Nyicil Rumah? Nanti Dulu! Dompet Warga RI Lagi Seret

Elvan Widyatama, CNBC Indonesia
23 July 2025 14:15
Awal Desember 2017, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mencatat capaian Program Satu Juta Rumah sebanyak 765.120 unit rumah, didominasi oleh pembangunan rumah bagi  masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) sebesar 70 persen, atau sebanyak 619.868 unit, sementara rumah non-MBR yang terbangun sebesar 30 persen, sebanyak 145.252 unit.
Program Satu Juta Rumah yang dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo, sekitar 20 persen merupakan rumah yang dibangun oleh Kementerian PUPR berupa rusunawa, rumah khusus, rumah swadaya maupun bantuan stimulan prasarana dan utilitas (PSU), 30 persen lainnya dibangun oleh pengembang perumahan subsidi yang mendapatkan fasilitas KPR FLPP, subsisdi selisih bunga dan bantuan uang muka. Selebihnya dipenuhi melalui pembangunan rumah non subsidi oleh pengembang.
Ketua Umum Asosiasi Pengembang Perumahan dan Pemukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Junaidi Abdillah mengungkapkan, rumah tapak masih digemari kelas menengah ke bawah.
Kontribusi serapan properti oleh masyarakat menengah ke bawah terhadap total penjualan properti mencapai 70%.
Serapan sebesar 200.000 unit ini, akan terus meningkat pada tahun 2018 menjadi 250.000 unit.
Foto: Muhammad Luthfi Rahman

Jakarta, CNBC Indonesia - Pertumbuhan kredit konsumsi serta Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) terus menunjukkan tren penurunan pertumbuhan dalam beberapa bulan terakhir. 

Setelah sempat mencatatkan pertumbuhan yang cukup solid di awal tahun ini, pertumbuhan kredit konsumsi di Indonesia mulai memperlihatkan tanda-tanda pelemahan. Perlambatan pertumbuhan terjadi secara konsisten sejak Februari 2025 yang mencerminkan tekanan yang masih membayangi ekonomi domestik. 

Lemahnya pertumbuhan ini tidak hanya terlihat pada kredit konsumsi secara umum, namun juga terlihat pada pertumbuhan kredit pemilikan rumah yang menjadi andalan masyarakat dalam membeli hunian tempat tinggal. Kondisi ini memberikan sinyal bahwa daya beli dan opstimisme para konsumen belum sepenuhnya pulih. 

Berdasarkan data terbaru dari Bank Indonesia (BI), angka pertumbuhan kredit konsumsi secara tahunan (yoy) pada periode Juni 2025 tercatat sebesar 8,6% atau melambat dibandingkan periode sebelumnya yang tumbuh sebesar 8,7% dan jauh lebih rendah dibandingkan puncaknya pada Februari 2025 yang mencapai pertumbuhan sebesar 10,2%.

Perlambatan pertumbuhan ini menandai bahwa Indonesia sedang dalam tren penurunan pertumbuhan kredit konsumsi yang konsisten sejak awal tahun ini. 

Perlambatan kredit konsumsi ini sejalan dengan melandainya laju konsumsi rumah tangga Indonesia. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan konsumsi rumah tangga hanya tumbuh 4,89% (year on year/yoy), terendah dalam empat kuartal terakhir.

Salah satu kontributor dari pelemahan kredit konsumsi ini adalah melambatnya pertumbuhan kredit KPR.

Hingga Juni 2025 ini, pertumbuhan kredit KPR hanya tumbuh 7,7% (yoy), turun dari bulan sebelumnya yang tercatat sebesar 8,0% yang mana angka ini tetap lebih rendah dibandingkan capaian pertumbuhan di Januari dan Februari 2025 yang masing-masing mencatat pertumbuhan sebesar 10,6% dan 10,5%. 

Kredit konsumsi yang di dalamnya terdapat kredit KPR merupakan suatu indikator penting yang bisa mencerminkan kepercayaan serta kemampuan masyarakat dalam membelanjakan uang mereka.

Kredit konsumsi biasanya bertenor pendek. Perlambatan pertumbuhan ini bisa menandai kehati-hatian masyarakat dalam mengambil utang yang sifatnya konsumtif efek dari ketidakpastian ekonomi serta kekhawatiran masyarakat terhadap prospek pendapatan mereka di masa depan. 

Sebaliknya, kredit KPR menunjukkan kepercayaan masyarakat dalam jangka panjang karena tenornya biasanya 10-20 tahun. 

Dari pihak perbankan, sikap yang lebih selektif dalam memberikan pinjaman atau kredit kepada masyarakat untuk konsumsi juga memiliki kontribusi pada tren penurunan pertumbuhan ini. Perbankan sepertinya sedang menerapkan strategi yang lebih selektif dalam memberikan kredit sebagai langkah mitigasi risiko kredit bermasalah, terutama disaat kondisi mengingkatnya cost of fund seiring dengan era suku bunga yang tinggi. 

Khusus untuk segmen KPR, penurunan laju pertumbuhan juga mencerminkan lemahnya permintaan terhadap hunian. Hal ini patut menjadi perhatian karena sektor properti dan konstruksi merupakan salah satu pendorong utama pertumbuhan ekonomi nasional.

Jika tren pelemahan kredit konsumsi dan KPR ini terus berlanjut, dampaknya bisa merembet ke konsumsi rumah tangga yang merupakan kontributor terbesar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.

Oleh karena itu, Bank Indonesia dan pemerintah mungkin perlu mempertimbangkan stimulus kebijakan lanjutan guna menjaga momentum pemulihan, termasuk menjaga sentimen konsumen dan menurunkan hambatan kredit bagi masyarakat dan sektor produktif.

sebagai catatan, laju pertumbuhan kredit perbankan pada Juni 2025 hanya mencapai 7,77% (yoy), turun dari 8,43% di Mei dan jauh di bawah angka Januari yang masih berada di kisaran 10,27%.

Bank Bersikap Hati-Hati, Pilih Instrumen Aman di Tengah Ketidakpastian

Senior Vice President Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI), Trioksa Siahaan, mengungkapkan bahwa melambatnya penyaluran kredit kemungkinan disebabkan oleh kecenderungan bank menempatkan dananya pada instrumen surat berharga. Menurutnya, langkah tersebut mencerminkan kehati-hatian bank dalam merespons situasi ekonomi yang belum sepenuhnya stabil.

"Ketika kondisi ekonomi belum kondusif, bank cenderung mencari instrumen investasi yang lebih aman untuk menjaga likuiditas dan kinerja keuangan," jelas Trioksa kepada CNBC Indonesia

Pendapat yang sama juga disampaikan oleh pengamat perbankan dan praktisi sistem pembayaran, Arianto Muditomo. Dia menilai bahwa tingginya ketidakpastian ekonomi global serta meningkatnya risiko kredit mendorong bank untuk lebih memilih instrumen yang aman dan likuid, seperti Surat Berharga Negara (SBN) yang memberikan imbal hasil tetap dengan risiko gagal bayar yang sangat rendah.

Arianto juga menambahkan bahwa lemahnya permintaan kredit dari sektor riil yang belum sepenuhnya pulih turut mendorong bank untuk menahan diri dalam ekspansi kredit. Bank cenderung menunggu momentum yang tepat sambil tetap menjaga kualitas aset secara hati-hati.

CNBC INDONESIA RESEARCH 

[email protected]

(evw/evw)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation