BI Rate Turun Lagi, SRBI Masih Menarik?

Elvan Widyatama, CNBC Indonesia
21 July 2025 14:20
Infografis/Mulai Bunga Tinggi sampai data pribadi disebar luaskan, ini Ciri-ciri pinjol ilegal/Aristya Rahadian
Foto: Infografis/Mulai Bunga Tinggi sampai data pribadi disebar luaskan, ini Ciri-ciri pinjol ilegal/Aristya Rahadian

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia (BI) dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI pada 15-16 Juli 2025  memutuskan untuk memangkas BI-Rate sebesar 25 basis poin menjadi 5,25%. Langkah ini diperkirakan akan menurunkan bunga Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).

Selain itu, BI juga menurunkan suku bunga Deposit Facility menjadi 4,50% dan suku bunga Lending Facility menjadi 6,00%.

Sepanjang 2025, BI telah memangkas suku bunga acuannya sebesar 75 basis poin masing-masing 25 bps pada Januari, Mei, dan Juli. BI rate turun dari 6,00% menjadi 5,25% per Juli 2025.

Kebijakan pelonggaran moneter ini mulai berdampak ke berbagai instrumen pasar uang, termasuk Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), yang imbal hasilnya mengalami penurunan signifikan.

Menurut data dari Bank Indonesia, yield SRBI tenor 6 bulan turun dari 7,18% pada Desember 2024 menjadi 5,85% pada 11 Juli 2025. Penurunan serupa terjadi pada tenor 9 bulan dari 7,21% ke 5,86%, dan tenor 12 bulan turun dari 7,30% ke 5,87%.

Seiring tren penurunan ini, daya tarik SRBI sebagai tempat parkirnya dana perbankan pun mulai memudar karena imbal hasilnya tak lagi setinggi sebelumnya. SRBI yang sempat menjadi primadona likuiditas bank sejak diluncurkan pada September 2023 kini perlahan mulai kehilangan pamornya.

SRBI sendiri merupakan instrumen operasi moneter pengganti Reverse Repurchase Agreement (Reverse Repo) Surat Berharga Negara atau RR SBN untuk tenor 6, 9, dan 12 bulan. Dengan karakteristik likuid dan risiko rendah, SRBI sempat menjadi andalan bank untuk mengelola dana jangka pendek. Namun tren penurunan suku bunga membuat yield SRBI ikut melandai, memicu pergeseran strategi perbankan dan investor.

Akibatnya, perbankan kini mulai melirik opsi lain, seperti penyaluran kredit yang berpotensi memberi imbal hasil lebih menarik. Bahkan, investor asing pun mulai melepas kepemilikan SRBI.

Pada periode 14-17 Juli 2025, tercatat net outflow investor asing sebesar Rp10,49 triliun, dengan Rp8,95 triliun di antaranya berasal dari pasar SRBI. Ini merupakan outflow terbesar sejak April 2025. Sejak awal tahun hingga 17 Juli 2025, total jual neto asing di SRBI mencapai Rp48,07 triliun.

Meski aliran dana asing keluar dari SRBI menjadi tantangan tersendiri, fenomena ini justru membuka peluang baru bagi sektor riil. Yield SRBI yang terus menurun mengurangi insentif bank untuk menyimpan likuiditas di instrumen tersebut, sehingga membuka ruang lebih besar untuk ekspansi kredit.

Semakin rendah BI rate, semakin rendah pula imbal hasil SRBI.

Penurunan BI rate adalah sinyal kuat bahwa bank sentral ingin melonggarkan likuiditas. Dengan biaya pinjaman yang lebih rendah, dunia usaha dan rumah tangga diharapkan lebih aktif dalam belanja dan investasi.

Seiring dengan turunnya suku bunga acuan, imbal hasil (yield) SRBI yang merupakan instrumen jangka pendek berisiko rendah ikut menurun. Ini karena pasar menyesuaikan ekspektasi terhadap arah kebijakan suku bunga ke depan.

Dengan imbal hasil yang rendah maka bank diharapkan bisa mengalihkan investasi SRBI ke kredit.

SRBI adalah instrumen jangka pendek milik Bank Indonesia yang digunakan untuk menyerap atau menyuntikkan likuiditas ke pasar. Yield (imbal hasil) dari SRBI mencerminkan suku bunga pasar uang antarbank, sehingga menjadi acuan biaya dana jangka pendek.

Saat imbal hasil SRBI menurun, bank bisa mendapatkan pendanaan dengan biaya yang lebih rendah dari pasar. Ini karena dana jangka pendek yang dihimpun bank, baik dari pasar uang maupun dari simpanan nasabah besar ikut terpengaruh oleh level yield tersebut.

Dengan menurunnya biaya dana, bank memiliki ruang untuk menyesuaikan suku bunga pinjaman ke bawah. Mereka tetap bisa menjaga margin keuntungan, sambil menawarkan kredit yang lebih kompetitif ke masyarakat dan dunia usaha.

Seperti diketahui, kredit bank Indonesia masih tumbuh melambat.

Setelah mencatat pertumbuhan dua digit sepanjang 2024, penyaluran kredit perbankan terus melambat ke bawah 10% bahkan menjadi 7,7% (yoy) pada Juni 2025.

Pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) juga sempat jeblok  ke 3,9% pada Mei 2025 tetapi sudah mulai menguat menjadi 6,96%.
Ini menjadi indikasi bahwa tekanan likuiditas di sektor perbankan mulai mereda yang didukung oleh pelonggaran moneter dan relokasi dana dari SRBI ke sektor produktif.

Ke depannya kuartal III dan IV-2025 diperkirakan akan menjadi momentum akselerasi kredit perbankan. Selain karena ekspektasi pelonggaran moneter lanjutan, permintaan kredit dari sektor rumah tangga dan dunia usaha juga diperkirakan akan meningkat seiring dengan membaiknya daya beli dan kepercayaan bisnis. Dukungan dari sisi fiskal, seperti program stimulus konsumsi dan insentif investasi, akan memperkuat peluang tersebut.

Sementara itu, pergeseran preferensi investor juga tampak dari aliran dana asing. Meski terjadi outflow di SRBI dan pasar saham, pasar Surat Berharga Negara (SBN) justru mencatat inflow sebesar Rp59,97 triliun sepanjang tahun berjalan. Ini mencerminkan minat terhadap instrumen yang lebih stabil dan berjangka panjang.

Namun, risiko eksternal tetap perlu dicermati. Penguatan indeks dolar AS belakangan ini turut membuat investor global kembali memburu aset berdenominasi dolar dan menekan nilai tukar rupiah. Dalam konteks ini, konsistensi arah kebijakan moneter dan koordinasi fiskal dan moneter menjadi sangat penting untuk menjaga stabilitas dan efektivitas transmisi pelonggaran.

Turunnya yield SRBI bukan hanya sinyal melandainya biaya dana, tetapi juga peluang strategis untuk mendorong pertumbuhan kredit yang lebih tinggi. Jika dimanfaatkan dengan tepat, dinamika ini dapat menjadi katalis bagi percepatan pemulihan ekonomi nasional pada paruh kedua 2025.

CNBC INDONESIA RESEARCH 

[email protected]

(evw/evw)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation