Kenang Kwik Kian Gie: Panglima Saat Badai Ekonomi, Berani Lawan IMF

mae, CNBC Indonesia
29 July 2025 10:52
Kwik Kian Gie. (Dok. Detikcom/Ari Saputra)
Foto: Kwik Kian Gie. (Dok. Detikcom/Ari Saputra)

Jakarta, CNBC Indonesia - Nama Kwik Kian Gie tak bisa dilepaskan dari sejarah perjalanan ekonomi dan politik Indonesia. Mantan Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan dan Industri ini dikenal sebagai sosok vokal dan kritis terhadap kebijakan ekonomi nasional.

Dilahirkan di Juwana, Pati, Jawa Tengah, 11 Januari 1935, Kwik menempuh studi ekonomi di Universitas Indonesia dan Erasmus Universiteit Rotterdam, Belanda. Sekembalinya ke Indonesia, ia tidak hanya menulis dan berbisnis, tetapi juga aktif di dunia pendidikan.

Kwik adalah pendiri beberapa institusi pendidikan seperti SMA Erlangga Surabaya, Institut Manajemen Prasetiya Mulya (1982), dan Institut Bisnis Indonesia yang kini dikenal sebagai Institut Bisnis dan Informatika Kwik Kian Gie.

Karier pemerintahannya membentang dari anggota DPR, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas (2001-2004), hingga Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri (Oktober 1999-Agustus 2000).

Kwik juga dikenal luas sebagai politikus PDI-Perjuangan. Pada 1987, dia bergabung dengan Partai Demokrasi Indonesia. Kwik kemudian mewakili PDI sebagai anggota Badan Pekerja MPR.

Dia dipercaya menduduki jabatan Ketua DPP merangkap Ketua Badan Penelitian dan Pengembangan saat Megawati Soekarnoputri menjadi Ketua Umum PDI yang berubah nama menjadi PDI Perjuangan.

Latar belakangnya sebagai warga keturunan Tionghoa membuat karier politik dan pemerintahannya menjadi tidak biasa.

Dalam acara Haul Ke-9 Gus Dur di samping makam Gus Dur pada 2018, Kwik menceritakan kegateannya saat ditunjuk sebagai Menko Ekuin di era Presiden Aburrahman Wahid (Gus Dur).

"Bayangkan saja, saya ini keturunan Tionghoa yang tidak ganti nama dan istri orang Belanda, diangkat menjadi Menko Ekuin," kata Kwik Kian Gie, dikutip dari Nu Online.

Menjadi Panglima Pembenahan Ekonomi Usai Badai
Kwik Kian Gie ditunjuk sebagai Menko Ekuin pada 29 Oktober 1999. Pada periode tersebut, ekonomi Indonesia masih tertatih-tatih setelah dihajar Krisis Moneter 1998/1999.

Ekonomi Indonesia terkontraksi sebesar 13,3% pada 1998. Tim ekonomi Gus Dur termasuk Kwik kemudian melakukan sejumlah perbaikan dan membawa ekonomi kembali tumbuh 0,79% pada 1999 dan 4,92% pada 2000.

Kwik juga memimpin ekonomi Indonesia di tengah ambruknya nilai tukar rupiah, beban utang luar negeri besar, termasuk utang BUMN dan swasta, sistem perbankan masih rapuh, banyak bank dilikuidasi atau direkapitalisasi, hingga kemiskinan serta pengangguran yang melonjak akibat krisis.

Inflasi Indonesia pernah mencapai puncaknya pad Oktober 1998 yakni 79,41% sebelum melandai di era Kwik di angka 0,28% di Januari 2000.


Kebijakan ekonomi di era 1999-2000 lebih diarahkan pada menjaga stabilitas makro yakni mempertahankan rupiah agar stabil di kisaran Rp 7.000-Rp 9.000/US$1. Kebijakan lainnya adalah menekan inflasi dengan menjaga likuiditas dan koordinasi fiskal-moneter.

Di era 1999-2000, kebijakan ekonomi juga lebih difokuskan untuk melanjutkan program rekapitalisasi bank lewat penerbitan obligasi rekap, penguatan BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) dalam menangani aset-aset bermasalah, serta likuidasi terhadap bank-bank bermasalah dan pengetatan regulasi perbankan.

Bersitegang dengan IMF

Pemerintahan Gus Dur yang mulai menjabat pada Oktober 1999, mewarisi tantangan ekonomi besar pasca-krisis Asia. Untuk menjaga stabilitas ekonomi dan kepercayaan investor, pemerintah tetap melanjutkan program reformasi struktural bersama Dana Moneter Internasional (IMF).

Namun, di balik kelanjutan kerja sama tersebut, mulai muncul ketegangan panas antara pemerintah Indonesia dan IMF, terutama setelah penandatanganan Letter of Intent (LoI) ke-9 pada akhir 1999. Sorotan tajam datang dari Kwik Kian Gie, Menko Ekuin saat itu, yang secara terbuka mempertanyakan arah kebijakan IMF.

IMF, dalam LoI ke-9, mendorong Indonesia untuk mempercepat privatisasi BUMN, merestrukturisasi perbankan, serta menekan defisit anggaran. Namun langkah tersebut dinilai Kwik terlalu dipaksakan dan tidak peka terhadap kondisi ekonomi domestik yang masih rapuh.

Kwik dalam beragam komentarnya di media mengatakan privatisasi itu bukan sekadar jual aset. Menurutnya, kalau dilakukan dalam tekanan, yang terjadi bukan efisiensi, tapi undervaluation.

 

Selain itu, IMF juga dianggap mendorong liberalisasi ekonomi secara agresif, mulai dari deregulasi sektor keuangan hingga penghapusan berbagai bentuk proteksi industri. Padahal, saat itu struktur industri nasional belum pulih, dan kepercayaan publik terhadap institusi pemerintah sedang rendah.

Meskipun penuh kritik, pemerintah tetap menjalankan rekomendasi IMF secara formal hingga awal 2000-an, karena keterikatan pada paket bantuan keuangan senilai US$ 43 miliar. Dana ini penting untuk menstabilkan rupiah, membiayai rekonstruksi perbankan, dan menghindari kekacauan fiskal.

Namun hubungan Jakarta-Washington makin memburuk. Beberapa menteri secara terbuka mulai menyuarakan kekecewaannya terhadap IMF, bahkan memunculkan wacana untuk mengakhiri program kerja sama lebih awal.

Ketegangan dengan IMF di era Gus Dur dan Kwik Kian Gie menjadi bab penting dalam sejarah ekonomi Indonesia. Meski menuai kritik, pemerintah tetap menjaga keseimbangan antara tuntutan internasional dan aspirasi nasional.

Kwik dan Pikiran Kritis
Kwik dikenal luas sebagai sosok yang tak kenal takut untuk mengkritik kebijakan nasional.
Buku "Kebijakan Ekonomi Politik dan Hilangnya Nalar" menjadi semacam testamen pemikiran Kwik bahwa negara harus dikelola dengan akal sehat, keberanian berpikir mandiri, dan keberpihakan pada rakyat. Bukan dengan tunduk pada tekanan luar negeri atau demi kalkulasi politik jangka pendek.

Lewat bukunya tersebut membongkar bagaimana keputusan-keputusan ekonomi penting justru diambil tanpa pijakan logika ekonomi yang sehat, dan malah mengorbankan kedaulatan serta kesejahteraan rakyat.

Dalam salah satu bagian buku, Kwik menyentil keras pemerintah Indonesia yang menurutnya terlalu tunduk pada lembaga asing seperti IMF dan ADB. Ia menyebut bantuan luar negeri bukanlah "bantuan" dalam arti sesungguhnya, melainkan jebakan utang yang membuat Indonesia kehilangan kendali atas ekonominya sendiri.

Kwik juga menyoroti kebijakan harga BBM dan subsidi energi yang menurutnya kerap salah kaprah serta mengupas sisi gelap dari penyelenggaraan negara yang terlalu politis. Kabinet yang lebih diisi oleh kader partai daripada profesional dianggap sebagai salah satu sebab utama kebijakan ekonomi yang tidak rasional. Kwik mendorong agar teknokrasi dikembalikan ke jalur yang benar dan kebijakan didasarkan pada data, bukan kompromi politik.

Kwik juga pernah mengkriitk keras Mantan Wakil Presiden Boediono karena menurutnya kebijakannya terlalu menganut paham Neoliberalisme melalui karyanya Indonesia Menggugat Jilid II.

Kwik dan BLBI

Kritikan tegas lain dari seorang Kwik Kian Gie adalah terhadap kebijakan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Pinjaman darurat kepada bank-bank ini nilainya mencapi Rp 144,5 triliun. Sayangnya ratusan triliun justru banyak diselewengkan.

Dalam berbagai kesempatan, Kwik menuding bahwa skema rekapitalisasi perbankan yang menggunakan obligasi negara pasca-krisis 1998 justru menguntungkan para konglomerat nakal yang mestinya bertanggung jawab atas keruntuhan sistem keuangan.

Di bawah koordinasi Kwik, pemerintah mulai menekan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) agar lebih transparan dalam menjual aset sitaan dari obligor BLBI.

Kwik bahkan mendorong agar pemerintah secara terbuka memanggil dan mengaudit para obligor kelas kakap.

Kwik juga rajin mendorong lembaga hukum seperti Kejaksaan Agung dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk segera melakukan audit forensik terhadap aliran dana BLBI dan rekam jejak para obligor. Namun, upaya tersebut tak mudah.

CNBC INDONESIA RESEARCH
[email protected]



(mae/mae)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation