
Heboh Video PHK Massal, Ini Jumlah Pekerja Gudang Garam dalam 5 Tahun

Jakarta, CNBC Indonesia - Awan mendung kembali meliputi dunia tenaga kerja di Indonesia. Salah satu produsen rokok terbesar di Tanah Air, PT Gudang Garam Tbk (GGRM) dikabarkan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap ribuan karyawan.
Kabar ini merebak setelah beredar video buruh Gudang Garam sedang melakukan perpisahan. Kabar ini semakin menambah awan gelap sektor ketenagakerjaan di Indonesia. Melandainya daya beli dan ekonomi nasional membuat penjualan dan produksi rokok turun sehingga perusahaan tidak punya pilihan lain selain melakukan PHK.
Selain itu, cukai rokok yang mengalami kenaikan tiap tahunnya ikut mendorong penurunan permintaan rokok Gudang Garam yang dinilai sebagai rokok premium.
Benarkah Jumlah Karyawan GGRM Turun?
Data laporan kinerja keuangan GGRM menunjukkan adanya penurunan jumlah karyawan Gudang Garam sejak 2019 hingga 2024.
Melansir dari laporan tahunan milik Gudang Garam, jumlah karyawan yang dipekerjakan menurun dari 32.491 pada 2019 menjadi hanya 30.308 pada 2024. Meskipun jumlah karyawan sempat mengalami kenaikan pada 2021 dan 2024, pada akhirnya jumlah karyawan selama lima tahun terakhir tersebut tetap menurun.
Penurunan jumlah karyawan ini sejalan dengan fluktuasi volume penjualan rokok Gudang Garam selama lima tahun terakhir.
Jumlah total penjualan rokok Gudang Garam pada 2024 sebesar 53.1 miliar batang, terjun 44,7% dari 95.9 miliar batang pada 2019. Penurunan ini setara dengan 44.6% jumlah penjualan batang rokok pada 2019.
Turunnya penjualan ini mencerminkan adanya melemahnya permintaan terhadap rokok Gudang Garam. Cukai rokok yang terus mengalami kenaikan serta melemahnya daya beli mendorong konsumen untuk menurunkan konsumsi rokok mereka, atau berpaling ke rokok yang lebih murah seperti rokok ilegal yang tidak terkena cukai rokok.
Makin masifnya peredaran rokok ilegal di pasaran menjadi dalang utama di balik anjloknya penjualan tembakau. Rokok yang tak terkena cukai ini menawarkan harga yang jauh lebih murah dibandingkan rokok yang beredar rsemi, bahkan jika dibandingkan dengan rokok lintingan (rokok tingwe).
Dikabarkan juga bahwa PT Gudang Garam Tbk menghentikan pembelian tembakau dari Temanggung karena penjualan rokoknya menurun drastis, menyebabkan penurunan omzet dan peningkatan stok tembakau di pabrik.
Kinerja keuangannya pada semester I 2025 juga memberikan nada serupa. PT. Gudang Garam Tbk (GGRM) mencatat laba yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk hingga semester I tahun 2025 sebesar Rp 117,1 miliar. Laba tersebut anjlok 87,3% jika dibandingkan semester I tahun 2024 yang sebesar Rp 925,5 miliar.
Mengutip laporan keuangannya yang disampaikan melalui keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia (BEI), penurunan laba tersebut karena pendapatan GGRM hingga Juni 2025 turun 11,4% jadi Rp 44,3 triliun dari perolehan Juni 2024 yang sebesar Rp 50,01 triliun.
Bahkan dalam performa laba bersih GGRM 10 tahun terakhir, tercatat terus mengalami penurunan.
Kenaikan Cukai Rokok Picu Rokok Ilegal?
Secara umum, cukai rokok memang terus mengalami kenaikan dari tahun ke tahun dengan rata-rata kenaikan sekitar 10-11% setiap tahun. Tiap tahunnya, Kementerian Keuangan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang mengatur penetapan nominal cukai rokok yang terus meningkat tiap tahunnya. Meskipun begitu, Kemenkeu memutuskan untuk tidak menaikkan cukai rokok pada tahun 2025 ini.
Pengecualian juga terjadi di tahun 2019, bertepatan dengan pesta demokrasi pemilihan umum yang diselenggarakan tiap lima tahun sekali. Kala itu, pemerintah memilih untuk tidak menaikkan tarif cukai rokok sebagai bentuk stabilitas kebijakan fiskal.
Dalam pengenaan cukai, pemerintah membagi beberapa layer berdasarkan jenisnya yakni:
-
Sigaret Kretek Mesin (SKM)
-
Sigaret Kretek Tangan (SKT)
-
Sigaret Putih Mesin (SPM)
-
Cerutu, rokok elektrik, HPTL (hasil pengolahan tembakau lain)
Tercatat bahwa cukai yang dikenakan pada produk sigaret kretek tangan (SKT) dan sigaret kretek mesin (SKM) Gudang Garam terus meningkat selama lima tahun kemarin. SKT meningkat sekitar 35% dari Rp 4.893 pada 2019/bungkus menjadi Rp 6.623/bungkus pada 2024.
Kenaikan cukai lebih terasa pada cukai SKM yang meningkat hampir 2 kali lipat dalam periode yang sama. Cukai SKM naik tajam dari Rp 9.221/bungkus pada 2019 menjadi Rp 18.935/bungkus pada 2024.
Sebagai catatan, SKM merupakan rokok kretek yang diproduksi dengan mesin otomatis. Proses produksinya lebih cepat, massal, dan terstandarisasi dibandingkan rokok SKT yang masih melibatkan tenaga manusia dalam produksinya.
Selain itu, rokok SKM mengandung kadar nikotin dan tar yang relatif lebih tinggi. Umumnya harga rokok SKM lebih mahal dibanding SKT, karena dikenai cukai lebih tinggi. Sedangkan rokok SKT merupakan rokok kretek yang digulung/linting secara manual oleh buruh linting. Produksinya tidak menggunakan mesin melainkan tenaga manusia, membuat biaya produksi lebih murah.
Kebijakan cukai sejatinya dilakukan untuk pengendalian konsumsi rokok serta meningkatkan pendapatan negara.
Menurut data Kementerian Kesehatan, prevalansi perokok di Indonesia masih tinggi. Indonesia memiliki sekitar 70 juta perokok aktif, di mana 7,4% diantaranya merupakan anak usia 10-18 tahun. Jumlah perokok anak juga tercatat naik, dari 4,1 juta pada 2018 menjadi 5,9 juta pada 2023.
Meskipun begitu, kenaikan cukai rokok ini menjadi pisau bermata dua bagi industri sekaligus upaya pengendalian rokok. Sistem cukai rokok di Indonesia masih bertingkat (multi-tier). Tarif cukai berbeda-beda tergantung volume, harga, dan jenis produksi. Dengan ini, muncul banyak celah di mana produsen bisa mengakali sistem dengan membagi produksi atau menahan harga agar tetap di golongan pajak rendah.
Selain itu, peredaran rokok ilegal juga semakin merebak di kalangan masyarakat yang mencari alternatif selain rokok resmi yang dikenakan cukai besar. peredaran rokok ilegal meningkat signifikan.
Hingga kuartal I-2025, Bea Cukai telah melakukan lebih dari 2.900 penindakan dengan nilai mencapai Rp 367 miliar. Sekitar 257 juta batang rokok ilegal berhasil ditendak selama periode ini.
Kepatuhan Lebih Penting Daripada Kenaikan Tarif?
Ekonom Senior Raden Pardede mengatakan dalam kondisi perekonomian saat ini, yang paling dibutuhkan bukanlah kenaikan tarif, melainkan perbaikan kepatuhan pajak.
"Dalam situasi seperti ini, kurang cocok kalau tarif itu dinaikkan. Mau PPN, mau tambahan ini, tambahan itu. Bukan itu," ujar Rade Pardede dalam acara dalam program Cuap Cuap Cuan CNBC Indonesia, dikutip Kamis (3/7/2025).
Menurutnya, pemerintah seharusnya fokus terlebih dahulu pada memperbaiki tingkat kepatuhan pajak. Salah satu contohnya, adalah bagaimana pemerintah menaikkan cukai rokok pajak yang menyebabkan peredaran rokok ilegal semakin tinggi.
Padahal, penerimaan dari cukai rokok merupakan salah satu sumber pendapatan negara yang cukup besar.
"Menurut saya adalah dalam situasi seperti ini pastikan bahwa komplians, kepatuhan membayar pajak itu baik. Jadi misalkan cukai rokok tadi, coba lihat begitu banyak yang ilegal. Itu dulu dibenerin. Konon katanya itu bisa mencapai 100 triliun," ujarnya.
Kenaikan tarif di tengah tekanan ekonomi justru bisa mendorong masyarakat dan pelaku usaha untuk berpindah ke sektor informal atau ilegal. Seperti dalam konteks cukai, konsumsi produk ilegal dapat semakin tinggi dan merugikan negara.
"Karena kalau dinaikkan cukai dalam situasi sekarang, orang makin berpindah ke situ dong. Ke legal, ke murah, ke ilegal," ujarnya.
Dengan memperbaiki basis perpajakan dan kepatuhan, Raden menilai pemerintah bisa mengoptimalkan penerimaan tanpa harus menambah beban baru kepada masyarakat dan dunia usaha.
"Menurut saya mau PPN, mau PPh, mau cukai-cukai itu jangan naikkan. Karena itu akan bisa justru mengerem seluruh ekonomi. jangan ngomong mengenai tarif naik dulu. Benerin dulu bahwa yang bayar pajak itu benar bayar pajak. Itu yang selalu kita sebutkan dulu itu adalah bahwa jangan berburu di kebun binatang," ujarnya.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(mae/mae)
