
Siap-Siap Ngopi Makin Mahal, Dunia Dihantam Krisis Kopi Arabika

Jakarta, CNBC Indonesia- Harga kopi arabika kembali mencetak reli tajam. Berbagai faktor mulai dari perubahan iklim, serangan hama, hingga lonjakan biaya produksi membuat rantai pasok arabika global kian rapuh.
Merujuk Refinitiv menunjukkan kontrak Arabica Coffee (KCc1) melesat dari US$293,4 per pon pada 6 Agustus 2025 menjadi US$390,65 per pon pada 22 Agustus 2025.
Artinya, dalam dua pekan harga naik lebih dari 32%, level tertinggi sejak Juni lalu.
Lonjakan tersebut menempatkan kopi sebagai komoditas pertanian dengan kenaikan harga paling agresif. Trading Economics mencatat, harga kopi naik 29,7% dalam sebulan terakhir dan 55,6% sepanjang tahun berjalan (year-to-date).
Angka ini jauh mengungguli kenaikan komoditas lain bahkan seperti seperti gandum (1,9% ytd), kedelai (7,9% ytd), maupun minyak sawit (17,1% ytd).
Reli harga kopi didorong oleh ketatnya suplai akibat tensi perdagangan. Presiden AS Donald Trump memberlakukan tarif 50% terhadap sejumlah ekspor Brasil, termasuk kopi.
Dampaknya, banyak pembeli Amerika menghindari kontrak baru dengan Brasil-padahal negara tersebut menyumbang sekitar sepertiga impor kopi hijau AS. Beberapa importir bahkan meminta perpanjangan kontrak dengan harapan tarif bisa dilonggarkan di kemudian hari.
Situasi ini membuat pasokan di pasar AS semakin terjepit. Meski inventori arabika di bursa ICE sempat naik tipis menjadi 736.573 bag per 19 Agustus, kenaikan itu berasal dari Honduras dan Meksiko, bukan dari Brasil yang biasanya menjadi pemasok dominan. Ketidakpastian suplai dari produsen terbesar dunia membuat harga arabika terus tertahan di level tinggi.
Dari sisi spekulasi, aksi beli investor juga memperkuat reli. Tarikan harga mendorong dana besar meningkatkan posisi beli, sementara pelaku pasar yang semula mengambil posisi jual (short) terpaksa melakukan short covering ketika harga terus menanjak. Tekanan teknikal ini mempercepat kenaikan harga dalam sepekan terakhir.
Selain faktor perdagangan, dinamika cuaca juga jadi perhatian.
Sebagai jenis kopi yang sensitif, arabika hanya bisa tumbuh di dataran tinggi dengan suhu ideal 15-24°C. Namun fenomena iklim ekstrem seperti El Niño dan La Niña menyebabkan kekeringan, curah hujan berlebih, serta pergeseran pola panen.
Kenaikan suhu global juga mempersempit lahan yang cocok bagi arabika, sehingga semakin banyak petani yang kesulitan menjaga produktivitasnya.
Sejumlah produsen utama arabika mulai kewalahan. Brasil, sebagai produsen terbesar dunia, beberapa kali dilanda frost (embun beku) dan kekeringan parah yang menekan hasil panen. Kolombia mengalami curah hujan tinggi yang merusak kualitas biji, sementara negara-negara Afrika Timur seperti Etiopia dan Kenya menghadapi tantangan iklim serta konflik internal yang mengganggu produksi.
Selain iklim, arabika juga digempur penyakit. Leaf Rust (Hemileia vastatrix), jamur yang menyerang daun kopi, makin meluas akibat perubahan iklim. Hal ini meningkatkan biaya perawatan kebun sekaligus mengurangi produktivitas panen.
Krisis juga diperparah oleh kenaikan harga pupuk, energi, hingga biaya tenaga kerja. Kondisi ini paling menghantam petani kecil, yang menjadi tulang punggung produksi arabika global
Di Brasil, panen kopi arabika 2025/26 sudah mencapai 76% per akhir Juli menurut Safras & Mercado, sementara robusta 96% selesai dipetik.
Namun, hujan yang lebih tinggi dari rata-rata di Minas Gerais sempat meredakan kekhawatiran kekeringan. Sebaliknya di Vietnam, cuaca kering justru mengancam hasil panen robusta, menambah sentimen bullish di pasar kopi global.
Kenaikan harga kopi saat ini memberi sinyal risiko inflasi pada rantai pasok minuman global. Dengan AS sebagai pasar konsumen terbesar, harga yang bertahan di atas US$3,6 per pon bisa menekan margin industri kopi ritel hingga kafe. Dalam jangka pendek, pelaku pasar menunggu kejelasan kebijakan tarif AS-Brasil, karena isu perdagangan terbukti lebih dominan dibanding faktor produksi semata.
Dengan reli cepat dalam dua pekan, kopi menegaskan dirinya sebagai "bintang komoditas" pertanian 2025. Apakah kenaikan ini akan bertahan, atau justru memicu aksi ambil untung besar-besaran di pasar berjangka?
CNBC Indonesia Research
(emb/emb)