
ASEAN Satukan Kekuatan: Dolar Ditinggal, Saatnya Rupiah-Yuan Berkuasa

Jakarta, CNBC Indonesia - Upaya negara-negara Asia Tenggara untuk mengurangi ketergantungan terhadap dolar Amerika Serikat (AS) semakin terlihat nyata.
Para pemimpin ASEAN telah menyepakati untuk mendorong penggunaan mata uang lokal dalam transaksi antarnegara, sebagaimana tercantum dalam "ASEAN Economic Community Strategic Plan 2026-2030" yang diadopsi pada KTT ASEAN ke-46, pada 26 Mei 2025 lalu di Kuala Lumpur, Malaysia.
Dalam dokumen strategis tersebut, ASEAN menargetkan pendalaman integrasi dan inklusi keuangan melalui beberapa langkah, seperti liberalisasi akun modal untuk memfasilitasi arus investasi lintas batas, memperkuat konektivitas sistem pembayaran antar negara, serta memperluas penggunaan mata uang lokal dalam transaksi regional.
Peningkatan konektivitas pembayaran ini dinilai sebagai kunci untuk mendorong efisiensi perdagangan dan memperkuat daya saing ekonomi kawasan.
Dominasi Dolar AS Mulai Terkikis
Menurut Nawazish Mirza, profesor keuangan di Excelia Business School, kemajuan ASEAN dalam mengadopsi pembayaran lintas negara dengan mata uang lokal membawa sejumlah keuntungan strategis.
"Dengan diperbolehkannya pembayaran langsung dalam mata uang lokal, negara-negara ASEAN telah memangkas ketergantungan terhadap mata uang perantara seperti dolar AS. Ini membuat biaya transaksi menjadi lebih murah, mengurangi risiko nilai tukar, dan mempercepat waktu penyelesaian," ujarnya dikutip dari China Daily.
Mirza menambahkan bahwa tren dedolarisasi ASEAN sudah terlihat jelas dalam dua tahun terakhir. Pada 2024, lebih dari 25% perdagangan intra-ASEAN diselesaikan menggunakan mata uang lokal angka ini melonjak dibandingkan pada 2019 yang kurang dari 10%.
Meski demikian, dolar AS masih mendominasi pangsa perdagangan global dengan lebih dari 70% transaksi masih menggunakan greenback. Namun, inisiatif ASEAN untuk mengadopsi mata uang lokal dan renminbi China semakin mendapat momentum, terutama karena didukung inovasi pembayaran digital dan perjanjian penyelesaian bilateral atau Local Currency Settlement (LCS).
QR Code Antarnegara Jadi Pengubah Permainan
Salah satu inovasi yang memperkuat proses dedolarisasi adalah integrasi sistem pembayaran digital berbasis QR code lintas negara. Dimulai pada 2020 dengan peluncuran sistem QR lintas batas antara Kamboja dan Thailand lalu kerja sama seperti ini terus berkembang. Singapura dan Thailand menyusul pada 2021 kemudian disusul proyek percontohan antara Indonesia dan Singapura pada 2022.
Lima bank sentral ASEAN yakni Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand juga telah menandatangani nota kesepahaman menjelang KTT G20 di Bali pada November 2022 untuk memperkuat konektivitas pembayaran regional.
Joanne Lin Weiling, peneliti senior sekaligus koordinator ASEAN Studies Center di ISEAS Yusof Ishak Institute, Singapura, menilai sistem pembayaran QR lintas negara sebagai langkah strategis.
"Sistem pembayaran interoperabel berbasis QR code adalah arah yang harus diambil," ujar Lin, dikutip dari China Daily.
Menurutnya, sistem ini tidak hanya memperkuat integrasi dan perdagangan regional, tetapi juga meningkatkan ketahanan kawasan terhadap tekanan eksternal seperti meningkatnya proteksionisme dagang.
Lin yang telah menggunakan dompet digital saat bepergian di Asia Tenggara juga menambahkan, "Sistem pembayaran QR code ini jauh lebih cepat, praktis, dan mudah diakses semua warga asalkan mereka memiliki ponsel pintar dan rekening bank yang terhubung dengan sistem QR."
Dukungan China untuk Transaksi Non-Dolar
Perubahan arah transaksi ini juga tidak lepas dari peran signifikan China. Pada 2023, nilai transaksi lintas negara menggunakan yuan untuk perdagangan barang antara ASEAN dan China mencapai lebih dari 2 triliun yuan atau sekitar US$279 miliar atau naik hampir 48% dibandingkan tahun sebelumnya. Angka ini mencakup lebih dari 30% dari total perdagangan bilateral ASEAN dengan China.
Bank Sentral China, People Bank of China (PBOC), juga telah menandatangani perjanjian swap mata uang dengan sejumlah negara ASEAN termasuk Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Laos. Perjanjian ini memungkinkan bank sentral masing-masing negara untuk menyediakan likuiditas dalam mata uang lokal dan yuan China.
Salah satu contoh konkret adalah Bank Bangkok yang menjadi bank pertama asal Thailand yang disetujui langsung oleh PBOC sebagai peserta dalam sistem Cross-border Interbank Payment System (CIPS), yaitu infrastruktur pembayaran yuan lintas negara milik China. Hal ini memungkinkan transaksi yuan dilakukan secara langsung dan lebih efisien.
Meski penggunaan yuan menunjukkan peningkatan signifikan pada adopsinya sebagai mata uang penyelesaian utama masih tertinggal dibandingkan dolar AS. Menurut Mirza, hal ini disebabkan oleh faktor likuiditas, akses pasar, dan kepercayaan global yang belum sekuat dolar.
"Untuk kawasan ASEAN, tantangannya adalah menjaga keseimbangan antara diversifikasi mata uang dan stabilitas keuangan," kata Mirza.
Namun dengan komitmen politik, kemajuan teknologi pembayaran, dan penguatan kerja sama regional, langkah ASEAN menuju dedolarisasi bukan sekadar wacana melainkan sebuah transisi strategis yang sedang berlangsung.
Indonesia Pimpin Revolusi QRIS
QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) adalah standar nasional kode QR untuk pembayaran digital di Indonesia. Dikembangkan oleh Bank Indonesia (BI) dan Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI), QRIS memungkinkan semua aplikasi pembayaran digital untuk memindai dan memproses satu jenis kode QR yang sama.
QRIS secara resmi diluncurkan pada 20 Agustus 2019 sebagai standar nasional QR code untuk semua transaksi pembayaran ritel.
Penggunaan QRIS terus berkembang hingga pada 2021 digunakan sebagai alat pembayaran lintas negara. Dimulai dengan Thailand (kemitraan dengan Bank of Thailand), lalu menyusul dengan Malaysia, Singapura, dan Filipina.
Penggunaan QRIS tentu saja mengurangi penggunaan dolar karena warga Indonesia kini tak harus menukar dolar terlebih dahulu jika belanja di Thailand atau negara yang sudah bekerja sama.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(evw/evw)