
Menggila! Harga Emas & Perak Saling Sikut Menciptakan Rekor Dunia

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga emas dan perak saling berpacu menciptakan rekor di tengah drama politik di Washington dan spekulasi mengenai pemangkasan suku bunga The Federal Reserve (The Fed). Aksi investor memburu aset safe-haven mendorong harga perak ke level tertinggi dalam 14 tahun. Harga emas juga ditutup di posisi tertinggi sepanjang sejarah.
Merujuk Refinitiv, harga emas ditutup di posisi US$ 3476 per troy ons pada perdagangan Senin (1/9/2025). Harganya menguat 0,85%.
Harga penutupan ini adalah yang tertinggi sepanjang masa mengalahkan catatan sebelumnya pada Jumat di US$ 3446,75 per troy ons.
Kendati demikian, jika dihitung perdagangan intraday, harga emas pada perdagangan kemarin lebih rendah. Rekor harga intraday pada perdagangan Senin adalah US$ 3.489,51 per troy ons. Catatan ini hanya kalah dari rekor intraday tertinggi dalam sejarah di US$ 3.500,05 yang tercipta pada 22 April 2025.
Harga emas juga sudah menguat lima hari beruntun dengan penguatan mencapai 3,26%.
Pada hari ini, Selasa (2/9/2025) pukul 06.24 WIB, harga emas sedikit melemah 0,04% ke US$ 3474,44 per troy ons.
Sementara itu, harga perak terbang ke level tertinggi dalam 14 tahun terakhir pada Senin kemarin.
Harga perak ditutup di US$ 41,22 per troy ons pada Senin yang menjadi rekor tertinggi sejak Agustus 2011 atau 14 tahun.
Harga perak sudah melambung dalam lima hari beruntun dengan penguatan mencapai 6,93%. Harga perak juga sudah terbang 40,7% sepanjang tahun ini.
Pada hari ini, Selasa pukul 0624 WIB, harga perak jatuh US$ 40,53 per troy ons.
Pemangkasan Suku Bunga Jadi Pemicu
Lonjakan harga perak dan emas dipicu oleh sejumlah faktor. Di antaranya pemangkasan suku bunga The Fed serta kisruh di Amerika Serikat (AS) antara Presiden Donald Trump dan The Fed.
Para pelaku pasar bertaruh September akan menjadi momentum pemangkasan suku bunga pertama AS tahun ini.
Tekanan terhadap The Fed meningkat setelah upaya Presiden Donald Trump yang gagal menyingkirkan Gubernur Lisa Cook, memunculkan kekhawatiran terkait independensi bank sentral. Ditambah dengan data ketenagakerjaan yang melambat, ekspektasi pelonggaran moneter semakin menguat. Laporan non-farm payrolls akhir pekan ini dipandang sebagai titik balik penting.
Perak Pecah Level Psikologis US$40
Jika selama ini emas mendominasi perhatian, pekan ini justru perak yang mencuri panggung. Logam putih tersebut menembus US$40,50 per ons, menambah kenaikan hampir 40% sejak awal tahun. Analis mencatat, jebolnya level resistensi US$40 membuat pembeli momentum langsung menyerbu. Arus masuk ETF perak yang deras juga terus menggerus stok fisik, menjadikan performa perak lebih unggul dibanding emas sepanjang 2025.
Emas Ikut Panas, Dekati Rekor
Emas tak mau kalah, mendaki hingga nyaris US$3.500 per ons atau hanya sedikit di bawah puncak April lalu. Level US$3.450 dipandang sebagai titik breakout penting, dan begitu ditembus, aliran otomatis mempercepat reli harga. Permintaan safe-haven pun meningkat tajam di tengah ketidakpastian politik AS serta potensi perubahan kebijakan The Fed yang agresif.
Ketidakpastian Tarif Perdagangan Ikut Menekan Pasar
Faktor lain datang dari putusan pengadilan banding federal AS yang menyatakan sebagian besar tarif global era Presiden AS Donald Trump tidak sah, meski aturan tersebut masih berlaku menunggu proses hukum lanjutan. Penetapan perak sebagai "mineral kritis" pekan lalu juga menimbulkan kekhawatiran akan adanya pembatasan tambahan dalam kebijakan dagang ke depan.
Pasokan Kian Menyusut, Pasar Bisa Ketat hingga 2025
Selain faktor makro, sisi pasokan memperkuat reli. Stok perak di London terus menipis selama beberapa bulan terakhir, sementara biaya pinjaman jangka pendek (lease rates) bertahan tinggi di sekitar 2%, jauh di atas rata-rata historis mendekati nol. Dengan permintaan investasi dan industri yang tinggi bertabrakan dengan pasokan terbatas, analis memperingatkan pasar bisa tetap ketat setidaknya hingga tahun depan.
Jika The Fed benar-benar menurunkan suku bunga, prospek reli emas dan perak akan semakin kuat. Namun, bahkan tanpa aksi kebijakan langsung, kombinasi drama politik, ketidakpastian tarif, dan masalah pasokan membuat logam mulia diperkirakan tetap jadi pusat perhatian investor global.
CNBC INDONESIA RESEARCH
[email protected]
