Sorry Trump: Obligasi RI Berontak, Putus Total Tinggalkan Bayangan AS

Elvan Widyatama, CNBC Indonesia
19 August 2025 15:10
Ilustrasi Bursa. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Ilustrasi Bursa. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Selama bertahun-tahun, pergerakan yield obligasi pemerintah Indonesia dan yield obligasi pemerintah Amerika Serikat (AS) cenderung selalu seirama. Ketika yield US Treasury naik, biasanya yield Surat Berharga Negara (SBN) juga ikut naik.

Namun sejak Presiden AS Donald Trump mengumumkan kebijakan tarif dagang pada akhir April 2025, hubungan ini mulai terlepas. Yield obligasi Indonesia tidak lagi bergerak sejalan dengan obligasi AS, bahkan menunjukkan tren berlawanan.

Sebagai catatan, hubungan yield dan harga obligasi berbanding terbalik. Artinya, ketika yield turun berarti harga obligasi naik, yang menunjukkan investor sedang melakukan aksi beli.

Divergensi Yield

Melansir dari Refinitiv, sejak awal Mei hingga 15 Agustus 2025, yield obligasi pemerintah Indonesia atau Surat Berharga Negara (SBN) tenor 10 tahun (ID10Y) turun signifikan sebesar 6,82%, dari level 6,859% menjadi 6,391%. Imbal hasil atau yield SBN terendah sejak September 2023 atau hampir dua tahun terakhir.

Tren serupa terjadi di Malaysia, dengan yield obligasi tenor 10 tahun (MY10Y) anjlok lebih tajam, yakni 8,36%, dari 3,673% menjadi 3,366%.

Sebaliknya, yield obligasi pemerintah AS (US10Y T-Note) justru naik tipis 0,19% pada periode yang sama, dari 4,320% ke 4,328%. Bahkan, yield obligasi Eropa tenor 10 tahun (EU10Y) melonjak 10,07%, dari 2,533% menjadi 2,788%, sejalan dengan penguatan US Treasury.

Fenomena ini mengindikasikan adanya perubahan perilaku investor global yang mulai mengurangi kepemilikan US Treasury dan beralih ke obligasi Asia, termasuk Indonesia dan Malaysia.

Investor Global Lirik Asia

Melansir Reuters, investasi asing ke pasar obligasi Asia mencapai level tertinggi dalam hampir 10 tahun. Pada Mei 2025 saja, investor asing membeli obligasi Asia senilai US$15,29 miliar atau setara Rp248,39 triliun (kurs Rp16.245/US$), terbesar sejak Januari 2016.

Pelemahan dolar AS, kekhawatiran atas risiko fiskal AS, serta ekspektasi pemangkasan suku bunga di kawasan menjadi faktor pendorong.

"Kekhawatiran atas kebijakan fiskal AS kemungkinan mendorong diversifikasi aliran investor ke aset Asia," kata Khoon Goh, Kepala Riset Asia di ANZ.

"Kurva yield obligasi pemerintah global menanjak pada Mei, sebagian besar karena kenaikan yield jangka panjang. Namun, pasar obligasi Asia tidak terpengaruh oleh aksi jual di Treasury AS." imbuhnya.

Kondisi ini memperlihatkan bagaimana investor global di tengah tarif dagang era Trump dan ketegangan geopolitik, lebih memilih aset di Asia yang dinilai memiliki prospek fiskal lebih sehat dan kebijakan moneter lebih akomodatif.

Foreign Inflow Ke SBN Indonesia

Salah satu faktor terus menurunnya imbal hasil SBN adalah derasnya aliran dana asing (foreign inflow) . Inflow ke pasar SBN Indonesia terus menunjukkan tren positif sepanjang 2025. Data kumulatif periode 6 Januari - 14 Agustus 2025 mencatat masuknya dana asing sebesar Rp92,99 triliun.

Meski sempat terjadi periode outflow, seperti pada awal April 2025 senilai Rp7,84 triliun, tren besar tetap condong pada inflow. Bahkan, beberapa periode mencatatkan lonjakan signifikan, seperti pada awal Juni sebesar Rp15,14 triliun dan pertengahan Mei 2025 sebesar Rp14,13 triliun. Angka ini menunjukkan bahwa investor global semakin agresif masuk ke pasar obligasi domestik.

Menurut Bloomberg, sikap dovish Bank Indonesia (BI) serta meredanya kekhawatiran fiskal menjadi katalis utama yang menjaga kepercayaan investor. BI sendiri sudah memangkas suku bunga acuan total 50 basis poin tahun ini dan membuka peluang pelonggaran tambahan jika kondisi global dan stabilitas rupiah mendukung.

Langkah BI juga diikuti dengan kebijakan teknis seperti menurunkan yield surat berharga jangka pendek (SRBI) dan menebus surat jatuh tempo untuk mendorong investor masuk ke tenor menengah hingga panjang. Hal ini terjadi beriringan dengan pelemahan dolar AS yang memperkuat daya tarik rupiah, sehingga membuat SBN kian atraktif di mata investor asing.

Aberdeen Group memperkirakan yield obligasi 5 tahun Indonesia bisa turun jauh di bawah 6%. Sementara untuk tenor 10 tahun, nilai wajarnya diperkirakan berada di kisaran 6,5%, yang dinilai netral, namun prospek obligasi jangka pendek dinilai lebih menjanjikan.

"Kami menilai nilai wajar obligasi pemerintah Indonesia tenor 10 tahun berada di kisaran 6,5%, yang pada dasarnya netral, namun kami lebih optimistis pada tenor yang lebih pendek," ujar Fesa Wibawa, analis investasi di Aberdeen Group.

Sejalan dengan itu, obligasi Indonesia telah memberikan imbal hasil lebih dari 5% sepanjang tahun ini. Meski performanya masih di bawah negara tetangga, reli harga SBN terlihat semakin stabil sejak April 2025, berkat tingginya permintaan dalam setiap lelang pemerintah.

Bloomberg mencatat bahwa hingga awal Juli 2025, investor asing telah memborong obligasi pemerintah Indonesia senilai US$3,6 miliar atau sekitar Rp58,4 triliun (asumsi kurs Rp16.245/US$).

Angka ini sejalan dengan data mingguan yang menunjukkan inflow terus berlanjut hingga pertengahan Agustus, dengan total akumulasi inflow mencapai hampir Rp93 triliun.

Lonjakan permintaan tersebut mendorong yield obligasi 10 tahun Indonesia turun lebih dari 60 basis poin sejak puncaknya pada Maret. Bahkan, dalam sebagian besar lelang sejak Mei, jumlah penawaran investor asing tercatat lebih dari tiga kali lipat target penjualan.

Investor Lokal Turut Berperan 

Selain investor asing, dukungan dari investor domestik juga semakin kuat. Perbankan mulai meningkatkan kembali eksposur ke SBN, seiring dengan menurunnya daya tarik SRBI setelah Bank Indonesia mulai menyesuaikan strateginya.

Data menunjukkan bahwa sejak awal Juli 2025, kepemilikan perbankan terhadap SBN naik Rp75,49 triliun, menandakan kembalinya minat sektor perbankan untuk mendukung pembiayaan fiskal. Selain itu, investor ritel pun tetap antusias terhadap instrumen SBN ritel karena real interest rate yang masih positif, dan persepsi risiko yang lebih rendah dibandingkan aset keuangan lain.

Kondisi pasar yang demikian apik tentu menjadi angin segar bagi pemerintah dalam menjaga stabilitas fiskal tanpa harus mengorbankan ruang pembiayaan jangka panjang. Strategi pengelolaan utang yang prudent, selektif dalam menyerap dana pasar, serta tetap menjaga kredibilitas kebijakan fiskal telah memberikan hasil yang nyata.

Ditambah dengan tren penawaran yang selalu tinggi dalam setiap lelang, pemerintah memiliki keleluasaan lebih dalam memilih waktu dan besaran penerbitan, serta menjaga biaya utang tetap terkendali.

Penawaran pada lelang Surat Utang Negara (SUN) pada pekan lalu (12/8/2025) bahkan mencetak rekor tertinggi dalam sejarah yakni Rp 162,23 triliun., mengalahkan rekor sebelumnya pada Februari 2020 (Rp 127,11 triliun).

Di tengah meningkatnya ketidakpastian global akibat perang dagang, arah suku bunga The Fed yang belum pasti, dan tekanan pada mata uang negara berkembang, kekuatan pasar SBN Indonesia menjadi pilar utama dalam menjaga stabilitas ekonomi. Dengan dukungan investor yang kuat, strategi fiskal yang disiplin, serta komunikasi kebijakan yang kredibel, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa pemerintah Indonesia bisa tetap tenang - karena pasar SBN masih sangat apik.

CNBC INDONESIA RESEARCH 

[email protected]

(evw/evw)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation