Fenomena Baru di China! Pemuda Rela Bayar Demi Pura-Pura Kerja

Chandra Dwi, CNBC Indonesia
17 August 2025 19:30
Kantor. (Dok. Pixabay)
Foto: Kantor. (Dok. Pixabay)

Jakarta, CNBC Indonesia — Para pemuda di China harus menelan pil pahit karena mereka terpaksa harus berpura-pura bekerja atau tetap bekerja tetapi tak mendapatkan gaji.

Perkembangan ini terjadi di tengah lesunya perekonomian dan pasar tenaga kerja China. Tingkat pengangguran kaum muda China masih sangat tinggi, yakni mencapai lebih dari 14%.

Berdasarkan data dari World Bank, tingkat pengangguran kalangan pemuda berusia 15-24 tahun di China terus merangkak naik sejak 2018. Per 2024, angkanya sudah mencapai 15,23%.

Sementara itu sejumlah pemuda lebih suka membayar untuk pergi ke kantor daripada hanya berdiam diri di rumah.

Shui Zhou, pemuda berusia 30 tahun, memiliki usaha bisnis makanan yang gagal pada 2024. Pada April tahun ini, ia mulai membayar 30 yuan (sekitar Rp 68.000) per hari untuk masuk ke kantor tiruan yang dijalankan oleh sebuah bisnis bernama Pretend To Work Company, di kota Dongguan, 114 km di utara Hong Kong.

Di sana ia bergabung dengan lima "rekan" yang melakukan hal serupa.

"Saya merasa sangat bahagia. Rasanya seperti kita bekerja sama sebagai satu kelompok," kata Zhou, dikutip dari BBC, Minggu (17/8/2025).

Operasi semacam itu kini bermunculan di kota-kota besar di China, termasuk Shenzhen, Shanghai, Nanjing, Wuhan, Chengdu, dan Kunming. Seringkali, mereka tampak seperti kantor yang berfungsi penuh, dilengkapi dengan komputer, akses internet, ruang rapat, dan ruang minum teh.

Alih-alih hanya duduk-duduk, para peserta dapat menggunakan komputer untuk mencari pekerjaan, atau mencoba meluncurkan bisnis rintisan mereka sendiri. Terkadang, biaya hariannya, biasanya antara 30 dan 50 yuan, sudah termasuk makan siang, camilan, dan minuman.

Zhou menemukan perusahaan Pretend To Work saat menjelajahi situs media sosial Xiaohongshu. Ia mengatakan bahwa ia merasa lingkungan kantor tersebut akan meningkatkan disiplin dirinya. Ia kini telah bekerja di sana selama lebih dari tiga bulan.

Ia mengirimkan foto kantornya kepada orang tuanya, dan dia mengatakan mereka merasa jauh lebih tenang dengan kurangnya pekerjaannya.

Meskipun para peserta dapat datang dan pergi kapan pun mereka mau, Zhou biasanya tiba di kantor antara pukul 08.00 dan 09.00. Terkadang dia baru pulang pukul 23.00, dan baru pulang setelah manajer perusahaan pergi.

Ia menambahkan bahwa orang-orang di sana seperti teman. Mereka kerap bekerja keras mencari pekerjaan, tetapi ketika ada waktu luang, mereka mengobrol, bercanda, dan bermain game. Mereka juga sering makan malam bersama setelah pulang bekerja.

Zhou menambahkan bahwa dia menyukai tim tersebut, dan dia jauh lebih bahagia dibandingkan sebelum dia bergabung.

Dr Christian Yao, dosen senior sekaligus pakar ekonomi China di Sekolah Manajemen Universitas Victoria Wellington di Selandia Baru, mengatakan hal ini sudah sangat lumrah terjadi di China, karena ketidaksesuaian transformasi ekonomi dengan tingkat pendidikan.

"Fenomena berpura-pura bekerja sekarang sudah sangat umum di China, akibat transformasi ekonomi dan ketidaksesuaian antara pendidikan dan pasar kerja. Kaum muda membutuhkan tempat-tempat ini untuk memikirkan langkah selanjutnya, atau untuk melakukan pekerjaan serabutan sebagai transisi," katanya.

Meski terdengar tidak biasa, kantor-kantor semu ini menjadi tempat bagi kaum muda membangun jejaring sosial sekaligus menghindari stigma negatif terhadap pengangguran.

Beberapa penyewa memanfaatkan fasilitas seperti komputer dan ruang rapat untuk mengerjakan proyek pribadi. Tarif harian sewa berkisar 30-50 yuan (sekitar Rp 67.950-Rp 113.250), dengan sebagian penyedia jasa menawarkan makan siang dan camilan.

Salah satunya adalah perusahaan "Pretend To Work" yang didirikan oleh Feiyu (30), warga Dongguan, setelah kehilangan pekerjaan akibat pandemi.

"Yang saya jual bukanlah tempat kerja, melainkan martabat karena tidak menjadi orang yang tidak berguna," ujarnya.

Feiyu mengakui belum tahu apakah bisnis ini akan bertahan lama, menganggapnya lebih sebagai eksperimen sosial ketimbang usaha komersial murni. Fenomena ini mencerminkan tantangan generasi muda dalam mencari pekerjaan di tengah perubahan ekonomi.

"Tren ini menyoroti tantangan yang dihadapi kaum muda dewasa dalam menemukan peluang kerja nyata di tengah perubahan ekonomi. Tren ini juga menujukkan bagaimana mereka memanfaatkan kreativitas dan komunitas untuk mengatasi tantangan tersebut," pungkasnya.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(chd/chd)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation