Cokelat Makin Mahal, Kakao Makin Langka: Siapa yang Sanggup Bertahan?

Emanuella Bungasmara Ega Tirta, CNBC Indonesia
21 July 2025 06:34
Ilustrasi Coklat. (Dok. Freepik)
Foto: Ilustrasi Coklat. (Dok. Freepik)

Jakarta, CNBC IndonesiaHarga kakao global kembali goyah setelah sempat mencatat lonjakan tertinggi dalam dua tahun terakhir.

Data Refinitiv, harga futures kakao naik 6,7% ke $7.600 per ton pada Jumat pekan lalu (18/7/2025), namun tetap mencatat penurunan tajam sebesar 12% dalam sepekan, tertekan oleh data penggilingan (grindings) kuartal kedua yang melemah di Asia, Eropa, dan Amerika Utara.

Tren penurunan ini terjadi bertahap sejak akhir Juni, setelah sempat menyentuh US$9.356 per ton pada 30 Juni 2025.

 Di Eropa wilayah dengan konsumsi cokelat terbesar di dunia perlambatan industri kakao semakin terasa.

Melansir dari the Japan Times, ada sebuah survey terhadap tujuh trader dan pengolah kakao, jumlah biji yang digiling menjadi butter dan bubuk kakao pada kuartal II/2025 diperkirakan turun hampir 5% dibanding periode yang sama tahun lalu. Ini menandai penurunan selama empat kuartal berturut-turut dan menjadi level terendah sejak awal pandemi.

Penurunan konsumsi terjadi akibat harga kakao yang sempat melonjak lebih dari dua kali lipat dalam dua tahun terakhir, dipicu gagal panen di Afrika Barat.

Perusahaan cokelat seperti Barry Callebaut hingga Nestlé terpaksa menaikkan harga produk, mengubah resep dengan menambahkan kacang atau minyak nabati sebagai substitusi, hingga memperkecil ukuran kemasan untuk menekan biaya produksi.

"Selama 12-15 bulan terakhir, harga kakao yang terlalu tinggi telah banyak merusak permintaan. Volume konsumsi turun, dan perusahaan mencoba menggunakan lebih sedikit kakao dengan menggantinya dengan bahan lain," ujar Steve Wateridge, Head of Research Tropical Research Services (TRS).

Malaysia dan Asia Ikut Tertekan


Tak hanya Eropa, perlambatan juga terjadi di Asia. Malaysia mencatat penurunan penggilingan kakao hingga 22%, menandakan lemahnya pasar regional. Data penggilingan kuartal II dari Asia, Eropa, dan Amerika Utara akan dirilis pekan ini dan diperkirakan menunjukkan tren serupa.

Kondisi ini memperburuk rantai pasok karena penggilingan yang lebih rendah mengurangi produksi cocoa butter produk bernilai tinggi dan berdampak pada pasokan bubuk kakao yang dibutuhkan industri makanan dan minuman. Ironisnya, meski butter mengalami kelebihan stok, harga bubuk kakao justru mendekati rekor karena kelangkaan.

Meskipun harga kakao sudah turun lebih dari sepertiga dari puncaknya pada Desember 2024, stok global tetap terbatas. Afrika Barat, terutama Pantai Gading dan Ghana sebagai produsen utama, masih bergulat dengan masalah struktural seperti pohon kakao tua, penyakit tanaman, dan keterbatasan peremajaan kebun.

Penurunan permintaan cokelat ini memaksa retailer dan produsen makanan mempromosikan lebih banyak permen dibanding cokelat. Strategi reformulasi resep juga kian umum dilakukan, di mana cokelat dicampur dengan bahan tambahan lebih murah untuk mengurangi penggunaan cocoa butter.

Namun, ke depan, pemulihan industri masih bergantung pada perbaikan panen di Afrika Barat dan penyesuaian rantai pasok. Jika stok tetap ketat sementara permintaan mulai pulih, harga kakao bisa kembali melonjak.

CNBC INDONESIA RESEARCH
[email protected]

(emb/emb)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation