
Batu Bara Lagi Mabuk Cuan, Tapi RI Gak Bisa Ikutan

Jakarta, CNBC Indonesia- Harga batu bara global tengah naik daun kembali. Di Eropa, Jepang, hingga China, lonjakan suhu bikin konsumsi listrik melonjak. AC nyala terus, pembangkit batu bara pun tancap gas. Alhasil, harga batu bara dunia ikut panas.
Refinitiv mencatat, pada Selasa (29/7), harga batu bara ditutup di US$ 118 per ton, naik 0,43% dan jadi level tertinggi sejak Februari 2025 atau hampir enam bulan terakhir.
Dalam empat hari terakhir, harganya sudah naik lebih dari 5%. Bahkan analis Goldman Sachs mewanti-wanti potensi lonjakan lanjutan, apalagi stok di China mulai tipis dan Sungai Rhine di Jerman makin dangkal, bikin distribusi batu bara terganggu.
Tapi cerita manis ini tidak berlaku buat Indonesia. Saat negara lain berburu batu bara, industri tambang RI justru lagi was-was.
Ekspor jeblok, permintaan dari dalam negeri pun mulai kendur. Data Kpler menunjukkan volume ekspor batu bara RI turun 12,6% secara tahunan hingga Juni 2025. Nilai ekspor bahkan turun 19,1% per Mei.
China Kurangi Pembelian dari Indonesia
Dikutip dari Reuters, China lebih mengandalkan produksi sendiri dan memilih impor batu bara kualitas tinggi dari negara lain. Di sisi lain, permintaan dari smelter nikel yang dulu jadi penyelamat permintaan domestik juga diperkirakan akan mentok di 2026, sebelum menurun.
Di sisi lain, permintaan dari sektor smelter nikel diperkirakan akan mencapai puncaknya di 2026 dan mulai menyusut setelahnya. Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (ICMA) memperkirakan konsumsi batu bara oleh captive power plant smelter akan turun dari 84,2 juta ton di 2026 menjadi 78,6 juta ton pada 2027, tertekan oleh kelebihan kapasitas dan potensi regulasi emisi yang lebih ketat.
Kondisi ini turut menyeret kinerja keuangan emiten batu bara.
Saham lima produsen batu bara terbesar Indonesia turun antara 1% hingga 18% sepanjang tahun ini, tertinggal jauh dibanding indeks saham gabungan yang naik hampir 7%. Bayan Resources misalnya, mengalami penurunan margin selama tiga tahun berturut-turut, sementara PT Bukit Asam (PTBA) mencatat margin kuartal I-2025 yang terendah dalam 15 tahun terakhir.
Pemerintah sebenarnya mencoba merespons dengan skema diversifikasi dan revisi tarif royalti. Namun, sebagian besar pelaku usaha belum mampu bertransformasi cepat. Bukit Asam bahkan baru mempertimbangkan investasi senilai US$ 3,1 miliar untuk mengubah batu bara menjadi gas sintetis.
Di tengah pasar global yang lagi "pesta batubara", Indonesia malah terjebak antara ekspor yang seret, permintaan yang mulai stagnan, dan tekanan biaya dari segala arah.
Outlook Batu bara
Laporan Coal Mid-Year Update 2025 yang dirilis oleh International Energy Agency (IEA) menunjukkan sinyal awal perubahan. Konsumsi batubara global mulai melandai pada 2025 dan diperkirakan akan tetap stagnan hingga 2026. Asia terutama China dan India tetap menjadi pusat permintaan, sementara negara maju terus memangkas ketergantungannya.
Di sisi lain, harga dan volume perdagangan internasional mulai menurun, menunjukkan tekanan baru di pasar global batubara.
Meski batubara kerap jadi sorotan dalam diskusi transisi energi, faktanya komoditas ini masih mendominasi bauran energi global, terutama di Asia. IEA mencatat bahwa konsumsi, produksi, hingga perdagangan batubara dunia saat ini berada di level tertinggi sepanjang sejarah.
Namun, pada 2025 menunjukkan tanda-tanda pergeseran. Konsumsi global batubara mulai stagnan setelah mengalami lonjakan selama periode pasca-Covid dan perang energi 2022. Meski demikian, Asia masih jadi pusat gravitasi pasar batubara dunia, dengan China dan India menyumbang mayoritas permintaan.
Pada 2025, permintaan global diperkirakan stagnan. Laporan dari IEA menyebutkan hanya ada kenaikan marginal sebesar 0,2%, yang berarti total konsumsi masih berada di kisaran 8,78-8,79 miliar ton.
China justru mengalami penurunan konsumsi sebesar 0,5% karena pertumbuhan listrik yang lemah dan lonjakan energi terbarukan. India pun turun 2,1% di paruh pertama tahun ini akibat awal musim hujan dan basis konsumsi tinggi pada 2024.
Namun demikian, Amerika Serikat mengalami lonjakan konsumsi hingga 12% di paruh pertama 2025, dipicu oleh tingginya permintaan listrik dan lonjakan harga gas alam.
Uni Eropa juga mengalami rebound singkat karena rendahnya output angin dan hidro, serta tingginya harga gas. Permintaan batubara di Indonesia pun tumbuh signifikan hingga 7% pada 2025, didorong oleh sektor kelistrikan dan smelter.
Asia tetap menjadi pusat konsumsi batubara global. IEA mencatat bahwa China, India, dan negara ASEAN menguasai sekitar 77% konsumsi batubara dunia pada 2024, lebih dari dua kali lipat proporsinya pada awal abad ke-21.
Ke depan, IEA memperkirakan konsumsi batubara global akan sedikit menurun di 2026, tetapi masih berada di level tinggi, yakni 8,78 miliar ton. China diperkirakan akan rebound dan hampir menyentuh kembali angka 5 miliar ton, sementara India naik 2,5% menjadi 1,35 miliar ton.
CNBC Indonesia Research
(emb/emb)