RI Bangun Tambak Garam Raksasa: Selamat Tinggal Garam Impor?

Emanuella Bungasmara Ega Tirta, CNBC Indonesia
03 September 2025 13:20
Garam diolah dengan cara tradisional di sebuah peternakan di Lamnga, pinggiran Banda Aceh (7/3/2023) Maret 2023. (CHAIDEER MAHYUDDIN/AFP via Getty Images)
Foto: Garam diolah dengan cara tradisional di sebuah peternakan di Lamnga, pinggiran Banda Aceh (7/3/2023) Maret 2023. (CHAIDEER MAHYUDDIN/AFP via Getty Images)

Jakarta, CNBC Indonesia- Indonesia dikenal sebagai negeri maritim, namun ironisnya kebutuhan garam nasional masih sering ditutup dengan impor. Padahal, secara iklim dan geografis, tanah air punya syarat ideal: garis pantai panjang, sinar matahari melimpah, dan musim kemarau panjang di sejumlah daerah. Tantangan terbesar justru ada pada kualitas, ketergantungan pada cuaca, dan rendahnya produktivitas petani garam tradisional.

Data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menunjukkan fluktuasi tajam produksi garam dalam lima tahun terakhir. Tahun 2019 produksi nasional mencapai hampir 2,9 juta ton, namun jatuh ke 700 ribu ton pada 2022 akibat cuaca basah. Sementara konsumsi terus stabil tinggi, bahkan menurut BPS konsumsi per kapita mencapai lebih dari 12 kg per tahun.



Produksi terbesar berasal dari rakyat lebih dari 80% output nasional. PT Garam dan produsen swasta, termasuk beberapa perusahaan Australia yang sempat masuk, hanya menyumbang sebagian kecil. Penolakan sosial menjadi faktor penting: banyak masyarakat pesisir menolak ekspansi korporasi besar karena khawatir kehilangan lahan dan mata pencaharian.

Secara geografis, Madura, Jawa Timur, dan Jawa Tengah masih menjadi pusat garam. Namun produktivitasnya rentan dihantam curah hujan. Hal ini memunculkan ide untuk mengembangkan wilayah kering dengan musim panjang seperti Nusa Tenggara Timur (NTT).

NTT kini menjadi primadona baru. Wilayah seperti Rote Ndao, Sabu Raijua, hingga Timor Tengah Utara memiliki iklim kering, lahan kosong luas, dan kualitas air laut kaya NaCl.

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) bahkan menargetkan panen perdana dari tambak raksasa di Rote Ndao pada pertengahan 2026. Proyek Kawasan Sentra Industri Garam Nasional (K-SIGN) ini digadang mampu menyumbang hingga 2 juta ton per tahun.

Namun, kunci keberhasilan ada pada teknologi. Petani rakyat masih bergantung pada cuaca, sehingga produktivitas tidak stabil.

Inovasi seperti geomembran dan teknologi membran dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang bahkan diuji pada mini plant garam dari rejected brine PLTU terbukti mampu meningkatkan produksi dan kualitas hingga setara standar industri.

Jika diterapkan luas di NTT, teknologi ini bisa menjawab dua hal sekaligus yakni meningkatkan daya saing garam rakyat dan mengurangi resistensi terhadap perusahaan asing. Dengan begitu, selain meningkatkan angka produksi, transformasi NTT menjadi lumbung garam juga keadilan ekonomi bagi petani pesisir.

CNBC INDONESIA RESERACH
[email protected]

(emb/emb)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation