Pada 2026, pendapatan negara diproyeksikan mencapai Rp3.147,7 triliun atau tumbuh 9,8% dibanding outlook 2025. Belanja negara direncanakan sebesar Rp3.786,5 triliun, naik 7,3% dari outlook 2025.
Defisit anggaran dijaga pada level 2,48% terhadap PDB, dengan kebutuhan pembiayaan anggaran sebesar Rp638,8 triliun.
Banyak pos-pos belanja negara yang mengalami penyesuaian akibat pergeseran fokus pemerintah Prabowo dalam mengalokasikan anggaran. Ada pos yang mengalami peningkatan, tetapi di sisi lain juga ada yang mengalami penurunan.
Karena besarnya pengeluaran anggaran prioritas maka pemerintah kemudian memilih realokasi anggaran pos lain agar defisit masih bisa terjaga di bawah 3% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sesuai undang-undang.
Bila merunut pada Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) maka alokasi TKDD pada tahun depan adalah yang terendah sejak
Komposisi TKDD terus mengalami tren penurunan dari tahun ke tahun, meskipun penurunan terbesar tetap ada pada RAPBN 2026 ini. Pada tahun 2016, komposisi TKDD sempat mencapai 38.10% dari keseluruhan anggaran, menjadi yang paling besar sepanjang 18 tahun terakhir.
TKDD terdiri dari tiga bagian utama, yaitu dana alokasi umum (DAU), dana alokasi khusus (DAK), serta dana bagi hasil (DBH). Ada juga alokasi lain yang tidak sebesar tiga bagian tersebut, yaoti dana otonomi khusus, dana insentif fiskal, dan dana desa.
Dana alokasi umum diberikan untuk mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan dan layanan publik antardaerah. Dana alokasi khusus adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan Daerah dan sesuai dengan prioritas nasional.
Sedangkan dana bagi hasil adalah bagian dari TKD yang dialokasikan berdasarkan persentase atas pendapatan dan kinerja tiap daerah, dibagikan kepada daerah penghasil dengan tujuan untuk mengurangi ketimpangan fiskal antara pemerintah pusat dan daerah.
Sri Mulyani menjelaskan penurunan TKDD disebabkan oleh ada pergeseran ke alokasi belanja kementerian dan lembaga (K/L).
Pergeseran ini dipastikan akan diarahkan langsung mendukung program-program prioritas nasional yang sepenuhnya akan bermanfaat bagi masyarakat.
"Penyesuaian alokasi TKD merupakan konsekuensi dari kebijakan pemerintah untuk memperbesar alokasi belanja kementerian/lembaga yang diarahkan langsung untuk dinikmati masyarakat dan mendukung program-program prioritas yang dilaksanakan di daerah," kata Sri Mulyani dalam Rapat Paripurna ke-3 Masa Persidangan I Tahun Sidang 2025-2026, dikutip Jumat (22/8/2025).
Kemandirian fiskal menjadi indikator dalam mengukur kemampuan Pemerintah Daerah untuk membiayai sendiri kegiatan Pemerintah Daerah.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menghitung Indeks Kemandirian Fiskal daerah dengan menghitung rasio antara pendapatan asli daerah terhadap total pendapatan atau rasio pendapatan transfer terhadap total pendapatan.
Nilai 0 menunjukkan seluruh belanja daerah dibiayai oleh dana transfer tanpa adanya peran Pendapatan Asli Daerah (PAD), sedangkan nilai 1 berarti seluruh belanja dapat dibiayai dari PAD tanpa menggunakan dana transfer.
Kemudian, tingkat kemandirian fiskal daerah diklasifikasikan menjadi empat kategori, yaitu Belum Mandiri, Menuju Kemandirian, Mandiri, dan Sangat Mandiri.
Hasil perhitungan IKF oleh BPK tahun 2020 menunjukkan bahwa sebagian besar pemerintah daerah masih berada dalam kategori Belum Mandiri, yaitu 443 dari 503 pemda yang diikutsertakan dalam penilaian (88,07%). Sebanyak 50 pemda sisanya (9,94%) berstatus Menuju Kemandirian, serta hanya 10 pemda (1,99%) yang masuk kategori Mandiri, dan tidak ada yang mencapai kategori Sangat Mandiri.
Kementerian Dalam Negeri juga mencatat mayoritas daerah di Indonesia memiliki kapasitas fiskal yang lemah. Kondisi fiskal lemah terjadi saat APBD nya bergantung dari transfer pemerintah pusat.
Dari total 546 daerah yang terdiri dari 38 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota, 493 nya berstatus kapasitas fiskal lemah, hanya 26 daerah yang status fiskal kuat, dan 27 daerah status fiskal sedang.
"Jadi kondisi fiskal sebagian besar kapasitasnya masih sangat lemah di daerah," kata Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya Sugiarto saat rapat kerja dengan Komisi II DPR, Senin (25/8/2025).
Bila dirincikan berdasarkan provinsi, dari total 38 provinsi, hanya 11 provinsi yang status fiskalnya kuat. Ditandai dengan pendapatan asli daerah yang lebih tinggi dari pendapatan transfer APBN pemerintah pusat. Kabupaten jumlahnya hanya 4, dan kota 11.
Sementara itu, 12 provinsi statusnya memiliki kapasitas fiskal sedang atau pendapatan asli daerah dan transfer dari pusatnya seimbang, seperti selisih antara rasio PAD terhadap total pendapatan dengan rasio pendapatan transfer terhadap total pendapatan lebih kecil dari 25%. Di kabupaten hanya 4 dan kota 12.
Terakhir, untuk kapasitas fiskal lemah terjadi di 15 provinsi. Sementara itu di tingkat kabupaten mencapai 407, dan kota 70.Terdapat 38 provinsi dan 514 kabupaten/kota se-Indonesia dengan kemampuan keuangan yang beragam.
Ada daerah yang memiliki kemampuan fiskal yang kuat karena Pendapatan Asli Daerah (PAD). Di sisi lain, masih ada pula daerah yang mengandalkan transfer dari pemerintah pusat.
Kejutan Fiskal untuk Kepala Daerah Baru
Penurunan transfer daerah memberikan tantangan tersendiri terhadap para kepala daerah baru. Mereka tidak hanya diwarisi kendala anggaran dari periode sebelumnya, tetapi juga harus membentuk strategi baru untuk tetap menjaga kestabilan keuangan daerah yang berpotensi terganggu akibat penurunan TKDD.
Pemangkasan ini juga akan mengurangi kemampuan pemda dalam menggerakkan ekonomi di daerah.
Sementara itu, hampir separuh dari seluruh kepala daerah yang terpilih merupakan pendatang baru. Melansir dari data Komisi Pemilihan Umum terkait hasil pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak 2024 di tingkat provinsi, sekitar 47,1% kepala daerah adalah wajah baru, sementara 52,9% masih petahana. Angka serupa juga terlihat di tingkat kabupaten/kota, dengan 47,3% kepala daerah yang terpilih merupakan pendatang baru.
Dalam era fiskal yang menantang, wajah-wajah baru ini akan dipaksa untuk memutar otak, mencari celah yang dibukakan oleh kreatifitas anggaran untuk memaksimalkan pendapatan daerah ataupun juga merevisi prioritas belanja.
Sebagai catatan, PAD adalah pendapatan daerah yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang undangan untuk membiayai keperluan daerah yang bersangkutan. PAD terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah.
PAD merupakan salah satu strategi pemerintah untuk meningkatkan desentralisasi fiskal dan mengurangi ketergantungan terhadap TKDD dalam membiayai program pemerintah daerah.
Meskipun begitu, strategi desentralisasi malah menghadirkan tantangan berupa ketimpangan kemampuan fiskal antar provinsi. Tidak semua provinsi mampu menghadirkan PAD yang memadai.
Hanya segelintir daerah dengan PAD besar yang bisa bernapas lega, sementara daerah lain tetap kelimpungan ketika transfer pusat dipotong. Selain itu, PAD yang bersumber dari pemasukan pajak dan retribusi membuatnya sangat sensitif terhadap kondisi siklikal ekonomi.
Menggunakan data dari Statistik Keuangan Pemerintah Provinsi 2022-2023 milik Badan Pusat Statistik (BPS), berikut adalah provinsi dengan besaran PAD terhadap pengeluaran tertinggi pada 2023:
Memang, ada beberapa provinsi dengan porsi PAD yang besar hingga melampaui transfer dari pusat. Bahkan, mayoritas pengeluaran dari provinsi-provinsi ini mampu dibiayai oleh pendapatan asli daerah.
Provinsi dengan PAD tinggi terhadap pengeluaran didominasi provinsi besar dan relatif memiliki ekonomi yang lebih maju, seperti Banten (72,5%), DKI Jakarta (70,7%), Jawa Barat (69,8%), Jawa Tengah (66,9%), Jawa Timur (61,6%).
Provinsi-provinsi ini sama-sama memiliki basis ekonomi kuat sebagai pusat kegiatan ekonomi, kepadatan penduduk tinggi, serta aktivitas ekonomi formal yang besar.
Kondisi ini memungkinkan pemerintah daerah untuk memungut pajak/retribusi daerah secara lebih optimal.
Hasilnya, provinsi ini relatif lebih mandiri dalam membiayai pengeluarannya dan tidak terlalu bergantung pada transfer pusat.
Namun kondisi ini tidak mencerminkan mayoritas daerah. Bagi sebagian besar pemerintah daerah, khususnya dengan IKF yang rendah. Pengurangan TKDD dapat diartikan pemangkasan belanja publik bagi daerah-daerah tersebut dikarenakan PAD yang relatif kecil dan cenderung habis untuk menutup belanja rutin.
Pendapatan Asli Daerah atau PAD selama ini menjadi salah satu sumber dari daerah menggenjot penerimaan.
Sebagai catatan, PAD adalah pendapatan daerah yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang undangan untuk membiayai keperluan daerah yang bersangkutan. PAD terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah.
PAD merupakan salah satu strategi pemerintah untuk meningkatkan desentralisasi fiskal dan mengurangi ketergantungan terhadap TKDD dalam membiayai program pemerintah daerah.
Meskipun begitu, strategi desentralisasi malah menghadirkan tantangan berupa ketimpangan kemampuan fiskal antar provinsi. Tidak semua provinsi mampu menghadirkan PAD yang memadai.
Hanya segelintir daerah dengan PAD besar yang bisa bernapas lega, sementara daerah lain tetap kelimpungan ketika transfer pusat dipotong. Selain itu, PAD yang bersumber dari pemasukan pajak dan retribusi membuatnya sangat sensitif terhadap kondisi siklikal ekonomi.
Peringatan dari Pati
Pemerintah Kabupaten Pati menjadi sorotan nasional pada Agustus 2025 dengan berencana menaikkan tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) hingga 250%. Langkah itu, menurut Bupati, diperlukan untuk mempercepat pembangunan daerah dan mendongkrak Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang masih dianggap terendah di Jawa Tengah.
Tapi kebijakan ini langsung menuai protes warga. Banyak yang menilai kenaikan drastis itu justru akan membebani masyarakat di tengah kondisi ekonomi yang sulit.
PBB-P2 merupakan pajak daerah yang pemungutannya dilakukan pemerintah kabupaten. Sementara daerah lain sudah berhasil meningkatkan PAD mereka, Pati disebut masih tertinggal jauh-dan kini mencoba mengejar lewat pungutan lebih tinggi.
Apa yang terjadi di Pati menjadi pelajaran sekaligus peringatan bagi Indonesia mengenai potensi kesewwnang-wenangan pemda dalam memungut pajak atau retribusi atas nama menaikkan PAD.
Terlebih, kemampuan daerah dalam mencari pendapatan masih sangat terbatas dengan instrumen yang terbatas pula.
Menggunakan data dari Statistik Keuangan Pemerintah Provinsi 2022-2023 milik Badan Pusat Statistik (BPS), berikut adalah provinsi dengan besaran PAD terhadap pengeluaran tertinggi pada 2023:
Memang, ada beberapa provinsi dengan porsi PAD yang besar hingga melampaui transfer dari pusat. Bahkan, mayoritas pengeluaran dari provinsi-provinsi ini mampu dibiayai oleh pendapatan asli daerah.
Provinsi dengan PAD tinggi terhadap pengeluaran didominasi provinsi besar dan relatif memiliki ekonomi yang lebih maju, seperti Banten (72,5%), DKI Jakarta (70,7%), Jawa Barat (69,8%), Jawa Tengah (66,9%), Jawa Timur (61,6%).
Provinsi-provinsi ini sama-sama memiliki basis ekonomi kuat sebagai pusat kegiatan ekonomi, kepadatan penduduk tinggi, serta aktivitas ekonomi formal yang besar. Kondisi ini memungkinkan pemerintah daerah untuk memungut pajak/retribusi daerah secara lebih optimal.
Hasilnya, provinsi ini relatif lebih mandiri dalam membiayai pengeluarannya dan tidak terlalu bergantung pada transfer pusat.
Namun kondisi ini tidak mencerminkan mayoritas daerah. Bagi sebagian besar pemerintah daerah, khususnya dengan IKF yang rendah. Pengurangan TKD dapat diartikan pemangkasan belanja publik bagi daerah-daerah tersebut dikarenakan PAD yang relatif kecil dan cenderung habis untuk menutup belanja rutin.
Provinsi dengan PAD rendah terhadap pengeluaran didominasi daerah timur Indonesia: Papua Barat (11,4%), Papua (16,9%), Maluku (20,8%), Sulawesi Barat (21,1%), dan beberapa provinsi kecil lain. Sehingga, dapat diartikan bahwa provinsi-provinsi ini bergantung pada TKDD untuk membiayai pengeluarannya.
Mayoritas provinsi dengan PAD rendah memiliki perputaran ekonomi yang relatif kecil, kapasitas pemungutan pajak rendah, membuat mereka memiliki ketergantungan yang tinggi pada TKDD. Ruang fiskal untuk inisiatif pembangunan mandiri terbatas.
Kesenjangan desentralisasi fiskal antara provinsi di Jawa dan Luar Jawa juga terlihat, di mana provinsi dalam Pulau Jawa bisa menutup lebih dari 60% belanja, sementara di Papua & Maluku masih kurang dari 20%. Ketergantungan provinsi timur terhadap transfer pusat menimbulkan risiko fiscal gap ketika ada pengetatan anggaran nasional.
Berkurangnya TKD berpotensi menciptakan tantangan untuk pemerintah daerah (pemda), khususnya pemda dengan kemandirian fiskal rendah. Pajak dan retribusi daerah mungkin saja dinaikkan demi bisa menutupi kekurangan pendapatan.
Hal ini bisa berdampak pada meningkatnya beban masyarakat dan menurunkan daya beli mereka. Pemda dengan kapasitas fiskal rendah akan berpotensi menghadapi dilema antara menjaga stabilitas ekonomi lokal atau mengupayakan peningkatan pendapatan asli daerah (PAD).
Penurunan daya beli masyarakat juga bisa berarti menurunkan pembayaran pajak, dan malah memperlebar kesenjangan fiskal antar-daerah. Pemda perlu berhati-hati dalam memutuskan solusi permasalahan ini.
Realisasi APBD Terbaru, 2025 Menurun
Melansir dari data Kementerian Keuangan tentang Postur APBD, realisasi pendapatan pemerintah provinsi mencapai Rp1.184.137,77 miliar pada 2024. TKDD menjadi komponen dominan dari Anggaran Pendapatan Daerah Provinsi, yakni sebesar Rp 778.560,35 miliar atau 65,75%
Sedangkan realisasi PAD pada 2024 adalah sebesar 328.344,14 miliar, atau sebanyak 27,73% dari pendapatan daerah.
Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya Sugiarto mengatakan, realisasi pendapatan APBD provinsi, dan kabupaten atau kota per 22 Agustus 2025 baru senilai Rp 726,07 triliun, atau setara 54,44% dari target. Sementara itu, alokasi pendapatan dalam APBD seluruh daerah senilai Rp 1.353,08 triliun.
Bima mengatakan nilai realisasi pendapatan APBD seluruh provinsi dan kabupaten atau kota ini lebih rendah dari kondisi pada periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 824,27 triliun atau 61,34% dari target saat itu.
"Ini agak di bawah dari tahun anggaran 2024," kata Bima saat rapat kerja dengan Komisi II DPR, Jakarta, Senin (25/8/2025).
Nilai realisasi belanja seluruh daerah dalam APBD itu juga lebih rendah dibanding periode yang sama tahun lalu yang nilainya sudah sebesar Rp 736,93 triliun atau 52,16% dari target pada tahun lalu.
CNBC INDONESIA RESEARCH
research@cnbcindonesia.