
Eropa Diam-diam Bersiap Mengkudeta Kopi RI, Dimulai dari Barcelona!

Jakarta, CNBC Indonesia- Ketika Juan Giráldez menanam kopi di hutan kecil di utara Barcelona beberapa tahun lalu, banyak yang menganggapnya hanya eksperimen eksotis.
Namun iklim yang memanas mengubah segalanya. Kini, pohon arabika yang dulunya tak mungkin bertahan di daratan Catalonia mampu hidup dalam suhu ekstrem dari 8°C di musim dingin hingga 38°C di puncak musim panas.
Hal yang sama terjadi di Sisilia. Keluarga Morettino, yang sejak 1990-an mencoba menanam kopi di kebun botani Palermo, akhirnya bisa memanen lebih dari 100 kilogram biji pada 2024, naik lebih dari tiga kali lipat dibanding 2021.
Perubahan iklim yang menghantam coffee belt tradisional di Brasil, Vietnam, Ethiopia, hingga Indonesia ternyata membuka celah bagi Eropa, konsumen kopi terbesar dunia, untuk menjadi produsen baru.
Seperti halnya Spanyol yang beralih dari jeruk ke alpukat dan mangga dalam dua dekade terakhir, Italia dan Yunani mulai menguji lahan untuk tanaman tropis. Narasi ini membuat pertanyaan baru muncul: apakah Eropa bisa menjadi pesaing produsen kopi utama, termasuk Indonesia?
Eropa Masih Raksasa Konsumen, Bukan Produsen
Meski beberapa eksperimen berhasil, data terbaru menunjukkan Eropa masih jauh dari status produsen besar. European Coffee Report 2024/2025 mencatat total impor kopi hijau ke kawasan EU27 mencapai 2,89 juta ton pada 2024, naik 9,2% year on year setelah sempat turun pada 2023. Lima negara Jerman, Italia, Belanda, Belgia, dan Spanyol menguasai 83% pintu masuk kopi ke Benua Biru.
Menariknya, Jerman menjadi "barometer" impor kopi Eropa, dengan kenaikan 17,8% pada 2024 atau setara 1,06 juta ton. Italia berada di posisi kedua dengan 634 ribu ton, sedangkan Belanda kini melampaui Belgia dalam arus impor karena Rotterdam lebih efisien dibanding pelabuhan Antwerp.
Jika dilihat asalnya, Brasil menguasai 41,8% pasar kopi EU27, setara 1,2 juta ton pada 2024. Vietnam, pemasok robusta terbesar, justru menurun drastis 14,9% ke 539 ribu ton karena beralih fokus ke China. Indonesia? Masih di papan tengah, hanya 45.711 ton pada 2024, turun 33% dibanding 2022.
Dengan kata lain, meski ada romantika kopi Barcelona dan Palermo, Eropa tetap bergantung pada pasokan luar. Produksi lokal belum signifikan, lebih mirip boutique coffee yang bernilai simbolis ketimbang menggantikan jutaan ton impor.
Bagaimana dengan Indonesia? Negeri ini masih menjadi produsen kelima terbesar dunia, menyumbang 5% produksi global. Namun produksi nasional turun dari 771 ribu ton (2022) menjadi 756 ribu ton (2023) akibat iklim ekstrem, serangan hama, dan minimnya peremajaan tanaman.
Yang lebih mengkhawatirkan, produktivitas lahan Indonesia hanya 780 kg per hektar, jauh tertinggal dari Brasil (7 ton/ha) dan Vietnam (3,5 ton/ha). Ekspor pun merosot ke 276 ribu ton pada 2023, meski nilai ekspor tetap tinggi, US$916,5 juta, karena harga global melambung.
Apakah Eropa Benar-Benar Bisa Saingi?
Untuk saat ini, jawabannya belum. Skala produksi Eropa masih terlalu kecil dibandingkan Indonesia yang punya 1,2 juta hektar lahan kopi. Namun, eksperimen di Barcelona dan Sisilia mengindikasikan masa depan geopolitik kopi bisa bergeser. Jika suhu global terus naik dan coffee belt tradisional makin terancam, Eropa bukan tak mungkin meningkatkan kapasitas produksinya.
Yang jelas, baik Eropa maupun Indonesia sama-sama harus beradaptasi dengan iklim dan pasar. Bagi Indonesia, kuncinya ada pada regenerasi lahan, inovasi varietas tahan iklim, dan peningkatan produktivitas. Jika tidak, pangsa pasarnya di Eropa bisa terus tergerus oleh Brasil dan Kolombia, bahkan oleh percobaan baru di benua yang dulu hanya dikenal sebagai konsumen.
CNBC INDONESIA RESEARCH
[email protected]
