
Trump: Raja Utang Dunia, Jual Obligasi Sampai Pecah Rekor Rp 1.600 T

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar obligasi Amerika Serikat (AS) sedang dalam sorotan banyak pelaku pasar. Dalam beberapa pekan ini, perhatian tertuju pada lonjakan yang terjadi pada imbal hasil obligasi jangka panjang, khususnya tenor 30 tahun yang sempat menembus level tertinggi nya dalam beberapa pekan terakhir. Namun ternyata ada perkembangan menarik di sisi lain yakni pada pasar obligasi tenor ultra pendek.
Melansir dari laporan Reuters, penjualan mingguan Treasury bills (T-bills) yang dilakukan dalam lelang pada 4 September 2025 untuk tenor empat minggu, menembus penjualan sebesar US$100 miliar atau setara dengan Rp1.647 triliun.
Hal ini menjadi penjualan kelima berturut-turut yang kembali mencetak rekor tertinggi.
T-bills sendiri merupakan instrumen utang jangka sangat pendek pemerintah AS, dengan tenor antara 4-13 minggu. Instrumen ini kerap dipilih oleh para investor karena likuiditas nya dan risiko nya yang rendah.
Penerbitan T-bills tersebut mencerminkan strategi baru dalam pemerintahan Donald Trump. Tujuannya adalah untuk memperpendek profil jatuh tempo utang serta menekan biaya bunga dengan cara mengandalkan instrumen jangka pendek, sambil terus mendorong agar The Federal Reserve (The Fed) segera melonggarkan kebijakan moneternya dalam hal ini memangkas suku bunga.
Yield Obligasi Tenor 10 Tahun Justru Lebih Rendah dari T-bills
Hal ini menjadi semakin menarik ketika imbal yield atau imbal hasil T-bills tenor empat minggu justru melampaui yield obligasi tenor 10 tahun atau obligasi jangka menengah. Artinya, investor yang meminjamkan dana ke pemerintah AS untuk tenor 10 tahun hanya akan menerima imbal hasil tahunan sebesar 4,06%, sementara T-bills empat minggu menawarkan yield 4,20%.
Kondisi ini sejalan dengan ekspektasi bahwa The Fed akan mulai memasuki siklus pemangkasan suku bunga pada Federal Open Market Committee (FOMC) September ini, dengan potensi total pemangkasan hingga 150 basis poin pada akhir tahun ini.
Tekanan itulah yang membuat turunnya yield obligasi jangka pendek dan panjang.
"Tak heran, lelang T-bills senilai US$100 miliar pekan lalu sangat diminati, bahkan sampai oversubscrived hingga 2,78 kali lipat," dilansir dari Reuters.
Risiko Pembiayaan Ulang Utang
Meskipun strategi ini dirasa cukup berhasil, namun risiko ke depan tetap membayangi strategi ini. Penerbitan yang fokus pada tenor sangat pendek membuat pemerintah harus lebih sering melakukan pembiayaan ulang utang atau rollover. Kondisi ini dapat membuat AS rentan akan terjadinya guncangan politik, ekonomi, maupun finansial yang terjadi secara mendadak.
"Peningkatan penerbitan T-bills sejauh ini masih terserap pasar, tetapi arus dana ke instrumen ini menguras likuiditas di bagian lain sistem keuangan," tulis Reuters.
Fasilitas reverse repo The Fed kini hampir kosong, sementara cadangan bank terus menurun dan berpotensi jatuh di bawah US$3 triliun. Analis Citibank pun memperingatkan risiko kenaikan suku bunga repo dan biaya pendanaan jika tren ini berlanjut.
Ke depan, Wall Street memperkirakan penerbitan baru T-bills dalam 18 bulan mendatang bisa menembus US$1,5 triliun. Hal ini akan mengerek porsi T-bills dalam total utang federal ke kisaran 25%, level yang sebelumnya hanya terlihat saat pandemi dan Krisis Keuangan Global.
Namun, permintaan sejauh ini tetap kokoh. Dana pasar uang, yang menjadi pembeli terbesar dengan porsi 36% dari total pasar T-bills senilai US$6,4 triliun, kini mengelola aset lebih dari US$7 triliun. Selain itu, penerbit stablecoin juga terus berburu T-bills sebagai cadangan aset yang aman dan likuid.
Singkatnya, pasar tampaknya masih bersedia mendukung strategi pembiayaan baru pemerintah. Dengan lebih dari US$1 triliun penerbitan baru di depan mata, pemerintahan Trump jelas berharap demikian.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(evw/evw)