergerakan indeks dolar AS (DXY) yang tengah mengalami penguatan. Pada waktu yang sama, DXY terpantau mengalami penguatan 0,05% di level 97,828.

Penguatan dolar AS terjadi setelah rilis data inflasi produsen (Producer Price Index/PPI) AS yang turun 0,1% pada periode Agustus, setelah sempat melonjak 0,7% di Juli. Data ini memperkuat ekspektasi bahwa The Federal Reserve akan menurunkan suku bunga pada rapat kebijakan pekan depan.

Pasar menilai pemangkasan suku bunga sebesar 25 basis poin hampir pasti dilakukan, sementara peluang pemangkasan lebih agresif sebesar 50 bps dinilai relatif kecil. Ekspektasi tersebut semestinya memberi ruang bagi mata uang negara berkembang untuk menguat, namun tren penguatan DXY justru menekan banyak mata uang Asia di tengah ketidakpastian global.

Selain faktor data ekonomi, pelaku pasar juga mencermati dinamika politik di Washington. Presiden Donald Trump tengah berupaya memperluas pengaruhnya terhadap komite penentu suku bunga The Fed, yang menambah sentimen spekulatif terkait arah kebijakan moneter AS.

CNBC INDONESIA RESEARCH 

[email protected]

(evw/evw)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation