
Penjualan Gucci & Dior Anjlok: Konsumen Capek Beli Gengsi?

Jakarta, CNBC Indonesia- Tas, ready to wear, sepatu dan perhiasan luxury dulu terasa kebal dari krisis. Namun laporan keuangan terbaru menunjukkan kenyataan berbeda, industri barang mewah sedang melambat.
Grup raksasa LVMH, pemilik Louis Vuitton dan Dior, mencatat penurunan pendapatan 4% pada semester I 2025, dengan laba operasi anjlok 15% ke €9 miliar. Divisi fashion dan barang kulit jantung bisnis yang menyumbang citra dan profit terbesar turun paling tajam, yakni 12%. Sementara segmen parfum, kosmetik, hingga perhiasan relatif stabil.
Kering, induk Gucci, Yves Saint Laurent, dan Bottega Veneta, menghadapi nasib serupa. Gucci, yang selama ini jadi bintang portofolio, kehilangan momentum karena konsumen mulai menahan belanja.
Bahkan di China pasar yang dulu menopang 40% penjualan global tren belanja mulai bergeser. Sekitar 75% pembelian kini dilakukan di dalam negeri, dengan pola konsumsi yang lebih hati-hati.
Konsumen kelas menengah atas, terutama perempuan muda yang selama ini menjadi target aspiratif, semakin selektif. Mereka sadar harga tas bisa naik 10-15% setahun, tapi tidak selalu dibarengi peningkatan kualitas atau desain yang benar-benar baru. Di sisi lain, semakin banyak brand menyalurkan stok berlebih ke outlet diskon. Alhasil, aura eksklusif mulai luntur.
Bagi sebagian konsumen, membeli barang mewah kini soal pengalaman dan cerita. Itulah mengapa Hermes atau Rolex masih bertahan, sementara brand yang terlalu agresif menaikkan harga mulai ditinggalkan.
Menurut Bain & Company, pasar barang mewah global bisa turun 2-5% sepanjang 2025 terburuk sejak krisis 2008, di luar periode pandemi. Namun prospek jangka panjang tetap ada, bertambahnya jumlah individu beraset tinggi, terutama generasi muda yang mulai menerima warisan kekayaan keluarga.
Merek-merek harus beradaptasi dengan konsumen baru yang lebih awar, tidak hanya membeli logo, mempertanyakan nilai, kualitas, hingga keberlanjutan.
Bagi Dior atau Gucci, ini berarti mengembalikan makna "mewah" tidak dari harga tinggi, melainkan produk yang punya cerita, eksklusif, dan pantas untuk dikoleksi.
CNBC Indonesia Research
(emb/emb)
