Sri Mulyani 14 Tahun Lawan 'Penyakit Kronis' Pajak, Berhasil Sembuh?

Elvan Widyatama, CNBC Indonesia
09 September 2025 12:45
Mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani. di Aula Mezanin Gd Juanda 1, Kementerian Kuangan, Jakarta, Selasa (9/9/2025). (YouTube./Kementerian Keuangan RI)
Foto: Mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani. di Aula Mezanin Gd Juanda 1, Kementerian Kuangan, Jakarta, Selasa (9/9/2025). (YouTube./Kementerian Keuangan RI)

Jakarta,CNBC Indonesia - Presiden Prabowo Subianto resmi melantik Purbaya Yudhi Sadewa sebagai Menteri Keuangan pada Senin (8/9/2025), menggantikan Sri Mulyani Indrawati. Pergantian ini menjadi momen bersejarah, mengingat Sri Mulyani telah menjabat Menkeu dalam beberapa periode, yang terakhir sejak 2016 hingga 2025.

Sebelumnya Sri Mulyani juga menjabat Menkeu di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dari 2005 hingga Mei 2010 sebelum bertugas sebagai Managing Director Bank Dunia.

Selama lebih satu dekade, Sri Mulyani dikenal sebagai figur penting dalam menjaga disiplin fiskal dan mendorong reformasi perpajakan. Namun, kinerjanya juga kerap mendapat sorotan, terutama terkait target penerimaan pajak yang tidak selalu tercapai, meski di sisi lain upayanya dalam memperkuat pondasi fiskal telah diakui sebagai pencapaian besar. 

Lebih dari itu, reputasi Sri Mulyani juga dikenal karena dorongannya terhadap transparansi dan akuntabilitas dalam mengelola anggaran negara. Ia memperkuat institusi keuangan, termasuk Direktorat Jenderal Pajak dan Bea Cukai, sembari mengupayakan peningkatan penerimaan pajak sebagai tulang punggung pembangunan nasional. Upaya tersebut menjadikannya salah satu figur yang dihormati, baik di dalam negeri maupun di panggung global.

Penerimaan Pajak 

Jika kita lihat perjalanan penerimaan pajak selama kementerian keuangan di pimpin oleh Sri Mulyani sepanjang 2016-2025, terlihat dari fluktuasi penerimaan yang terlihat jelas. 

Di awal periode kepemimpinannya, realisasi penerimaan dari pajak kerap kali meleset dari target. Sebagai contoh, pada 2016 realisasi penerimaan pajak sebesar Rp1.106 triliun atau 81,6% dari target yang sekitar Rp1.355 triliun. 

Selama hampir 10 tahun kepemimpinannya, realisasi penerimaan pajak yang mencapai target terlihat hanya tiga kali, yakni pada periode 2021,2022, dan 2023 yang masing-masing mencapai Rp1.278 triliun, Rp1.716 triliun dan Rp1.867 triliun. Pada 2022 persentase realisasi penerimaan pajak mencapai 115,6%.

Pada 2024 realisasi kembali turun menjadi 97,1% dari target dan outlook 2025 juga diperkirakan hanya 94,9%. 

Satu yang perlu dicatat adalah realisasi pajak 2021, 2022, dan 2023 yang melebihi 100% sangat dibantu oleh booming komoditas. Normalisasi pandemi Covid-19 pada akhir 2021 ditambah dengan Perang Rusia-Ukraina yang melambungkan batu bara, minyak sawit mentah, nikel, emas, hingga minyak. 
Pemerintah bahkan mendapatkan tambahan penerimaan dari berkah lonjakan harga komoditas pada 2022 sebesar Rp 420 triliun.

Setelah booming komoditas usai, realisasi pajak kembali di bawah target atau mengalami shortfall. Artinya, pendapatan negara masih bergantung pada pergerakan harga komoditas. Pemerintah bahkan tidak mampu mengatasi shortfall meskipun ada kebijakan tax amnesty pada 2016.

Sebagai catatan, shortfall adalah "penyakit" tahunan dalam penerimaan pajak selama bertahun-tahun. Penerimaan pajak selalu meleset karena sejumlah faktor, terutama perhitungan proyeksi yang terlalu tinggi di awal tahun.

Sebelum booming komoditas di 2021-2023, penerimaan pajak hampir selalu shortfall atau di bawah target. Pengecualian terjadi pada 2008 di mana pada saat itu pemerintah mengeluarkan kebijakan sunset policy. Pada saat itu, Sri Mulyani menjabat sebagai Menkeu.

Bila dirunut sejak era SBY hingga Joko Widodo, Sri Mulyani hanya empat kali mengatasi persoalan shotfall yakni pada 2008, 2021, 2022, dan 2023 dari sekitar 14 tahun kepemimpinannya di Kementerian Keuangan.

Tax Rasio

Sementara itu, dari sisi tax ratio, perjalanan sejak kepemimpinan Sri mulyani juga tak kalah menarik. Di 2026 atau awal ia menjabat, tax ratio tercatat sebesar 10,4% terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Namun, ketika pandemi 2020 membuat rasio pajak merosot tajam hingga hanya sebesar 8,3%. 

Namun, seiring dengan pemulihan ekonomi pasca pandemi covid-19, tax ratio kembali naik di atas 10% sejak 2022. 

Walau menunjukkan tren membaik, tantangan masih membayangi. Selama 2016-2025, tax ratio Indonesia rata-rata hanya berada di kisaran 9-10%. Angka ini relatif rendah jika dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia, Thailand, dan Vietnam. 

CNBC INDONESIA RESEARCH 

[email protected]

(evw/evw)
Tags


Related Articles

Most Popular
Recommendation