
Fenomena Harga Teh Turun Saat Bisnis Bubble Tea China Kian "Menjajah"

Jakarta, CNBC Indonesia- Harga teh global tengah berada dalam tren menurun. Per 2 Agustus 2025, melansir Trading Economics, harga teh turun ke 199,68 INR/Kgs, melemah 2,06% dalam sehari.
Jika ditarik lebih panjang, harga terkoreksi 3,04% dalam sebulan dan bahkan 6,14% dibanding tahun lalu. Menunjukkan tekanan nyata pada pasar teh, komoditas klasik yang selama berabad-abad jadi bagian dari budaya Asia.
Di sisi lain, pasar minuman berbasis teh justru sedang mengalami "renaissance" versi modern lewat fenomena bubble tea alias teh boba. CNBC International mencatat, industri bubble tea global diperkirakan tumbuh dari US$2,83 miliar pada 2025 menjadi hampir US$4,78 miliar pada 2032.
China menjadi episentrum tren ini. Tiga nama besar Mixue Group, Guming Holdings, dan Auntea Jenny bahkan berhasil mengantongi lebih dari US$700 juta lewat IPO di Hong Kong tahun ini, mencerminkan keyakinan investor pada daya tahan selera konsumen muda.
Mixue menjadi wajah paling mencolok dari fenomena ini. Dengan lebih dari 46.000 gerai di seluruh dunia per akhir 2024, Mixue telah melampaui McDonald's, Starbucks, bahkan Subway dari sisi jumlah outlet. Model bisnisnya sederhana: harga super murah, ekspansi super cepat, dan franchise yang didorong secara agresif. Hanya dalam setahun, pertumbuhan gerai mencapai 22%, angka yang sulit ditandingi oleh jaringan F&B mana pun.
Biarpun pertumbuhannya pesat, ada sisi rapuh yang tak bisa diabaikan.
Franchise masif membuat kontrol kualitas jadi tantangan besar. Tingkat penutupan gerai diperkirakan mencapai 20%, dan persaingan harga di pasar domestik semakin sengit.
Harga teh yang sedang turun memang bisa sedikit meredakan tekanan biaya bahan baku, tetapi itu tidak serta-merta menyembuhkan masalah margin tipis yang dihadapi pelaku industri.
Investor memandang sektor ini relatif aman dibanding industri lain yang lebih sensitif terhadap guncangan eksternal, seperti tarif Amerika Serikat.
Bubble tea dilihat sebagai cerminan konsumsi domestik yang lebih stabil, digerakkan oleh generasi muda urban yang menjadikan minuman ini bagian dari gaya hidup. Namun, seiring pasar China makin jenuh, ekspansi ke luar negeri bukan perkara mudah.
Perbedaan selera konsumen, kompleksitas rantai pasok, hingga adaptasi resep lokal membuat ekspansi global ternyata penuh risiko.
Di titik ini, turunnya harga teh bisa dilihat sebagai paradoks. Di satu sisi, ia membuka peluang efisiensi biaya produksi bagi para raksasa bubble tea. Tetapi di sisi lain, harga teh yang lesu juga mencerminkan permintaan global yang melemah, tanda industri minuman berbasis teh klasik mungkin tak sekuat dulu.
Bubble tea seolah hadir sebagai wajah baru konsumsi teh, tapi masih perlu membuktikan dirinya bukan sekadar tren musiman.
CNBC Indonesia Research
(emb/emb)